Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2678 articles
Browse latest View live

Mengharukan, Santri Ini Korban Ke-11 di Lubang Tambang Samarinda

$
0
0
Lokasi tempat ditemukannya Yusuf, korban ke-11 di lubang tambang di Samarinda. Foto: Jatam Kaltim

Lokasi tempat ditemukannya Yusuf Subhan, korban ke-11 di lubang tambang di Samarinda. Foto: Jatam Kaltim

Sungguh malang nasib Muhammad Yusuf Subhan (11). Cita-citanya untuk menjadi santri di Pesantren Tursina, Pampang Samarinda yang berlokasi di jalan poros Samarinda-Bontang, kandas sudah. Belum genap sebulan belajar di sekolah berbasis agama itu, Yusuf ditemukan meninggal dunia di salah satu lubang tambang perlakuan kualitas air (water treatment quality) milik PT. Lanna Harita Indonesia (LHI), 24 Agustus 2015.

Kejadian berawal, ketika Yusuf beserta tiga temannya, sore itu, berenang di lubang maut tersebut. Sekitar pukul 17.30 Wita, saat ketiga temannya selesai mandi dan berangkat menuju pesantrean untuk mengaji, Yusuf belum terlihat. Hingga pukul 19.00 Wita, ternyata Yusuf belum muncul juga. Khawatir terjadi sesuatu, pihak pesantren memutuskan untuk mencarinya.

Sekitar pukul 20.30 Wita, Yusuf ditemukan, namun dalam kondisi tidak bernyawa dan ada luka di bagian kepala. Ustad Hasan, salah seorang ustad di pesantren, membenarkan jika santrinya itu meninggal di lubang tambang. “Air dari lubang tersebut, biasa digunakan warga dengan menggunakan tendon. Tanah pesantren ini merupakan wakaf dari PT. LHI,” tuturnya.

Tewasnya Yusuf yang merupakan anak dari M. Subhan dan Siti Komariah asal Pinrang, Sulawesi Selatan ini, menambah daftar panjang kasus kematian anak di lubang bekas tambang di Samarinda, Kalimantan Timur. Dalam rentang waktu empat tahun (2011-2015) sudah 11 anak tak berdosa menjadi korban yang hingga kini tidak ada kejelasan penyelesaian kasus hukumnya.

Citizen Lawsuit

Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim, menuturkan kasus tenggelamnya anak di lubang bekas tambang di Samarinda merupakan salah satu materi gugatan yang disampaikan oleh Jatam Kaltim dan elemen sipil lainnya melalui Gerakan Samarinda Menggugat di Pengadilan Negeri Samarinda. Dalam keputusannya, Majelis Hakim Sugeng Hiyanto pada 16 Juli 2014, secara tegas menyatakan pemerintah gagal menyediakan lingkungan hidup yang aman dan sehat untuk warga Kota Samarinda. “Putusan tersebut nyatanya tidak berdampak dengan jumlah korban yang terus bertambah. Mau berapa lagi?” ujar Merah, Minggu (30/8/15).

Desakan untuk menyelesaikan kasus tenggelamnya bocah di lubang eks tambang batubara juga muncul dari Komnas HAM. Mei lalu, tim dari Komnas HAM mengunjungi dan memantau lubang tambang yang menewaskan bocah sebelumnya, Ardi dan Raihan. Setelah kunjungan itu, Komnas HAM menyimpulkan bahwa ada dugaan pelanggaran HAM dalam bentuk pembiaran dan pengabaian oleh negara.

Komnas HAM saat itu juga mendesak Kepolisian agar segera menangani persoalan hukum terkait dengan tewasnya anak di lubang tambang. Ini dikarenakan, baru satu kasus saja yang diproses hingga vonis pengadilan. Yakni, meninggalnya Eza (6) dan Erma (6), yang tercebur ke lubang tambang PT. Panca Prima Mining, Desember 2011. Namun, hanya pihak kontraktor yang dihukum dua bulan penjara dengan membayar biaya perkara Rp1.000.

“Pihak kepolisian selalu mengatakan butuh waktu untuk menangani kasus seperti ini, sementara pemerintah selalu mengatakan itu merupakan tanggung jawab perusahaan,” ujar Merah.

Menurut Merah, pemerintah harusnya melakukan antisipasi karena mempunyai kewenangan untuk melakukan supervisi dan evaluasi atas operasi dan perizinan perusahaan tambang. “Pemerintah punya penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), seharusnya mereka bisa menemukan pelanggaran yang dilakukan perusahaan apakah ditegur dahulu atau diminta untuk memperbaiki keamanan lingkungan.”

Merah melanjutkan, Pemerintah Kota Samarinda tidak pernah belajar dari pengalaman dan terus menutup mata atas kejadian seperti ini. “Semoga dengan kewenangannya sekarang, Gubernur Kalimantan Timur tidak melakukan hal yang sama.”

Terkait lokasi tenggelamnya Yusuf, Senny Sebastian dari Jatam Kaltim memaparkan bahwa jarak antara lokasi dengan Pesantren Yayasan Tursina sekitar 210 meter. Di lokasi, tidak ditemukan pos penjaga guna mencegah akses warga karena wilayah itu berbahaya. “Setelah kejadian, 25 Agustus, perusahaan baru memasang pagar berupa patok ulin yang diberi kawat berduri,” ujar Senny.

PT. Lanna Harita Indonesia beroperasi di wilayah Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara dengan area konsensi 30.018 hektar. Operasi perusahaan yang berafiliasi dengan Lanna Resources di Thailand ini berakhir pada 2031.

Lokasi pondok pesantren dengan lubang tambang milik PT. Lana Harita Indonesia

Lokasi pondok pesantren dengan lubang tambang milik PT. Lanna Harita Indonesia


Mengharukan, Santri Ini Korban Ke-11 di Lubang Tambang Samarinda was first posted on September 1, 2015 at 3:22 am.

Survei Membuktikan, Jumlah Hiu Paus di Taliyasan Bertambah

$
0
0
Hiu paus yang terdata di perairan Talisayan, Berau, Kaltim. Foto: Tim survei hiu paus dari Satker Balikpapan, BPSPL Pontianak

Hiu paus yang terdata di perairan Talisayan, Berau, Kaltim. Foto: Tim survei hiu paus Satker Balikpapan, BPSPL Pontianak

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak, Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berhasil mendata temuan hiu paus (Rhincodon typus) di Perairan Talisayan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

Survei yang dilakukan 19-25 Agustus 2015 itu merupakan hasil kerja sama BPSPL Pontianak dengan Departemen ITK Institut Pertanian Bogor, FPIK Universitas Mulawarman, CI Indonesia, WWF ID dan Whale Shark Indonesia yang didampingi Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Berau.

Dalam survei tersebut, tim berhasil menemukan 16 ekor jantan dan 1 ekor betina sebagai individu baru. Total individu yang sudah teridentifikasi sampai saat ini sekitar 27 ekor dengan rincian 25 ekor jantan dan 2 ekor betina dengan estimasi ukuran 3 hingga 7 meter.

“Individu hiu paus baru di Talisayan masih mungkin bertambah, baik dari jenis kelamin jantan maupun betina, seiring bertambahnya waktu pengamatan,” ungkap A. Muh Ishak Yusma, koordinator tim survei hiu paus dari Satker Balikpapan, BPSPL Pontianak, belum lama ini.

Hal yang sama dikatakan oleh Mahardika Rizqi Hilmawan, Project Leader Whale Shark Indonesia. “Tim Whale Shark Indonesia yang melakukan studi di empat lokasi berbeda di Indonesia masih akan melakukan pengumpulan data di Perairan Talisayan sampai Oktober 2015.”

Untuk mengetahui pergerakan hiu paus, satu ekor betina yang juga terdentifikasi sebagai individu baru telah dipasangi penanda satelit (satellite tag). “Data migrasi atau pergerakan horizontal maupun vertikal hiu paus penting sebagai dasar pengelolaan, terutama bagi individu betina yang masih sangat jarang ditemukan di Indonesia,” jelas Abraham Sianipar dari CI Indonesia.

 

Hiu paus yang didata di perairan Taliyasan, Berau, Kalimantan timur. Foto: Tim survei hiu paus Satker Balikpapan, BPSPL Pontianak

Hiu paus yang didata di perairan Taliyasan, Berau, Kalimantan timur. Foto: Tim survei hiu paus Satker Balikpapan, BPSPL Pontianak (atas dan bawah)

 

Selain penandaan satelit, dilakukan juga pemasangan Radio Frequency Identification (RFID) yang berfungsi sebagai penanda permanen pada tiga ekor hiu paus jantan. Oceantag yang merupakan alat scanner RFID yang telah dikembangkan oleh IPB dan WWF-Indonesia juga digunakan untuk memindai RFID yang mengidentifikasi secara teliti dan efisien.

Pemasangan RFID berbasis mikrokontrolerini sebelumnya sudah dilakukan di Teluk Cendrawasih. Peneliti hiu paus dari IPB, Hawis Madduppa mengatakan, “Teknik ini merupakan teknik pelengkap dari PhotoID. Penggunaan scanner RFID sebagai penanda individu, dengan tambahan tanggal dan jam, memudahkan untuk perhitungan kemunculan individu yang berbeda di suatu wilayah.”

Metode yang digunakan untuk mengetahui perbedaan tiap individu hiu paus adalah menggunakan Photo Identification (Photo ID) yang dapat membedakan tiap individu berdasarkan pola totol-totol putih yang unik dan tidak pernah berubah seperti sidik jari.

“Dua ekor jantan dan satu ekor betina yang ditemukan 2014 lalu, kembali teridentifikasi tahun ini. Hal yang mengindikasikan bahwa perairan Talisayan merupakan salah satu habitat penting yang menyebabkan hiu paus cenderung selalu kembali,” urai Casandra Tania, peneliti dari WWF Indonesia.

Di Perairan Talisayan, hiu paus muncul di sekitar bagan terutama saat bulan gelap musim selatan. Bagan merupakan metode perikanan tangkap yang menangkap ikan-ikan pelagis kecil yang merupakan makanan hiu paus. Kebiasaan nelayan bagan membuang ikan yang bukan target (terutama ikan tembang) menyebabkan hiu paus tertarik dan muncul di sekitar bagan. Nelayan setempat percaya bahwa kemunculan hiu paus yang biasa disebut dengan Labetti (Si Bintik) oleh nelayan Talisayan ini, akan membawa nasib baik. Karena, biasanya kemunculan hiu paus diikuti dengan hasil tangkapan yang banyak.

Hiu paus merupakan jenis ikan besar, diperkirakan ukurannya dapat mencapai 18 – 22 m dengan karakteristik biologi yakni pertumbuhan dan proses kematangan seksual lambat namun berumur panjang. Hiu paus merupakan jenis ikan yang dilindungi secara penuh melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18 Tahun 2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus.

 

Hiu paus di Taliyasan. Hiu paus merupakan jenis ikan yang dilindungi penuh berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18 Tahun 2013. Foto: Tim survei  hiu paus dari Satker Balikpapan, BPSPL Pontianak

Hiu paus di Taliyasan. Hiu paus merupakan jenis ikan yang dilindungi penuh berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18 Tahun 2013. Foto: Tim survei hiu paus dari Satker Balikpapan, BPSPL Pontianak (atas dan bawah)

 


Survei Membuktikan, Jumlah Hiu Paus di Taliyasan Bertambah was first posted on September 1, 2015 at 7:09 am.

30 Hektar Lahan Konservasi Samboja Lestari Terbakar. Bagaimana Nasib Orangutan?

$
0
0
Api yang menghanguskan 30 hektar kawasan konservasi Borneo Orangutan Survival Foundatin (BOSF) Samboja Lestari. Foto: Hendar

Api yang menghanguskan 30 hektar kawasan konservasi Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Samboja Lestari. Foto: Hendar

Fenomena El Nilo yang terjadi di Indonesia saat ini, sangat berdampak pada kebakaran lahan di Kalimantan Timur. Termasuk, kebakaran yang terjadi pada 30 hektar kawasan konservasi orangutan Borneo Orangutan Survival Foundatin (BOSF) Samboja Lestari.

Lahan seluas 30 hektar milik BOSF yang berada di Jalan Balikpapan-Handil Km. 44, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Kukar, Senin (31/8/15) terbakar. Meski diduga kebakaran terjadi karena El Nino, namun penyelidikan terus dilakukan guna mengetahui kepastiannya.

Akibat kebakaran tersebut, kawasan yang baru akan terbentuk hutan, yang terdiri dari kayu meranti hangus. Bahkan, kebakaran itu hanya berjarak sekitar 300 meter dari kandang orangutan yang baru dalam proses pembanguan.

Koordinator Komunikasi BOSF Samboja Lestari, Suwardi mengatakan awal kebakaran terjadi Senin subuh, sekitar pukul 03.00 Wita. Api sempat dipadamkan dengan 46 personil dari BOSF Samboja Lestari.

“Orangutan itu tidak tahu kalau ada bencana kebakaran, kecuali kalau individu orangutan berada di pohon dan melihat asap atau api di kejahuan, baru mereka mengerti. Untungnya, kebakaran masih jauh dari kandang utama, sehingga kami dapat meminimalisir keadaan,” kata Suwardi

Namun, Senin siang sekitar pukul 11.00 Wita, api kembali berkobar. Para personil BOSF kembali terjun ke lokasi untuk melakukan pemadaman secara tradisional, yakni memukulkan ranting pohon dan menggunakan alat penyemprot tanaman.

“Api kembali muncul pukul 11.00 Wita. Sekitar 46 personil kami kembali terjun ke lapangan untuk melakukan pemadaman yang bisa diminimalisir sekitar pukul 17.20 Wita,” papar Suwardi.

 

Kebakaran Lahan di BOSF Samboja Lestari. Foto: Hendar

Kebakaran Lahan di BOSF Samboja Lestari. Foto: Hendar

 

Staf Komunikasi BOSF, Cantika Adinda, menuturkan titik api ada di beberapa lokasi. Dia dan rekan-rekannya kesulitan memadamkan api sekaligus. Cara manual memukul api menggunakan ranting kayu harus mereka lakukan agar api tidak mendekati bangunan rehabilitasi orangutan.

“Ada beberapa lokasi, ketika kami fokus memadamkan api dekat Jalan Lepiosula, api malah membesar di lahan dekat Jalan Elang. Jalanan masuk ke lokasi kebakaran juga sulit, kami bolak-balik harus mengangkut air. Alat yang tersedia hanya dua penyiram tanaman dan ranting,” ujarnya

Saat kejadian kebakaran, pihak BOSF sudah menghubungi tim pemadam kebakaran di Balikpapan yang berlokasi di Km 23. Merasa bukan area wilayahnya tim pemadam Balikpapan meminta pihak BOSF menghubungi pemadam di Kutai Kartanegara (Kukar).

“Kami sudah menghubungi tim pemadam Balikpapan, namun mereka tidak berkenan datang. Kami diminta menghubungi tim pemadam Kukar. Daripada menunggu, kami lakukan semampunya,” jelas Adinda.

 

Lokasi banguan kandang yang dekat dengan kebakaran. Foto: Hendar

Lokasi banguan kandang yang dekat dengan kebakaran dan staf BOSF Samboja Lestari terlihat memantau titik api. Foto: Hendar (atas dan bawah)

Personil BOSF Samboja Lestari tengah melakukan pemantauan titik api. Foto: Hendar

 

Selasa (1/9/15) pagi, anggota Koramil Samboja dan Pemadam kebakaran Kutai Kartanegara tiba di lokasi untuk meminalisir kebakaran yang menghanguskan 30 hektar lahan itu.

Tidak ada orangutan yang dievakuasi. Peristiwa ini tidak mempengaruhi kondisi fisik maupun mental orangutan yang dirawat di BOSF. Hal yang turut membuat pengelola sedih adalah pohon meranti yang sudah ditanam sejak 2001 hangus dan sebagian kering.

“Meranti sudah kami tanam sejak 2001, setiap tahun, pertumbuhannya hanya 0,5 centimeter. Selama 15 tahun lebih kami merawat dan memperhatikan. Kebakaran ini ibarat orang yang akan panen dan tiba-tiba musnah, sakit rasanya,” ungkap Adinda.

Akibat kebakaran ini, banyak satwa liar yang kehilangan habitatnya. “Di sekitar wilayah BOSF hidup satwa liar seperti kijang, macan dahan, beruk, landak, trenggiling, dan ular piton. Mereka menjadikan tempat sekitar rehabilitasi sebagai habitatnya. Kini sudah terbakar, entah bagaimana nasibnya,” urai Suwardi.

 

 

 


30 Hektar Lahan Konservasi Samboja Lestari Terbakar. Bagaimana Nasib Orangutan? was first posted on September 1, 2015 at 8:58 am.

Kualitas Udara Pontianak Memburuk, Masyarakat Kian Terpuruk

$
0
0
Beginilah kondisi udara Kota Pontianak yang diselimuti kabut asap sejak dua pekan terakhir. Foto: Andi Fachrizal

Beginilah kondisi udara Kota Pontianak yang diselimuti kabut asap sejak dua pekan terakhir. Foto: Andi Fachrizal

Kabut asap kembali menyelimuti Kota Pontianak. Bahkan, indeks standar pencemaran udara (ISPU) kurun waktu dua pekan terakhir kian memburuk. Kategorinya berkutat di level sedang hingga tidak sehat. Sedangkan jarak pandang pagi hari tersisa 200 meter.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak melansir, informasi kualitas udara yang dianalisis berdasarkan pantauan alat kualitas udara Particulate Matter (PM10) pada 31 Agustus 2015 pukul 00.00 – 23.50 WIB pada umumnya dalam kategori sedang. Namun, kondisi paling buruk terjadi pukul 07.00 – 08.40 WIB. Saat itu, kualitas udara di level tidak sehat.

Kodisi ini mengundang kekhawatiran warga Pontianak. “Saya cemas dengan kesehatan anak-anak. Soalnya, kondisi udara terburuk itu pada pagi hari di saat anak-anak akan pergi ke sekolah,” kata Maylani, salah seorang warga Jeruju, Pontianak Barat, Selasa (1/9/2015).

Ibu dua anak ini mengatakan harus ada upaya nyata dari pemerintah agar bencana asap tak perlu berulang setiap tahun. “Selama ini kabut asap seperti tradisi tahunan saja. Kita, masyarakat kecil selalu jadi korban. Harusnya pemerintah punya langkah konkrit dalam mengatasi bencana ini. Cari penyebabnya, lalu tindak dengan tegas,” pinta Maylani.

Berdasarkan informasi sebaran hotspot di Kalimantan Barat melalui citra satelit Modis yang diperbarui Selasa (1/9/2015) pukul 05.00 WIB, terdeteksi ada 74 titik panas. Angka ini tersebar di lima kabupaten, yakni Kayong Utara, Ketapang, Kubu Raya, Melawi, dan Sintang.

Jumlah titik panas terbanyak ada di Kabupaten Ketapang sebanyak 45 titik panas. Selanjutnya Kubu Raya (13 titik), Kayong Utara (9 titik), Melawi (4 titik), dan Sintang sebanyak (3 titik).

Kondisi di atas diperparah dengan sebaran titik panas di provinsi lainnya di Pulau Kalimantan. Sebaran hotspot berdasarkan citra satelit Modis terbesar ada di Provinsi Kalimantan Tengah sebanyak 313 titik panas. Selanjutnya, Kalimantan Timur (138 titik) dan Kalimantan Selatan (30 titik). Dengan demikian, total jumlah titik panas se-Kalimantan yang terdeteksi citra satelit Modis mencapai 591 titik.

Komitmen Presiden

Menyikapi bencana asap di sejumlah daerah di Indonesia, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup, Abetnego Tarigan mengingatkan kembali komitmen Presiden Jokowi di pengujung 2014 yang menyebut Indonesia bebas asap pada 2015. “Tapi kebakaran yang memicu bencana asap tahun ini menjadi bukti bahwa komitmen presiden masih jauh dari harapan,” katanya dalam siaran pers, Selasa (1/9/2015).

Menurutnya, situasi seperti ini membutuhkan langkah-langkah strategis dari Presiden Jokowi. Di antaranya, menginstruksikan kepala daerah untuk melakukan gerakan serentak penyekatan kanal dan menerapkan proses sanksi terhadap pemegang konsesi sawit, sebagai tindakan mendesak yang harus segera dilakukan oleh para kepala daerah.

Selanjutnya, kata Abetnego, upaya penegakan hukum musti dilakukan terhadap perusahaan pembakar lahan dan mereview perizinannya. Presiden diminta menghentikan penerbitan izin baru dan mengevaluasi izin yang telah diberikan. Termasuk mengevaluasi pengawasan pemerintah terhadap izin yang dikeluarkan. “Hal lain adalah memulihkan kawasan hutan kritis dan memberi kesempatan pengolahan dan perlindungan hutan kepada masyarakat di sekitar hutan.”

Terkait upaya penegakan hukum dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, Anton P Wijaya mendesak kepolisian setempat segera mencabut maklumat tentang kebakaran hutan. “Maklumat itu hanya menimbulkan kemarahan dan resistensi masyarakat lokal yang justru tidak menjawab persoalan pokok penyebab kebakaran.”

Menurut Anton, kepolisian harusnya melakukan penegakan hukum seadil-adilnya kepada para penjahat lingkungan. “Ini jelas dilakukan korporasi yang melakukan pembakaran dalam proses pembersihan lahan-lahan konsesi mereka.”

Lebih jauh Anton menyebut, penegakan hukum juga harus dilakukan kepada stakeholder lain selain private sector yang memiliki mandat dan wewenang melakukan perbaikan tata kelola sumber daya alam, dan memastikan praktik kebun tanpa membakar tetapi tidak menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

Fakta-fakta yang menjadi temuan Walhi di berbagai daerah, sambungnya, menunjukkan bahwa akar masalah terbesar kebakaran dan asap di Indonesia sangat nyata dan sebenarnya sangat dipahami oleh pemerintah. “Mestinya pemerintah memadamkan api dengan pena, bukan dengan modifikasi cuaca, karena sumber masalahnya dari penerbitan konsesi,” ucapnya.

 

 


Kualitas Udara Pontianak Memburuk, Masyarakat Kian Terpuruk was first posted on September 2, 2015 at 3:19 am.

Inilah Desa di Kabupaten OKI yang Setiap Tahun Langganan Kebakaran

$
0
0
Seorang warga di Desa Perigi Talang Nangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan coba memadamkan api di kebun sawit yang terbakar dengan menggunakan ranting pohon. Foto: Taufik Wijaya

Seorang warga di Desa Perigi Talang Nangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan coba memadamkan api di kebun sawit yang terbakar dengan menggunakan ranting pohon. Foto: Taufik Wijaya

Upaya Pemerintah Sumatera Selatan untuk bebas dari bencana kabut asap di 2015 ini tampaknya tidak berjalan mulus. Pekan terakhir Agustus 2015, kabut asap melanda Palembang dan wilayah lainnya di sekitar lahan gambut.

Kabut asap tersebut diakibatkan kebakaran lahan pada wilayah yang hampir setiap tahun terbakar. Terutama di Desa Perigi Talang Nangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Titik api atau kebakaran di desa ini bukan hanya disebabkan aktivitas warga yang membuka lahan untuk bersawah ladang atau meremajakan perkebunan karetnya. Namun juga, terjadi di lahan perkebunan sawit. Misalnya, di lahan perkebunan sawit milik PT. PSM (Persada Sawit Mas), yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari perkampungan warga. Lahan perkebunan sawit ini merupakan lahan gambut yang kedalamannya berkisar 50 centimeter hingga dua meter. Lahan ini berbatasan dengan perkebunan karet milik warga yang bukan lahan gambut.

“Lokasi kebun sawit ini hampir setiap tahun terbakar. Kebakaran tahun ini nyaris membakar kebun karet milik warga, termasuk milik saya,” kata Eddy Saputra, Ketua Gabungan Kelompok Tani Perigi Bersatu Makmur, Senin (31/08/15).

“Jika pihak perusahaan tidak melakukan pemadaman selama dua hari ini, mungkin kebun karet milik kami banyak yang habis terbakar. Satu kebun milik warga habis terbakar. Pohon karetnya sudah berusia tiga tahun,” jelas Eddy sambil menunjuk kebun karet yang habis terbakar tersebut, yang letaknya berbatasan dengan lahan perkebunan sawit.

Di lokasi terlihat juga warga yang tengah berjaga. “Saya tiga malam ini tidur di sini. Jaga kebun dari kobaran api. Kalau pulang hanya makan dan mandi,” kata Amir, yang kebun karetnya diapit kebun karet dan kebun sawit yang sudah terbakar.

Perkebunan sawit milik PT. PSM dengan perkebunan karet warga hanya dibatasi sebuah kanal yang lebarnya sekitar tiga meter. Namun, sebagian besar kanal ini dangkal dan ditumbuhi rumput, sehingga api begitu mudahnya menjalar dari perkebunan sawit ke kebun karet milik warga.

“Angin dari arah tenggara juga membawa percikan api dari kebun sawit sehingga mempercepat terbakarnya kebun karet ini. Kami sudah berusaha memadamkan, tapi tidak mampu. Kebun kami bae sudah kering akibat hembusan api,” ujarnya.

 

Kanal pembatas perkebunan sawit PT. PSM dengan perkebunan karet rakyat. Kanal yang dangkal dan dipenuhi rumput menjadi penghantar api yang baik. Foto: Taufik Wijaya

Kanal pembatas perkebunan sawit PT. PSM dengan perkebunan karet rakyat. Kanal yang dangkal dan dipenuhi rumput menjadi penghantar api yang baik terjadinya kebakaran. Foto: Taufik Wijaya

 

Saat saya ke lokasi perkebunan sawit, terlihat kayu-kayu bekas penebangan pohon telah menjadi arang. Beberapa pohon sawit yang sudah berbuah daunnya juga mengering.

Terlihat pula sejumlah kepulan asap dari dalam tanah. Seperti berada di wilayah pegunungan aktif, tiba-tiba muncul api dari dalam tanah yang menyambar rumput atau tanaman yang sudah mengering.

Saya dan beberapa warga yang berada di lokasi berusaha memadamkan kobaran api dengan menggunakan pelepah pohon sawit, dan sebuah parang untuk membersihkan rumput sehingga api tidak menjalar. Setelah api padam baru muncul petugas pemadam api perusahaan.

Apakah pihak perusahaan mengajak masyarakat dalam mengatasi kebakaran lahan? “Tidak pernah. Tidak pernah kami diajak perusahaan untuk bekerja sama dalam mengatasi kebakaran, apalagi bantuan buat kami seperti peralatan pemadam kebakaran. Sama sekali tidak ada, meskipun hampir setiap tahun terjadi kebakaran,” kata Eddy.

Sehari sebelumnya, Minggu (30/08/15), saya melihat sejumlah titik api yang diakibatkan aktivitas perkebunan karet. Kebun karet yang dibakar tersebut merupakan kebun yang akan diremajakan. Yakni pohon-pohon karet yang usianya 25 tahun ditebang. Daun, ranting dan bongkol pohon yang dibakar.

“Kami tahunya dengan cara bakar inilah. Kalau menggunakan racun, kami tak punya dana, juga makan waktu. Hanya dengan bakar inilah. Kalau sudah dibakar, kami juga tidak perlu pupuk buat menanam bibit yang baru. Kalau pemerintah punya cara yang baik, tanpa perlu membakar kami mau mengikutinya,” kata seorang warga yang tengah membakar kebun karetnya yang akan diremajakan.

Sejumlah warga juga melakukan pembakaran di lahan gambut. Lahan berupa semak rumput tersebut, selalu dibakar setiap kali musim kemarau. Pembakaran ini dilakukan sebelum mereka menanam padi.

“Tapi kami membakarnya sedikit-sedikit. Kami menjaganya siang malam. Kami tahun kalau kebakaran ini menimbulkan asap, makanya kami menjaga jangan sampai api membakar terlalu luas, sehingga menimbulkan asap yang banyak sekaligus,” katanya warga yang juga tidak mau menyebutkan identitas dirinya.

 

Kebun karet masyarakat yang mengering akibat lahan perkebunan sawit perusahaan yang terbakar. Foto: Taufik Wijaya

Kebun karet masyarakat yang mengering akibat lahan perkebunan sawit perusahaan yang terbakar. Foto: Taufik Wijaya

 

Minta perusahaan atasi kebakaran

Sebelumnya, M. Rosidi, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), mengatakan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten OKI, langsung bereaksi setelah adanya kabut asap.

“Sebagai tindak lanjut dari rapat di tingkat provinsi, kami akan memanggil pihak-pihak yang mengelola lahan di Kabupaten OKI. Kita minta mereka untuk segera mengatasi kebakaran tersebut,” kata M. Rosidi, Jumat (28/08/15).

“Jika sudah diberi peringatan keras, tapi api tetap muncul di lahan mereka, bukan tidak mungkin bersama aparat keamanan terkait kita akan memasang police line pada lahan yang terbakar,” katanya.

Mukti Sulaiman, Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Selatan, Jumat (28/08/15) menjelaskan pihaknya akan mengeluarkan surat instruksi kepada bupati dan walikota di Sumatera Selatan terkait persoalan kebakaran hutan dan lahan gambut. Bahkan, dia meminta camat dan kepala desa tidak meninggalkan tempat, dan melakukan pemantauan terhadap aktifitas perkebunan dan pertanian.

Mukti juga menjelaskan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah Sumatera Selatan guna mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut sejak beberapa bulan lalu.

Misalnya, Pemerintah Sumatera Selatan menetapkan status keadaan Siaga Darurat Bencana Asap akibat kebakaran Hutan dan Lahan melalui Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor: 215/KPTS/BPBD/2015, tanggal 26 Februari 2015, tentang penetapan status keadaan siaga darurat bencana asap akibat kebakaran hutan.

Bahkan Alex Noerdin, Gubernur Sumatera Selatan, mengatakan, “Sumatera Selatan harus zero hotspot atau tidak ada titik api yang akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Seminimal mungkin tidak ada asap dan api,” kata Alex Noerdin pada Apel Kesiapsiagaan Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Sumsel Tahun 2015 dan pelepasan tim operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di Base Ops Pangkalan TNI AU Palembang, Kamis (09/07/15).

Menurut Alex Noerdin, pada tahun sebelumnya, teknologi modifikasi cuaca biasanya dilakukan saat tanggap darurat atau saat kabut asap mulai mengepung.  “Tapi sekarang kita lakukan sejak awal. Target kita tahun ini adalah Sumatera Selatan bebas kabut asap. Walaupun masih ada asap harus seminimal mungkin,  kalaupun masih ada tidak mengganggu siapa-siapa,” katanya.

 

 

 


Inilah Desa di Kabupaten OKI yang Setiap Tahun Langganan Kebakaran was first posted on September 2, 2015 at 5:37 am.

460 Juta Tahun Silam, Tubuh Kalajengking Diperkirakan Seukuran Manusia

$
0
0

Anda pasti tidak tidak asing dengan wujud kalajengking. Hewan beruas yang memiliki delapan kaki dan sepasang capit seperti lobster dengan ekor melengkung ke atas. Ukurannya juga bervariasi, mulai dari 2,5 cm hingga 20 cm.

Namun, sekitar 460 juta tahun lalu, ukuran kalajengking sangatlah besar. Seukuran manusia dewasa atau 1,7 meter. Ia berkelana bebas di laut purba yang kini menjadi negara bagian Iowa di Amerika Serikat. Predator ini memangsa kerang maupun hewan laut lainnya seperti belut.

 

Ilustrasi yang menunjukkan dua kalajenging laut dewasa yang hidup di zaman Ordovician sekitar 460 juta tahu lalu. Credit: Patrick Lynch/Yale University

Ilustrasi yang menunjukkan dua kalajenging laut dewasa yang hidup di zaman Ordovician sekitar 460 juta tahu lalu. Credit: Patrick Lynch/Yale University

 

Bukti ukuran kalajengking purba raksasa yang hidup di laut ini ditemukan oleh para ilmuwan dari hasil penggalian di sungai sekitar timur laut Iowa. Pentecopterus decorahensis -nama yang diberikan- merupakan binatang yang dapat bertumbuh hingga panjangnya enam kaki.

Temuan yang dipubliksikan dalam jurnal BMC Evolutionary Biology edisi 31 Agustus 2015, mengungkapkan bahwa kalajengking ini umurnya 10 juta tahun lebih tua ketimbang kalajengking laut lainnya. Karena itu, julukannya sebagai kalajengking tertua di dunia.

 

 

Fosil yang ditemukan di kawah meteorit purba. Kredit: James Landell

Fosil yang ditemukan. Kredit: James Landell

 

Kalajengking laut ini merupakan Arthropoda terbesar yang pernah hidup di muka bumi. Tubuhnya yang ramping terdiri dari 12 ruas dan memiliki sepasang kaki yang berguna untuk menjepit mangsanya.

Selain itu, lengang besarnya berfungsi untuk mencengkeram mangsa, sementara kaki dayungnya dipergunakan untuk berenang cepat mengejar buruan. Ada ‘helm’ eksoskeleton juga yang melindungi kepalanya.

 

Penelitian yang dilakukan terkait fosil kalajengking laut di permukaan sungai Iowa. Kredit: Iowa Geological Survey

Penelitian yang dilakukan terkait fosil kalajengking purba di permukaan sungai Iowa. Kredit: Iowa Geological Survey

 

Anggota badan paling belakangnya atau Pentecopterus juga ditutupi bulu lebat. Ilmuwan percaya bulu itu memiliki fungsi sensorik sekaligus untuk membantunya bermanuver selama berenang. “Bentuk dari alat mendayung ini sangat unik. Jelas sekali sebagai makhluk predator” kata James Lamsdell, dari Yale University, sebagaimana dikutip dari Live Science.

 

 

Konstruksi kalajengking purba yang diperkirakan tubuhnya seukuran manunia. Kredit: James Lamsdell

Konstruksi kalajengking purba yang diperkirakan tubuhnya seukuran manunia. Kredit: James Lamsdell

 

Lamsdell dan rekan-rekannya menamai kalajengking ini Pentecopterus decorahensis seperti nama dewa pelindung kapal perang Yunani, Penteconter. Kalajengking laut yang diperkirakan hidup di periode Ordovician, ketika lautan masih menutup sebagian besar wilayah Amerika Utara dan kehidupan di bumi lebih banyak ditemukan dalam lautan.

Menurut Lamsdell, kalajengking laut ini kemungkinan besar merupakan salah satu binatang terbesar di bumi saat itu, dan termasuk salah satu predator laut yang paling ditakuti. Kalajengking laut – atau eurypterid – ini pun disebut nenek moyangnya kalajengking moderen.

“Pentecopterus adalah hewan besar yang merupakan predator penting dalam ekosistem awal Paleozoikum,” pungkas Lamsdell.

 

 

 

 


460 Juta Tahun Silam, Tubuh Kalajengking Diperkirakan Seukuran Manusia was first posted on September 2, 2015 at 10:27 am.

Alex Noerdin: Lima Bupati di Sumatera Selatan Dilarang Bepergian hingga Kabut Asap Teratasi

$
0
0
Seorang warga di Desa Perigi Talang Nangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan coba memadamkan api di kebun sawit yang terbakar dengan menggunakan ranting pohon. Foto: Taufik Wijaya

Seorang warga di Desa Perigi Talang Nangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan coba memadamkan api di kebun sawit yang terbakar dengan menggunakan ranting pohon. Foto: Taufik Wijaya

Kabut asap yang melanda Sumatera Selatan, khususnya Palembang dan beberapa wilayah di timur Sumatera Selatan, selama sepekan ini, membuat gerah Alex Noerdin. Gubernur Sumatera Selatan ini langsung memerintahkan lima bupati untuk tidak berpergian hingga kabut asap teratasi. Perintah yang sama ditunjukan kepada camat dan kepala desa di lima kabupaten tersebut.

Kelima bupati itu adalah Bupati Kabupatan Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Ilir (OI), Banyuasin, Musi Banyuasin (Muba), dan Muara Enim. “Kalau hanya liburan atau bukan keperluan mendesak, kepala daerah tersebut tidak boleh keluar sampai asap tidak ada. Termasuk camat dan kades setempat pun tidak boleh,” kata Alex kepada media di Palembang, Rabu (02/09/15).

Para bupati diwajibkan berkoordinasi minimal tiga hari sekali dengan tim penanggulanan kebakaran hutan dan lahan agar aksi menjadi optimal. “Jaga daerah masing-masing. Bila ada bupati yang membantah tidak produksi asap, terserah. Yang penting penanggulangannya itu yang harus dilakukan terus,” ujarnya.

Terkait kebakaran hutan atau lahan di perbatasan Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Muba dengan Provinsi Jambi, Pemda Muba akan berkoordinasi dengan Pemprov Jambi untuk menanggulangi kebakaran bersama.

Hal ini sebagaimana disampaikan Beni Hernedi, Wakil Bupati Muba. “Sekitar 200 hektar hutan di perbatasan Sumatera Selatan-Jambi terbakar. Lokasinya jauh dari jangkauan, satgas karhutlah kesulitan untuk memadamkan.”

 
OKI terus membara

Kebakaran juga melanda Kabupaten OKI. Akibat tiga rumah burung walet di Dusun Laman Serai, Desa Lebung Gajah, Kecamatan Tulungselapan, terbakar, ribuan hektar lahan gambut berupa semak pakis ikut membara. Api yang begitu cepat membesar karena tiupan angin dan udara panas turut menghanguskan ratusan hektar kebun karet warga.

“Peristiwa terjadi Selasa. Sekarang api belum padam betul. Bara masih mengeluarkan asap,” kata Mujibur, karyawan sebuah perusahaan hutan tanaman industri (HTI), Rabu.

Dia bersama rekan kerjanya, terus berjaga di lahan milik perusahaan tempatnya bekerja di Distrik Penyabungan, karena arah angin ke barat dan tenggara menuju lahan HTI tersebut. “Kami sudah mendalami parit pembatas dengan menggunakan ekskavator dan menyusun batang kayu sepanjang batas, agar api tidak merayap ke arah kebun,” katanya. “Kami juga bersiaga dengan ratusan petugas pemadam bersama peralatannya,” tambahnya.

Sementara Rabu, kebakaran terjadi di Sungai Kelese, Desa Simpang Tiga Induk, Kecamatan Tulungselapan. “Apinya cukup besar, membakar habis lahan gambut berupa belukar yang biasanya dijadikan warga untuk menanam padi.”

Dua hari lalu, api juga juga muncul di Dusun Buntuhan, Desa Simpang Tiga Sakti. Diperkirakan api berasal dari pembukaan lahan untuk menanam padi warga. “Api ini mengancam Distrik Lebong Hitam. Penjagaan juga dilakukan di area sana,” ujar Mujibur.

Di tempat lain di Kabupaten OKI kebakaran lahan juga terus bermunculan. Misalnya di Lebak Sepucuk Kayuagung. Selasa, Bupati OKI Iskandar, bersama petugas pemadam kebakaran mengatasi api di lokasi lahan gambut tersebut.

“Saya minta pihak perusahaan turun memadamkan api. Petugas kita akan terus siaga di lahan terbakar ini,” kata Iskandar kepada beberapa perwakilan perusahaan di Sepucuk. Seperti diketahui di wilayah Sepucuk ini banyak terdapat perkebunan sawit.

“Kita sudah maksimal. Jauh hari, kita telah menyebarkan maklumat Kapolda berisikan pelarangan membakar lahan dan hutan, serta sanksi yang diberikan apabila ditemukan pelaku pembakaran. Akan tetapi, dampak El Nino yang melintasi Sumsel juga di luar kemampuan kita,” jelas Iskandar.

 


Alex Noerdin: Lima Bupati di Sumatera Selatan Dilarang Bepergian hingga Kabut Asap Teratasi was first posted on September 3, 2015 at 1:30 am.

Joe Yaggi: Program Siaran Televisi Indonesia Belum Banyak Angkat Isu Lingkungan

$
0
0
Joe Yaggi yang telah malang-melintang dalam pembuatan film dokumenter mengenai lingkungan. Foto: Petrus Riski

Joe Yaggi yang telah malang-melintang dalam pembuatan film dokumenter mengenai lingkungan. Foto: Petrus Riski

Kampanye pelestarian lingkungan serta penyelamatan satwa banyak dilakukan oleh para aktivis, baik berupa sosialisasi, aksi unjuk rasa, hingga dialog publik. Namun, ada cara lain yang dapat dilakukan untuk mengajak masyarakat agar lebih peduli dan ikut serta menjaga lingkungan. Membuat film dokumenter yang disiarkan melalui televisi, salah satunya.

Cara ini yang dilakukan Joe Yaggi, yang aktif sebagai pembuat film dokumenter bertema lingkungan dan satwa di Bumi Hijau TV. Ajakan mendokumentasikan peristiwa yang berkaitan dengan isu lingkungan dan satwa, disampaikannya saat menjadi pembicara pada ProFauna Conference 2015 di Malang, beberapa waktu lalu.

Joe Yaggi berpendapat, prospek film dokumenter sangat berpeluang untuk mengisi program-siaran televisi di Indonesia, sebagai alternatif edukasi bertema lingkungan. Ini dikarenakan pengaruh siaran televisi masih sangat besar dibandingkan media-media lain terutama dalam usaha meraih perhatian masyarakat secara umum.

“Di Indonesia televisi memiliki penetrasi 95 persen ke masyarakat, yang pastinya lebih banyak jumlahnya dibanding media cetak atau internet. Media, pastinya berperan penting dalam mengangkat isu-isu lingkungan agar masyarakat lebih peduli dan memahami kondisi yang ada,” ujar pemilik Jungle Run Production ini.

Menurut Joe Yaggi, meski sudah tayangan bertema lingkungan di televisi Indonesia, namun jumlah tayangan tersebut perlu diperbanyak lagi. Terlebih, selama ini televisi di Indonesia masih memakai rating sebagai landasan membuat program siaran. Padahal, program siaran berupa film dokumenter juga banyak diminati masyarakat.

“Di Indonesia ada 12 stasiun televisi, dan mereka berpedoman pada lembaga rating seperti AC Nielsen. Isu lingkungan belum banyak menjadi pilihan, karena program tayangan hiburan, komedi, dan sinetron masih mendominasi.”

Melalui Bumi Hijau TV, Joe Yaggi ikut memproduksi serta menyebarluaskan program-program bertemakan lingkungan ke 100 lebih televisi lokal di seluruh Indonesia. Setiap tahunnya, ada sekitar 150 film dokumenter yang diproduksi, sebagai media informasi penting bagi masyarakat di berbagai daerah.

“Di daerah, kami menemukan orang yang sebenarnya peduli tentang persoalan lingkungan, dan kami mengeluarkan film-film dokumenter seperti ini untuk mengajak masyarakat. Kami berharap mereka dapat berpartisipasi pada isu yang sama, dan mereka bisa memahami,” papar Joe yang merupakan Dewan Penasehat ProFauna.

Pembuatan film dokumenter, lanjut Joe, memang tidak akan mendatangkan keuntungan sebagaimana membuat program televisi yang sesuai rating. Namun, film dokumenter merupakan media yang sangat efektif untuk mengedukasi masyarakat, khususnya mengenai isu lingkungan dan permasalahan lainnya.

“Persoalan lingkungan juga harus menjadi tanggungjawab media, paling tidak untuk meningkatkan kepedulian dan pemahaman masyarakat agar mau manjaga dan melestarikan lingkungan. Melalui tayangan televisi, orang yang tidak berpendidikan sekalipun akan dapat memahami pesan apa yang ingin disampaikan,” pungkas lelaki yang sudah berada di Indonesia selama 20 tahun ini.

 

 


Joe Yaggi: Program Siaran Televisi Indonesia Belum Banyak Angkat Isu Lingkungan was first posted on September 3, 2015 at 6:08 am.

Lima Individu Orangutan Kembali Dilepasliarkan di Kehje Sewen

$
0
0
Proses pelepasliaran orangutan. Foto: Agus Purniawan/Yayasan BOS

Proses pelepasliaran orangutan. Foto: Agus Purniawan/Yayasan BOS

Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Yayasan BOS) Program Reintroduksi Orangutan Samboja Lestari, Kalimantan Timur, kembali melepasliarkan lima individu orangutan yang terdiri dari satu jantan dan empat betina di Hutan Kehje Sewen, Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara. Sejak 2012, terhitung sudah 31 orangutan yang sebelumnya telah dilepasliarkan di hutan yang dikelola oleh PT. Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (PT. RHOI) yang didirikan oleh Yayasan BOS itu.

Salah satu kandidat orangutan yang akan dirilis, Long, merupakan orangutan betina yang memang berasal dari areal sekitar Hutan Kehje Sewen. Long diserahkan ke Yayasan BOS oleh seorang warga Nehas Leah Bing yang menemukannya di Hutan Adat Wehea. Kini, diusianya yang ke-9 tahun, Long kembali pulang, namun ke tempat yang lebih terjamin.

Agus Irwanto, Manajer Program Samboja Lestari menuturkan, pihaknya masih memiliki kewajiban untuk melepasliarkan lebih dari 150 individu orangutan rehabilitan yang sehat dan memenuhi segala persyaratan untuk hidup liar di habitat alaminya. Kami juga berupaya memberikan kehidupan yang lebih baik kepada orangutan yang tidak bisa dilepasliarkan. “Dukungan semua pihak sangat kami harapkan demi keberlanjutan satwa ikonik ini,” ujarnya, Kamis (3/9/15).

 

Perjalanan pelepasliaran orangutan yang menggunakan angkutan udara. Foto: Rini Sucahyo/Yayasan BOS

Perjalanan pelepasliaran orangutan yang menggunakan angkutan udara. Foto: Rini Sucahyo/Yayasan BOS

 

Aldrianto Priadjati, Direktur PT. RHOI, menjelaskan bahwa kegiatan pelepasliaran merupakan bagian panjang dari pemantauan kehidupan orangutan di alam liar. Tantang berikutnya yang harus dihadapi adalah memastikan bahwa orangutan tersebut benar-benar nyaman dan dapat berkembang biak di Hutan Kehje Sewen. “Kami berharap, upaya pelepasliaran orangutan dalam skema IUPHHK-RE (Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu – Restorasi Ekosistem) yang berada di Kalimantan Timur mendapatkan dukungan semua pihak. Dengan begitu, orangutan masih berada di pusat rehabilitasi dapat segera dilepasliarkan.”

Harapan Aldrianto cukup beralasan. Bila digabungkan, sejak 2012 hingga akhir Agustus 2015, Yayasan BOS telah melepasliarkan 186 individu orangutan. Dengan rincian, 155 orangutan dari Pusat Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng dilepaskan ke Hutan Lindung Bukit Batikap, Kalimantan Tengah, sedangkan 31 orangutan dari Pusat Reintroduksi Orangutan Samboja Lestari dilepasliarkan ke Hutan Kehje Sewen, Kalimantan Timur.

Untuk memastikan tingkat keberhasilan pelepasliaran ini, tim pemantauan pasca-pelepasliaran di dua tempat tersebut terus melakukan evaluasi proses adaptasi. Hasilnya adalah sekitar 92,5 persen orangutan yang telah dilepasliarkan itu dapat bertahan hidup dan hanya 14 individu saja yang tidak dapat bertahan di habitat barunya.

“Dari 14 individu ini, 9 berada di Hutan Lindung Bukit Batikap, 3 di Hutan Kehje Sewen yang diidentifikasi mati, dan 2 dari Hutan Kehje Sewen juga yang harus dikembalikan ke Samboja Lestari karena sakit parah,” ujar Aldrianto.

 

Orangutan siap dilepasliarkan dihabitat alaminya di Hutan Kehje Sewen. Foto: Monica/Yayasan BOS

Orangutan siap dilepasliarkan dihabitat alaminya di Hutan Kehje Sewen. Foto: Monica/Yayasan BOS

 

Upaya perlindungan

Jamartin Sihite, CEO Yayasan BOS menyatakan, orangutan merupakan satwa dilindungi. Menurut Jamartin, upaya pelestariannya juga telah disusun dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 yang dicanangkan oleh Presiden Indonesia saat Konferensi Perubahan Iklim di Bali, Desember 2007. Poin penting yang perlu dicatat adalah paling lambat, 2015 ini, semua orangutan di pusat rehabilitasi sudah dikembalikan ke habitatnya.

Terhadap target tersebut, Jamartin memberikan apresiasi namun lebih menekankan pada keselamatan orangutan ketika berada di alam liar. Menurutnya, pengawasan, pemantauan, dan penegakan hukum  penting dilakukan demi upaya perlindungan orangutan. “Peran Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur maupun Kalimantan Tengah beserta aparat berwenang sangat diidamkan.”

Pelepasliaran merupakan himbauan kepada semua pihak untuk mewujudkan aksi nyata konservasi orangutan demi kehidupan bersama makhluk hidup di muka bumi. “Komitmen pemerintah dan ketegasan hukum sangat menentukan keberlangsungan hidup orangutan yang memang sepatutnya dilindungi.”

Terkait perlindungan orangutan, Kepala BKSDA Kalimantan Timur Y. Hendradi Kusdihardjo mengatakan, orangutan memang harus dilindungi oleh pemerintah melalui undang-undang. Menurut Hendradi melindungi orangutan berarti harus melindungi hutan sebagai habitatnya yang harus diatur dalam tata kelola hutan yang baik. “Semua pihak, termasuk pemerintah pusat dan daerah harus mengacu pada proses hukum selain berkewajiban menjaga orangutan dan melestarikan lingkungan.”

Yayasan BOS, sejak didirikan 1991, telah merawat lebih dari 700 orangutan. Sementara PT. RHOI, perusahaan yang didirikan oleh Yayasan BOS, mendapatkan izin IUPHHK-RE dari Kementerian Kehutanan (saat itu) seluas 86.450 hektar di Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pada 18 Agustus 2010. Izin konsesi yang berlaku selama 60 tahun dengan perpanjangan 35 tahun itu, dinamakan Hutan Kehje Sewen, diadopsi dari bahasa Dayak Wehea yang berarti orangutan. 

 

Pelepasliaran merupakan awal dari perjuangan hidup orangutan di hutan yang harus selalu dipantau keberadaannya. Foto: Monica/Yayasan BOS

Pelepasliaran merupakan awal dari perjuangan hidup orangutan di hutan yang harus selalu dipantau keberadaannya. Foto: Monica/Yayasan BOS

 

 


Lima Individu Orangutan Kembali Dilepasliarkan di Kehje Sewen was first posted on September 3, 2015 at 11:48 am.

Derita Warga Desa Perigi Talang Nangka yang tidak Memiliki Lahan dan Dicap Perambah

$
0
0
Kanal ini panjangnya 30 kilometer. Dibuat warga Perigi Talang Nangka secara swadaya. Foto: Taufik Wijaya

Kanal ini panjangnya 30 kilometer. Dibuat warga Perigi Talang Nangka secara swadaya. Foto: Taufik Wijaya

Desa Perigi Talang Nangka merupakan satu dari 19 desa yang masuk di Kecamatan Pangkalan Lampan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Seperti umumnya warga di kecamatan tersebut, di masa lalu sebagian besar warga bekerja sebagai pencari kayu di hutan. “Saat ini orang menyebut pekerjaan tersebut sebagai perambah. Saya akui  hingga hari ini ada warga di desa kami yang tetap mencari kayu di hutan yang tersisa,” kata kata Eddy Saputra, Ketua Gabungan Kelompok Tani Perigi Bersatu Makmur, Selasa (01/09/15).

“Itu dilakukan warga karena mereka tidak punya kebun. Menjadi buruh kebun milik warga lain jelas pendapatannya tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga, yang saat ini terus meningkat, terutama untuk biaya pendidikan anak dan kebutuhan listrik,” kata Eddy.

Hampir setengah dari sekitar 5.000 jiwa warga Desa Perigi Talang Nangka tidak memiliki lahan untuk berkebun.

Bahkan, dikatakan Eddy, sebagian warga dari Pangkalan Lampam merantau ke Riau, Jambi, atau Kalimantan, untuk mencari kayu di hutan.

Kenapa mereka tidak memiliki lahan? “Lahan kebun yang merupakan peninggalan para leluhur kami diambil pemerintah untuk lahan konsensi perkebunan sawit. Dijadikan kawasan hutan milik negara, dan sebagian memang dijual warga dengan perusahaan perkebunan sawit,” katanya.

Karena tidak memiliki lahan, maka warga yang ingin menanam padi akhirnya membakar lahan gambut milik negara, yang pada umumnya sudah tidak ada lagi hutannya. “Setelah terbakar, lahan ini kemudian ditanami padi oleh warga,” ujarnya.

Penyebab kedua, kenapa masih ada warga membakar, karena mereka tidak memiliki pengetahuan mengelola lahan tanpa membakar. “Lahan gambut kalau tidak dibakar tidak subur. Itu yang kami mengerti. Mudah-mudahan pemerintah punya solusi membuka lahan tanpa membakar, dan biayanya murah.”

 

Kebun karet milik warga di Desa Perigi Talang Nangka Kabupaten OKI, Sumsel. Sebagian besar warga tidak memili lahan untuk berkebun. Foto: Taufik Wijaya

Kebun karet milik warga di Desa Perigi Talang Nangka Kabupaten OKI, Sumsel. Sebagian besar warga tidak memili lahan untuk berkebun. Foto: Taufik Wijaya

 

Butuh 10.000 Hektar

Merasa malu dicap sebagai perambah hutan dan lahan gambut, Eddy dipercaya  1.600 warga Desa Perigi Talang Nangka yang merupakan anggota 60 kelompok tani, yang tidak memiliki lahan untuk bertani dan berkebun, memperjuangkan lahan seluas 10.000 hektar.

Lahan ini di masa lalu merupakan hutan adat masyarakat, tapi saat ini ditetapkan pemerintah sebagai hutan produksi dan kawasan Suaka Margasatwa (SM) Padang Sugihan Sebokor.

“Lahan ini selain ditanami padi, sayuran, juga akan dibuat kebun khas tanaman rawa gambut seperti jelutung, manggis, serta dibuat hutan desa yang berisi tanaman pohon kayu dan buahan-buahan. Sebagian dijadikan kebun karet dan pemukiman warga,” kata Deddy saat berada di lokasi.

Guna mendapatkan lahan tersebut, Deddy sudah mengusulkan dengan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Lahan ini murni akan diusahakan, tidak akan diperjualbelikan. Sebab warga memang butuh lahan, sehingga tidak merambah lagi,” ujarnya.

“Saat ini kami sudah mengelola hutan produksi ini. Misalnya secara swadaya kami membuat kanal. Fungsinya selain sebagai sarana transportasi juga sebagai penyedia air bagi lahan pertanian, yang umumnya berupa gambut dengan kedalaman setengah hingga dua meter,” ujar Deddy sambil menunjuk kanal yang mereka buat.

Kenapa membutuhkan lahan di kawasan SM Padang Sugihan Sebokor? Deddy menjelaskan. Selain alasan hutan tersebut di masa lalu merupakan hutan adat masyarakatnya, juga lahan yang mereka butuhkan tidak mengganggu koridor gajah di SM Padang Sugihan Sebokor.

“Gajah liar yang masih ada di sana sekitar 11 individu. Mereka beraktivitas selalu di dekat sungai. Jaraknya dengan lokasi kami sekitar 7 kilometer. Kawanan gajah tersebut tidak pernah masuk ke lokasi yang kami butuhkan tersebut,” jelasnya.

 

Hutan produksi berupa semak ini akan dimanfaatkan warga sebagai lahan untuk menanam padi, sayuran, dan perkebunan. Foto: Taufik Wijaya

Hutan produksi berupa semak ini akan dimanfaatkan warga sebagai lahan untuk menanam padi, sayuran, dan perkebunan. Foto: Taufik Wijaya

 

Potensi gula aren dan tikar purun

Jon, warga Desa Perigi Talang Nangka, menjelaskan, sebenarnya banyak potensi ekonomi bagi masyarakat yang dapat dikembangkan di desanya. Misalnya gula merah dari pohon aren dan pembuatan tikar purun. Jika potensi ini dikembangkan, bukan tidak mungkin warga di desanya tidak lagi melakukan perambahan di wilayah pesisir timur Kabupaten OKI.

“Tapi potensi ini tidak pernah mendapatkan dukungan dari pemerintah. Khususnya dalam pengembangan pemasarannya, sehingga masyarakat tidak mampu menjadikannya sebagai potensi ekonomi keluarga,” katanya.

Tikar purun, misalnya, hampir setiap perempuan di desanya mampu membuatnya. Tapi lantaran rendahnya permintaan, pembuatan tikar purun hanya sebagai pemenuhan keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.

“Tahun 1970-an hingga 1990-an, tikar purun sempat menjadi penompang ekonomi keluarga di sini. Khususnya pemasukan bagi kaum perempuan. Sejalan berkembangnya tikar plastik atau karpet, permintaan tikar purun menurun. Masyarakat pun tidak lagi memproduksi tikar purun,” kata Jon.

Menurut Jon, dengan adanya kecenderungan masyarakat pada saat ini membutuhkan barang-barang rumah tangga yang ramah lingkungan, tikar purun dapat dijadikan pilihan. “Pemerintah yang katanya ingin mengembangkan ekonomi kreatif, seharusnya mendorong potensi ini,” ujarnya.

Sementara gula aren yang selalu dibutuhkan masyarakat di Palembang, sebagai bahan pembuat cuka makanan pempek, menghadapi kendala pemasaran. “Harga jual kami selalu murah. Padahal harga eceran cukup tinggi. Di pasaran Palembang gula aren mencapai Rp25 ribu per kilogram, sementara harga dari kami hanya Rp8-9 ribu. Kami sulit mendapatkan agen yang membeli dengan harga yang lebih tinggi,” katanya.

“Intinya kami tidak pernah dibina dalam mengembangkan ekonomi oleh pemerintah. Jadi sangat wajar jika masih banyak warga kami merambah hutan dan lahan gambut,” ujarnya.

 

 


Derita Warga Desa Perigi Talang Nangka yang tidak Memiliki Lahan dan Dicap Perambah was first posted on September 4, 2015 at 1:18 am.

Terbongkar Sudah, Sindikat Penjualan Satwa Dilindungi di Kalimantan Barat

$
0
0
Personel SPORC memperlihatkan barang bukti yang berhasil disita dari sindikat penjualan satwa dilindungi. Foto: Aseanty Pahlevi

Personel SPORC memperlihatkan barang bukti yang berhasil disita dari sindikat penjualan satwa dilindungi. Foto: Aseanty Pahlevi

Jumadi dan Andi harus menjalani pemeriksaan di Markas Komando Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), Rabu 2 September 2015. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh Brigade Bekantan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, sebagai bagian dari jaringan perdagangan bagian tubuh satwa dilindungi.

“Sindikat ini sudah lama kita jadikan target operasi. Sejak ketatnya pemeriksaan dan giatnya penertiban, sindikat ini sangat berhati-hati,” ujar Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono.

Sustyo menjelaskan, Jumadi ditangkap di kawasan Pasar Melawi, Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi. Target merupakan pedagang di pasar tersebut. “Didapat empat kepala burung enggang gading (Rhinoplax vigil) yang masih lengkap dengan batok kepalanya dari tokonya itu,” ungkap Sustyo.

Dari keterangannya, Jumadi mengakui, bagian tubuh satwa dilindungi tersebut akan dijual kepada Andi, seorang penampung di Pontianak. Berdasarkan informasi itu, tim segera bergerak. Rabu, 2 September 2015 pukul 10.00 WIB, personel SPORC menyasar ke alamat yang ditunjuk Jumadi. Andi tak berkutik, ketika tim menggerebek kediamannya di kawasan Tanjung Hulu, Pontianak Timur.

Kepala Unit Brigade Bekantan, Hary Novianto menambahkan, Andi ditangkap dengan barang bukti sebuah kepala enggang gading, 21 taring beruang madu dan satu timbangan elektrik. “Diduga kuat paruh enggang gading dan taring beruang madu itu berasal dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.”

Menurut Hary, para tersangka diancam pasal 21 ayat (2) dan pasal 40, UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancam penjara maksimal lima tahun dan denda 100 juta.

Ganti modus

Terkait sindikat tersebut, Sustyo mengatakan, para pelaku sudah mengganti modus operandinya dalam jual beli. “Kini, mereka tidak lagi menjual dalam partai besar karena mudah terdeteksi petugas. Modusnya menjual eceran.”

Jumadi, kemungkinan merupakan pengumpul dari para pemburu di daerah. Sedangkan Andi, pengumpul sekaligus penghubung dengan broker yang berada di Jakarta. Broker di Jakarta yang kemudian mengirimkan barang-barang tersebut ke luar negeri. “Kebanyakan ke Tiongkok,” tukasnya.

Uniknya, salah satu barang bukti yang didapat dari tersangka Andi adalah buku catatan. Buku ini berisi angka-angka yang dikalikan dengan angka lainnya. Dari keterangan Andi, buku catatan lusuh tersebut adalah daftar harga. “Angka pengali pertama ternyata berat atau dimensi barang yang dikali dengan jumlah barang dan dikali lagi dengan harga pasaran,” ujarnya.

Setiap 100 gram paruh burung dihargai Rp6,5 juta. Sedangkan, paruh burung atau batok kepala burung enggang yang sudah diolah menjadi biji harganya Rp2 juta. Personel SPORC akan menginterogasi lebih lanjut para tersangka, nilai dari barang bukti yang berhasil disita tersebut.

Sustyo juga menyatakan, tim SPORC mempunyai target operasi lain, untuk kegiatan ilegal sejenis. Sindikat lain ini, kata Sustyo, ditengarai mempunyai jaringan yang sama di luar negeri. Bahkan, tim SPORC sudah berhasil mengidentifikasi sebuah warung kopi, yang kerap dijadikan sarana untuk transaksi.

 

Modus yang digunakan sindikat perdagangan satwa dilindungi saat ini adalah menjual dalam partai kecil. Foto: Aseanty Pahlevi

Modus yang digunakan sindikat perdagangan satwa dilindungi saat ini adalah menjual dalam partai kecil. Foto: Aseanty Pahlevi

 

Happy Hendrawan, peneliti dari Swandiri Institute mengatakan, modus ini sebenarnya bukan hal baru. Saat hendak diselundupkan ke Kota Pontianak, kata dia, barang-barang tersebut diangkut dengan kendaraan yang membawa bahan kebutuhan pokok masyarakat. “Memang memerlukan informasi yang akurat, sehingga tahu kapan pengiriman dan dengan menggunakan mobil apa.”

Seperti biasa, pengiriman biasanya dilakukan malam hari. Bagian tubuh satwa dilindungi, kata Happy, kerap dijadikan makanan afrodisiak atau cinderamata.

Perdagangan satwa dilindungi merupakan pelanggaran UU Nomor 5 tahun 1990. Meskipun sudah ada hukum yang melindungi satwa liar dari perdagangan ilegal, namun pada praktiknya bisnis terlarang ini masih terjadi secara terbuka di banyak tempat di Indonesia.

“Perdagangan satwa liar adalah ancaman serius terhadap kelestarian satwa dilindungi. Ancamannya bukan hanya manusia, tetapi habitatnya juga. Bukan mustahil makanan alaminya juga menipis,” tambahnya.

Hal ini ditambah lagi dengan jeratan hukuman bagi pelaku yang belum memberikan efek jera. “Realitanya, saat putusan biasanya ada yang beberapa bulan saja. Payung hukum ini, dirasakan sudah layak direvisi,” papar Happy.

 


Terbongkar Sudah, Sindikat Penjualan Satwa Dilindungi di Kalimantan Barat was first posted on September 4, 2015 at 6:00 am.

Kabut Asap Kiriman yang Sampai ke Aceh, Mulai Ganggu Aktivitas Masyarakat

$
0
0
Kabut asap kiriman kebakaran hutan yang terjadi di sejumlah provinsi di Sumatera, mulai dirasakan juga masyarakat Aceh. Kabut asap ini kini mulai menyelimuti sejumlah wilayah Aceh, termasuk di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Kabut asap kiriman kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di sejumlah provinsi di Sumatera, mulai dirasakan juga masyarakat Aceh. Kabut asap ini kini mulai menyelimuti sejumlah wilayah Aceh, termasuk di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di sejumlah Provinsi di Pulau Sumatera menyelimuti juga sebagian besar Provinsi Aceh sepekan terakhir. Masyarakat Aceh mulai mengeluh dengan kabut asap kiriman tersebut, karena bukan hanya mengganggu aktivitas, tapi juga dikhawatirkan dapat mengganggu kesehatan.

Asnawi, masyarakat Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, Jumat (4/9) mengatakan, sejak pekan lalu, kabut asap telah sampai ke Kabupaten Aceh Tamiang, Kota Langsa, Aceh Timur, dan Aceh Utara. “Kabut asap kiriman ini cukup mengganggu. Kami tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasa akibat jarang pandang yang terganggu dan juga ancaman kesehatan.”

Asnawi mengatakan, kabut asap yang menyelimuti Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe cukup tebal, jarak pandang sangat terbatas sehingga sangat mengganggu pengguna transportasi. “Perjalanan saya ke Sumatera Utara melalui Bandara Malikussaleh, Kota Lhokseumawe, terpaksa dibatalkan karena pesawat tidak bisa mendarat atau berangkat akibat kabut asap itu. Bahkan, bandara hampir sepekan ditutup.”

Nurjannah, Warga Aceh Timur lainnya mengatakan, sebagian besar warga Idi Rayeuk, saat ini telah mendapat pembagian masker yang diberikan oleh aparat kepolisian untuk menghindari gangguan pernapasan. “Asapnya memang tebal, kami mulai khawatir akan banyak masyarakat yang sakit,” ujarnya.

Kepala Seksi Bidang Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, Zakaria mengatakan, dampak dari kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah di Sumatera memang telah terasa hingga ke Provinsi Aceh dalam sepekan terakhir. “Asap yang berasal dari Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan beberapa daerah lain, yang menyelimuti Aceh saat ini karena angin memang bergerak ke wilaya Serambi Mekah ini.”

Zakaria mengatakan, kabut asap tersebut hampir menyelimuti seluruh Aceh, termasuk Banda Aceh. Namun, yang paling parah adalah Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, dan Kota Lhokseumawe. Di daerah tersebut jarak pandang hanya 200 meter. “Kabut asap baru akan hilang dari Aceh jika angin bertiup ke daerah lain yang disertai hujan deras selama beberapa hari. Serta, kebakaran hutan tidak lagi terjadi.”

Menanggapi gempuran kabut asap yang terjadi hampir di seluruh pulau Sumatera tersebut, Presiden RI Joko Widodo telah menggelar rapat terbatas penanganan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan di Istana Presiden, Jumat (4/9/15).

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, rapat tersebut dihadiri Kepala BNPB, Panglima TNI, Kapolri, Mendagri, Sekjen Kemen LHK, dan pihak terkait lainnya. “Presiden sangat serius menanggapi masalah kebakaran hutan dan lahan. Menurut Presiden Jokowi, perlu dicarikan solusi permanen agar tidak berulang terus.”

Sutopo mengatakan, hampir 80 persen wilayah Sumatera terdampak langsung oleh asap. Jarak pandang di Bandara SSK II Pekanbaru 500 meter, Kota Pekanbaru 500 meter, Rengat dan Pelalawan 800 meter, Bandara Sultan Thaha Jambi 600 meter. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) di Pekanbaru, Rumbai, Siak, Bangko, Rohul, Kampar, Jambi lebih dari 300. Artinya sudah level berbahaya.

“Arahan Presiden, penanganan agar diteruskan dengan operasi darurat asap. Kementerian LHK sebagai koordinator dalam penanganan karhutla, didukung penuh oleh BNPB, TNI dan Polri. BNPB diminta terus menggelar hujan buatan dan pemadaman api dari udara.”

Sutopo mengatakan, Presiden juga meminta TNI mengerahkan personil untuk membantu pemadaman dan menjaga daerah agar tidak dibakar, sedangkan Polri meningkatkan penegakan hukum bersama penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). “Pemadaman di darat oleh BPBD, Manggala Agni, TNI, Polri, MPA dilakukan terus. Kepala Daerah tetap bertanggung jawab mengendalikan kebakaran hutan dan lahan di daerahnya. Targetnya, September 2015 kebakaran teratasi.”

 

Kabut asap yang terlihat di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Kabut asap yang terlihat di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

 


Kabut Asap Kiriman yang Sampai ke Aceh, Mulai Ganggu Aktivitas Masyarakat was first posted on September 5, 2015 at 3:49 am.

Inilah Analisis Kerugian Dampak Kabut Asap di Kalimantan Barat

$
0
0

Pemandangan udara lahan gambut yang terbakar di Kalimantan Barat. Foto: Rhett Butler

Di penghujung triwulan II 2015, Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak, kembali dilanda kabut asap. Kabut yang disebabkan oleh aktivitas pembukaan lahan yang dilakukan dengan cara pembakaran. Bencana ini tentunya berdampak serius dalam berbagai hal.

Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat, melakukan analisis singkat berdasarkan data dan diskusi hingga awal Agustus 2015, dengan Polda Kalbar, Dinas Perhubungan, kantor perwakilan jasa penerbangan di Pontianak, serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat.

Ganggu jadwal penerbangan

“Dampak langsung yang cukup mengganggu adanya kabut asap akibat pembakaran lahan yang disengaja adalah kacaunya jadwal penerbangan dari dan menuju Kota Pontianak,”ujar Kepala Perwakilan Wilayah Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat, Dwi Sulasmanto, Jumat (4/9/15).

Banyak pesawat yang sulit untuk terbang atau mendarat di Bandara Supadio, Pontianak  karena jarak pandang yang minim. Pagi hari, kata Dwi, jarak pandang hanya 300 meter. Sedangkan jarak pandang aman bagi pilot untuk terbang dan mendarat adalah 900 meter.

“Berdasarkan data yang dikumpulkan secara random dari beberapa airlines yang beroperasi untuk rute dari-ke Pontianak, diketahui bahwa selama Juni 2015, terjadi sekitar 30 persen penundaan dari total penerbangan untuk bulan tersebut.

Dari total penundaan itu, 80% diantaranya mengalami keterlambatan sekitar 1-3 jam, sementara 10% dan sisanya, masing-masing mengalami keterlambatan kurang dari 1 jam dan di atas 3 jam,” papar Dwi.

Namun, seluruh Airlines mengakui, walaupun cukup mengganggu, peristiwa kabut asap ini belum berdampak signifikan terhadap situasi bisnis penerbangan mereka. Permintaan terhadap tiket untuk rute dari-ke Pontianak selama Juli tetap normal. “Walaupun tidak tinggi, karena situasi ekonomi yang lesu,” tambahnya.

Ekstra biaya yang harus dikeluarkan di bandara akibat lamanya parkir pesawat yang belum bisa terbang ataupun biaya bahan bakar ekstra karena pesawat dialihkan untuk mendarat ke bandara lain terdekat (misalnya ke Batam) juga dinilai belum signifikan.

“Masalah kabut asap hingga awal Agustus bisa diatasi melalui kesigapan para aparat dalam melakukan penindakan terhadap pelaku pembakaran,” kata Dwi.

Polisi menjerat pelaku pembakaran lahan dengan tindak pidana UU RI No. 32 Tahun 2009, Pasal 69 H, dengan ancaman pidana tiga hingga 10 tahun penjara. Tak hanya itu, upaya  pemadaman yang cepat pun juga dilakukan, bekerja sama dengan dinas terkait, sehingga bandara dapat pulih beroperasi.

Namun akhir Agustus, saat rata-rata curah hujan minim di sejumlah daerah di Kalimantan Barat, kabut asap kembali memburuk. Situasi yang sebenarnya sudah diprediksi oleh pemerintah daerah.

Melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNPD), telah dilakukan modifikasi cuaca dengan membuat hujan buatan. Posko dibentuk di Bandara Supadio, dengan melibatkan Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). TNI AU juga mendukung dengan sebuah pesawat jenis Cassa 212 untuk melakukan modifikasi cuaca, dan sebuah Heli Bell untuk water bombing.

Kerugian ekosistem

Dwi menambahkan, walaupun belum menimbulkan dampak yang signifikan dalam hal ekonomi, yang diindikasikan oleh situasi bisnis penerbangan yang tetap normal, namun kabut asap cukup mengganggu kelangsungan ekosistem di Kalbar.

Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono mengatakan, cukup banyak tanaman rusak, hewan mati, dan tingkat udara yang terpolusi parah akibat pembakaran lahan yang disengaja ini. “Agak sulit bila menghitung semua kerugian ekosistem tersebut dalam satuan moneter. Yang pasti, kerugian tersebut akan cukup sulit untuk diperbarukan lagi di kemudian hari, jika bisa butuh waktu dan proses yang cukup lama.”

Sustyo mengkonfirmasi bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi gangguan asap ini cukup besar. Biaya tersebut meliputi pembelian air untuk memadamkan api, bahan bakar untuk mobil pengangkut air dan juga helikopter pemantau titik api, serta bahan bakar untuk water bombing dan biaya ekstra tenaga pemadam kebakaran.

“Belum dapat dihitung secara pasti, karena bercampur dengan biaya operasional rutin,” katanya. BKSDA mengakui, pengeluaran biaya operasional mereka meningkat dikala bencana kabut asap mencuat.

Gangguan kesehatan

Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar menginformasikan bahwa gangguan  infeksi saluran pernapasan akut adalah dampak yang  pasti terjadi akibat bencana kabut asap.

Dwi mengatakan, meskipun belum dapat dihitung secara ekonomis, terindikasi bahwa terdapat pengeluaran ekstra dari warga Pontianak untuk berobat ke klinik atau puskesmas akibat gangguan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). “Selain itu, sebagai pencegahan, Dinas Kesehatan juga membagikan masker bagi warga saat beraktivitas di luar tanpa menghirup kabut asap berlebihan.”

Masker yang digunakan pun disarankan hanya untuk sekali pakai. Pasalnya, jika maskter digunakan berkali, partikel debu dan zat beracun yang menempel di maskter tersebut dikhawatirkan akan lebih mudah terhirup oleh sistem pernapasan.

Dengan demikian, akibat bencana kabut asap, Dinas Kesehatan berupaya untuk menambah stok persediaan masker guna mencukupi kebutuhan masyarakat. “Sebagai catatan, alokasi anggaran yang disediakan untuk pembelian masker ini sudah mencapai Rp500 juta,” ujar Dwi.

 


Inilah Analisis Kerugian Dampak Kabut Asap di Kalimantan Barat was first posted on September 5, 2015 at 5:11 am.

Setahun Korsup KPK, 337 Izin Tambang Non-CnC Tetap Melenggang di Kalimantan Barat

$
0
0
Inilah wilayah operasi pencucian bauksit PT Mahkota Karya Utama di Dusun Semenduk, Desa Sejotang, Kecamatan Tayan Hilir Kabupaten Sanggau. Kiprah perusahaan yang sudah mengantongi status CnC ini terungkap beroperasi di luar konsesi yang dikuasainya. Foto: Andi Fachrizal

Inilah wilayah operasi pencucian bauksit PT Mahkota Karya Utama di Dusun Semenduk, Desa Sejotang, Kecamatan Tayan Hilir Kabupaten Sanggau. Kiprah perusahaan yang sudah mengantongi status CnC ini terungkap beroperasi di luar konsesi yang dikuasainya. Foto: Andi Fachrizal

Sektor pertambangan di Kalimantan Barat memasuki episode baru pasca-koordinasi dan supervisi (Korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi bidang mineral dan batubara sejak Mei 2014. Setahun berjalan, ada kemajuan. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah guna memastikan rekomendasi Korsup Minerba dapat berjalan dengan baik.

Salah satu contoh paling gamblang adalah penciutan dan pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) yang bebal terhadap regulasi. Hingga kini, jumlah total perizinan tambang di Kalimantan Barat tersisa 636 IUP. Angka ini sudah mangalami penyusutan dari sebelum Korsup KPK yang mencapai 813 IUP.

Dari sisi administrasi, begitulah fakta pertambangan di Kalimantan Barat. Ada upaya penciutan/pencabutan izin. Namun, dari 636 total IUP, ternyata masih ada 337 atau 52 persen IUP non-CnC yang bercokol dalam lembaran administrasi pemerintah.

Hal ini terungkap dalam diskusi Satu Tahun Pelaksanaan Koordinasi dan Supervisi Mineral dan Batubara di Kalimantan Barat yang dihelat Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat, Kamis (3/9/15), di Sekretariat Walhi Kalbar.

Melalui paparannya, Direktur Eksekutif Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan, Fajrin Nailus Subchi mengatakan, suatu izin dinyatakan Clean and Clear (CnC) apabila lokasi izin tidak tumpang tindih dengan izin lainnya.

Selain itu, sambung Fajrin, perusahaan dapat menjalankan pembayaran keuangan dalam bentuk land rent dan royalti, memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan hal lain yang terkait dengan data administrasi. “Capaian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengurangan signifikan untuk jumlah izin non-CnC, bahkan mengalami peningkatan,” katanya.

Dalam kertas posisi yang menyoroti satu tahun pelaksanaan rekomendasi antara KPK dan pemerintah provinsi/kabupaten/kota se-Kalimantan Barat, berbagai persoalan pengelolaan pertambangan disikapi. Kertas posisi ini fokus menyoroti pelaksanaan rekomendasi Korsup Minerba, khususnya penataan izin pertambangan dan pengawasan produksi pertambangan mineral dan batubara.

Pencabutan IUP Non-CnC berjalan lambat

Terkait pencabutan dan penciutan IUP, jelas Fajrin, data yang berhasil dikumpulkan telah mencapai 177 IUP dengan total luasan yang dicabut mencapai lebih satu juta hektar. Angka ini berkurang dari jumlah pencabutan/penciutan IUP pada Februari sebanyak 190 IUP. Pengurangan dilatarbelakangi oleh adanya penambahan IUP yang dikeluarkan pemerintah provinsi/kabupaten/kota.

Fajrin menjelaskan, pencabutan/penciutan ini didasari pada beberapa faktor seperti, kemampuan perusahaan pemegang IUP dalam melakukan produksi, masa berlaku izin yang telah mati, surat permintaan pencabutan dari perusahaan kepada pemerintah, syarat administrasi yang tidak lengkap, dan tidak melakukan kewajiban pembayaran keuangan.

Dari kacamata Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat, progres ini terkesan lambat. “Harusnya pemerintah mencabut 337 IUP yang hingga saat ini masih berstatus non-CnC,” pinta Fajrin.

 

Pertambangan bauksit hanya menyisakan limbah bekas galian dan pecemaran udara tanpa ada upaya mereklamasi bekas tambangnya. Foto: Andi Fachrizal

Pertambangan bauksit hanya menyisakan limbah bekas galian dan pecemaran udara tanpa ada upaya mereklamasi bekas tambangnya. Foto: Andi Fachrizal

 

Hal lain yang tak luput dari sorotan adalah temuan 13 perusahaan yang terindikasi berada di kawasan konservasi. Ternyata, hanya tiga perusahaan yang diciutkan/dicabut izinnya. Begitu pula dengan temuan 125 perusahaan di hutan lindung, hanya 18 IUP yang dicabut/diciutkan. “Angka ini menunjukkan bahwa masih banyak IUP yang berada di kawasan konservasi dan hutan lindung yang belum dicabut oleh pemerintah,” jelas Fajrin.

Sementara pembayaran dana jaminan reklamasi dan pasca-tambang, koalisi juga menilai langkah pemerintah berjalan sangat lamban. Dari data yang ada hingga September 2015, penambahan jumlah IUP yang sudah melakukan kewajiban pembayaran hanya di level provinsi.

Penambahan satu IUP yang sudah melakukan pembayaran pun hanya sebatas pembayaran dana jaminan reklamasi. Tidak ada penambahan untuk IUP yang sudah membayarkan dana jaminan pascatambang.

Padahal, urai Fajrin, pembayaran dana jaminan reklamasi dan pasca-tambang merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan pertambangan sebelum memperoleh persetujuan izin usaha eksplorasi maupun operasi produksi yang telah diatur dalam UU No 4 Tahun 2009 dan PP 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.

Lebih jauh Fajrin mengatakan, obral perizinan dan minimnya partisipasi masyarakat dalam proses perizinan memicu telah terjadinya tumpang-tindih lahan antara izin tambang dengan wilayah kelola masyarakat.

“Bahkan, temuan kita ada izin perusahaan yang berada di areal permukiman maupun hutan adat masyarakat. Hal ini yang membuat maraknya konflik berbasis klaim tenurial,” urai Fajrin.

Sementara Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Anton P Wijaya mengatakan dari sejumlah persoalan tata kelola pertambangan yang sudah terungkap, sejatinya pemerintah bekerja lebih ekstra. “Korsup KPK di tahun pertama memang lebih terkonsentrasi pada tataran administrasi. Tetapi tak menutup kemungkinan levelnya ditingkatkan ke arah yang lebih teknis,” katanya.

Anton juga menyoroti lokasi pertambangan yang izinnya sudah dicabut, serta mendesak pemerintah untuk menyerahkan pengakuan terhadap wilayah kelola masyarakat. “Ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2015-2019 yang akan memberikan hak kelola hutan kepada masyarakat seluas 12,7 juta hektar,” katanya.

Khusus di Kalimantan Barat, jelas Anton, pemerintah akan memberikan hak kelola hutan seluas 3.614.801 hektar. Rinciannya, hutan lindung (1.624.074 hektar), hutan produksi (699.521 hektar), hutan produksi konversi (9.386 hektar), hutan produksi terbatas (827.758 hektar), dan hutan konservasi (454.062 hektar).

 

 


Setahun Korsup KPK, 337 Izin Tambang Non-CnC Tetap Melenggang di Kalimantan Barat was first posted on September 5, 2015 at 7:01 am.

AMAN Sumsel: Ingin Bebas Kabut Asap? Kembalikan Lahan Gambut kepada Masyarakat

$
0
0
Kebakaran lahan gambut yang terjadi di Sumatera Selatan telah berlangsung 18 tahun dan menyebabkan kerusakan lahan sekitar 1 juta hektar. Foto: Taufik Wijaya

Kebakaran lahan gambut yang terjadi di Sumatera Selatan telah berlangsung 18 tahun dan menyebabkan kerusakan lahan sekitar 1 juta hektar. Foto: Taufik Wijaya

Kebakaran lahan gambut yang terjadi di Sumatera Selatan selama 18 tahun ini menyebabkan sekitar 1 juta dari 1,4 juta lahan gambut rusak. Ini membuktikan jika perusahaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) gagal menjaganya. Sebab, aktivitas perusahaan dengan mengedepankan tanaman sawit dan akasia, terbukti menurunkan kualitas lahan gambut, sehingga mudah terbakar.

“Satu-satunya solusi mencegah kebakaran adalah dengan membebaskan lahan gambut dari aktivitas perusahaan sawit dan HTI. Lahan tersebut, dikembalikan menjadi hutan, serta sebagian diberikan kepada masyarakat, sebagai jaminan mereka untuk menjaga lahan gambut kembali menjadi hutan,” kata Rustandi Adriansyah, Ketua BPH (Badan Pengurus Harian) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan, Jumat (04/09/15).

Dijelaskan Rustandi, perkebunan sawit dan HTI yang menanam akasia, terbukti gagal menjaga kualitas air di lahan gambut. Baik karena lemahnya sistem kelola air maupun karakter dari tanaman yang lemah mengontrol air. Tidak seperti tanaman khas gambut, seperti jelutung, aren, dan tanaman kayu lainnya, yang selama berabad menjaga lahan gambut. Sayang, semua tanaman tersebut sudah habis di lahan gambut di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan, akibat eksplorasi perkayuan di masa Orde Baru, maupun saat pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan HTI.

Dengan kualitas lahan gambut yang tidak baik tersebut, kemarau bersama El Nino hanya menjadi pendorongnya. “Satu puntung rokok pun akan mampu menghanguskan ribuan hektar gambut. Kan tidak mungkin kita mampu mengontrol  percikan api di lahan gambut,” kata Rustandi.

Jika aktivitas warga membakar lahan untuk bertani dan berkebun sebagai faktor pemicunya, itu hanya pengalihan tanggung jawab. “Dulu, sebelum adanya perkebunan sawit dan HTI, dan hutan gambut dihabisi, masyarakat melakukan pembukaan lahan untuk kebun dan pertanian dengan cara membakar. Tapi tidak pernah terjadi peristiwa seperti saat ini. Kenapa? Sebab saat itu kualitas lahan gambut masih baik. Tidak seperti sekarang,” kata Rustandi.

Dengan kondisi lahan gambut yang tidak baik ini, “Mau seribu pakar dari seluruh dunia pun tidak akan mampu mencari jalan keluarnya, kecuali mengembalikan kualitas lahan gambut dengan membebaskannya dari kegiatan perkebunan sawit dan akasia (HTI). “

Rustandi kecewa dengan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah maupun pihak lainnya dalam mengatasi persoalan lahan gambut. “Mereka melihat sepertinya masyarakat yang miskin sebagai pemicu. Sehingga, mereka menciptakan berbagai peluang ekonomi bagi masyarakat, yang sebetulnya mengajak masyarakat melakukan perusakan yang sama terhadap gambut seperti yang dilakukan perusahaan.”

Contohnya, apa yang akan dilakukan pemerintah Sumatera Selatan dengan program kawasan hijau yang katanya didukung pemerintah Belanda, Jerman, Inggris, Norwegia, dan konsultan Mcksec dari Amerika Serikat. Sepintas, orang pikir sebuah proyek konservasi, tapi ternyata justru mengajak masyarakat menanam kopi, sawit dan akasia, yang terbukti menurunkan kualitas lahan, terutama lahan gambut,” kata Rustandi.

Jika sudah dibebaskan dari perusahaan, lalu siapa yang menjaga lahan tersebut? Tentu saja masyarakat yang didukung pemerintah. “Kembalikan kepercayaan kepada masyarakat adat dalam menjaga lahan. Selama puluhan abad, mereka terbukti berhasil menjaga lingkungan. Memang, agar tidak terjadi kerusakan di lahan yang akan dikonservasi, masyarakat tetap diberi lahan untuk pertanian dan perkebunan.”

 

Api yang muncul dari dalam tanah dan terus membakar ranting kering. Foto: Taufik Wijaya

Api yang muncul dari dalam tanah dan terus membakar ranting kering. Foto: Taufik Wijaya

 

Lahan gambut punya Indonesia

Jika lahan gambut dibebaskan dari penguasaan perusahaan, negara tidak rugi, “Justru yang merasa rugi itu para pemilik modal. Memang pendapatan negara menjadi berkurang, tapi perenomian masyarakat di pedesaan akan berjalan lagi karena mereka memiliki lahan,” kata Tarech Rasyid dari Universitas Ida Bajumi (IBA) Palembang, Jumat (04/09/15).

“Memang sulit dilakukan mendadak. Tapi, demi menjaga masa depan lingkungan, sebab ancaman kerusakan lingkungan jauh lebih berbahaya dibandingkan krisis energi, langkah tersebut dapat dilakukan bertahap,” katanya.

Caranya, kata Tarech, mencabut izin konsensi atau mengambil kembali lahan yang terbukti gagal dikelola perusahaan, termasuk pula lahan-lahan yang terbengkalai. Juga, tidak memberikan izin baru terhadap pengelolaan lahan gambut, meskipun dikatakan sudah rusak. “Kalau rusak bukan diserahkan ke perusahaan, tapi diperbaiki,” kata Tarech.

Berikutnya, kurangi tanaman yang merusak kualitas gambut, seperti sawit dan akasia. “Masih banyak tanaman lain yang baik bagi lahan gambut yang dapat digunakan sebagai bahan baku kertas atau minyak makan,” katanya.

Terakhir, merupakan kewajiban perusahaan untuk menciptakan lahan gambut agar tetap terjaga kualitasnya. Misalnya, menanam pohon khas gambut atau yang sangat dibutuhkan lahan gambut, dengan perbandingan 50-50 persen.

“Mereka harus mau. Toh, mereka tetap untung, tapi bedanya mereka mengurangi keuntungan. Apalagi lahan gambut ini kan punya negara Indonesia bukan punya perusahaan. Pemerintah tinggal bersikap saja. Sederhana kok. Dasarnya UUD 1945 dan Pancasila,” jelasnya.

Kemarau dan El Nino

Sebelumnya, Ahmad Taufik, Kepala Unit Pelaksana Tehnis Daerah (UPTD) Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, mengatakan akibat kebakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun menyebabkan lahan gambut di Sumatera Selatan yang luasnya mencapai 1,4 juta hektar mengalami kerusakan hingga satu juta hektar.

Selain rusak, kebakaran lahan gambut tersebut juga menyebabkan bencana kabut asap, seperti yang dialami saat ini.

Apa sebabnya? Musim kemarau dengan El Nino menyebabkan kekeringan, yang menjadi salah satu faktor seringnya terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut.

Dijelaskan Taufik, sejak Juni 2015 hingga saat ini, kebakaran lahan gambut di empat kabupaten yakni Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Ilir (OI), Banyuasin, dan Musi Banyuasin (Muba), ditemukan rata-rata 100 titik api.

Berbagai upaya dilakukan Pemerintah Sumatera Selatan guna mencegah kebakaran hingga bencana kabut asap, yang didukung berbagai pihak. Baik pemantauan darat dan udara, juga langkah pemadaman darat dan udara.

 

 


AMAN Sumsel: Ingin Bebas Kabut Asap? Kembalikan Lahan Gambut kepada Masyarakat was first posted on September 6, 2015 at 4:08 am.

Riki Rahmansyah dan Semangat Komunitas Mangrove Bengkulu

$
0
0
Riki memegang mangrove jenis Rhizopora apiculata (kanan) dan Bruguiera gymnorrhiza (kiri) yang ditanam di Kelurahan Pondok Besi, Kota Bengkulu. Foto: Dedek Hendry

Riki memegang mangrove jenis Rhizopora apiculata (kanan) dan Bruguiera gymnorrhiza (kiri) yang ditanam di Kelurahan Pondok Besi, Kota Bengkulu. Foto: Dedek Hendry

Terik mentari Minggu (30/8/15) siang, seolah tak dirasakan Riki Rahmansyah. Satu per satu, pohon mangrove yang ditanam menggunakan media batang bambu di muara Sungai Hitam diperiksanya. Selain membersihkan dari ranting atau daun yang tersangkut, pemeriksaan juga dilakukannya untuk melihat kondisi pohon mangrove yang ditanam.

“Teknik penanam ini disebut REM atau Relay Encased Method. Kalau nama pohonnya, Rhizopora apiculata atau bakau minyak,” papar Riki setelah menyelesaikan aktivitasnya.

Pemeriksaan tersebut dilakukan Riki dua kali sebulan. Sesuai jadwal, harusnya Minggu itu, Riki bersama anggota Komunitas Mangrove Bengkulu (KMB) akan mengambil lumpur di muara Sungai Air Bengkulu. Namun ditunda karena sebagian temannya ada keperluan lain.

“Mengambil lumpur untuk media pembibitan. Kami sudah merencanakan aksi penanaman 10.000 pohon di kawasan hutan mangrove Pulau Baai. Sekarang dalam tahap penanaman di polybag,” kata Koordinator KMB ini.

Sembari istirahat, Riki menceritakan kepeduliannya pada hutan mangrove yang berawal dari orientasi pengenalan kampus (Ospek) mahasiswa baru Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu, Agustus 2008. Perlahan, ketertarikannya bertambah saat mengikuti pertemuan Sylva Indonesia di Lampung Timur, April 2010. Dalam kegiatan itu, Riki berpartisipasi dalam aksi penanaman mangrove yang merupakan pengalaman pertamanya.

Peristiwa penting lainnya adalah sewaktu mengikuti kegiatan di Univeristas Negeri Papua pada November 2010. Serupa sewaktu ospek, seorang dosen di universitas ini memanggilnya Sonneratia caseolaris, setelah dia berinisiatif menanyakan cara menyemai Sonneratia di sela kegiatan.

Sepulang dari Papua, semangat Riki meningkat. Dia mulai mencari orang yang mau diajak belajar bersama menanam sekaligus membperbaiki mangrove. Alhasil, ada lima orang. Mereka pun membentuk KMB pada 26 Agustus 2013 dan Riki dipercaya menjadi koordinator.

Usai dibentuk, KMB langsung merencanakan aksi penanaman. “Penanaman pertama pada 8 September. Lokasinya malah bukan di kawasan mangrove. Tetapi di saluran drainase yang mengalirkan air limbah domestik warga ke pantai, di Kelurahan Pondok Besi. Sekitar 200 propagul (buah) Rhizopora apiculata ditanam,” kata Riki.

Selang 20 hari, KMB melakukan Jelajah Bakau di Taman Wisata Alam Pantai Panjang. Sebanyak 21 orang berpartisipasi. Aksi dilakukan dengan menamam 1.000 propagul Rhizopora apiculata. Paska Jelajah Bakau, 10 orang bergabung menjadi anggota Komunitas Mangrove Bengkulu. “Memperingati Hari Pohon Nasional 28 November 2013, kami melakukan penanaman lagi di Kelurahan Pondok Besi sebanyak 2.000 propagul. Aksi ini melibatkan kelompok Karang Taruna Segara Indah Kelurahan Pondok Besi.”

Hingga Agustus 2015, KMB telah melakukan 20 kali aksi penanaman di Kelurahan Pondok Besi, Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang-Pulai Baai, dan Muara Sungai Hitam. Beberapa kegiatan dilakukan bersama Mapetala Bengkulu, GMKI Cabang Bengkulu dan Sahabat Walhi Bengkulu. Jenis pohon yang ditanam adalah bakau minyak, tengar (Ceriops tagal) dan putut (Bruguiera gymnorrhiza) dengan jumlah 15.000 propagul dan bibit. “Selain REM, metode yang digunakan adalah tunggal dan berumpun,” papar Riki.

 

Riki bersama relawan KBM memeriksa kondisi pohon Rhizopora apiculata yang ditanam menggunakan teknik REM. Foto: Dedek Hendry

Riki bersama relawan KBM memeriksa kondisi pohon Rhizopora apiculata yang ditanam menggunakan teknik REM. Foto: Dedek Hendry

 

Kian semangat

Tidak mudah bagi Riki bersama anggota KMB memperoleh dukungan. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang melecehkan. Termasuk, menganggap Riki dan anggota KMB sebagai orang aneh. “Banyak yang geleng kepala melihat kami mengambil lumpur di muara sungai. Termasuk ada pengajar yang menganggap aksi kami menanam di Kelurahan Pondok Besi sebagai perbuatan gila, tidak sesuai teori. Karena, lokasi penanaman bukanlah kawasan pasang surut, tidak bersedimentasi, dan tidak berair payau.”

Dilecehkan justru membuat semangat Riki dan anggota Komunitas Mangrove Bengkulu berkobar. “Sejauh ini, saya sudah cukup puas. Pohon yang ditanam, tumbuh subur. Ada yang tingginya sudah 110 cm, berdiameter 22,1 meter, dan berjumlah daun 114 lembar. Anggota kelompok karang taruna Segara Indah ikut menjaga. Termasuk orang yang biasa menebas rumput atau belukar di sekitar lokasi untuk pakan ternak, tidak menebang mangrove yang tumbuh subur itu.”

Upaya memperbaiki dan membangun hutan mangrove penting dilakukan. Mengingat UNDP menyebutkan Bengkulu merupakan daerah yang paling rawan bencana alam berkaitan perubahan iklim. Di lain pihak, mangrove merupakan ekosistem yang penting dalam strategi mitigasi perubahan iklim. Laju penyerapan karbon oleh hutan mangrove tinggi. “Hasil penelitian CIFOR menyimpulkan mangrove merupakan tipe hutan yang rerata simpanan karbonnya tertinggi dibandingkan tipe hutan lainnya di kawasan tropis,” terang Riki.

Aspek penting lainnya adalah ikut menjaga kelestarian fauna. Hasil pengamatannya, Riki mencatat ada monyet ekor panjang, lutung kelabu, bajing kelapa, dan berang-berang. “Fauna lainnya adalah burung seperti elang tiram, elang -laut perut- putih, munguk beledu, cipoh jantung, dan kareo padi.”

Luas hutan mangrove di Kota Bengkulu adalah 247,61 hektar termasuk 118,14 hektar berstatus TWA Pantai Panjang-Pulai Baai. Adapun target Riki bersama KMB melakukan perbaikan hutan mangrove seluas 38,25 hektar. “Target itu ditetapkan karena terkategori kritis dan kami lakukan perlahan. Dukungan segala pihak kami harapkan, demi perbaikan lingkungan Bengkulu yang lebih baik,” ujar Riki.

 

Riki memegang pohon Rhizopora apiculata yang kulitnya diambil oleh nelayan untuk mewarnai jaring. Aktivitas  itu dapat memicu kematian pohon. Foto: Dedek Hendry

Riki memegang pohon Rhizopora apiculata yang kulitnya diambil oleh nelayan untuk mewarnai jaring. Aktivitas itu dapat memicu kematian pohon. Foto: Dedek Hendry

 

 


Riki Rahmansyah dan Semangat Komunitas Mangrove Bengkulu was first posted on September 6, 2015 at 7:05 am.

Saksikan Langsung Lahan Gambut Terbakar di OKI, Jokowi Minta Satu Izin Perusahaan Sawit Dicabut!

$
0
0
Presiden Jokowi, Panglima TNI, Kapolri, Gubernur Sumsel dan Bupati OKI saat meninjau langsung  lahan gambut yang terbakar milik PT. Tempirai, Palm Resources di Desa Pulau Geronggang, Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Foto: Humas Pemkab OKI

Presiden Jokowi, Panglima TNI, Kapolri, Gubernur Sumsel dan Bupati OKI saat meninjau langsung lahan gambut yang terbakar milik PT. Tempirai Palm Resources di Desa Pulau Geronggang, Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Foto: Humas Pemkab OKI

Di tengah kepungan asap, tanpa menggunakan masker, Presiden Jokowi yang mengenakan kemeja putih, menyeberangi parit dan masuk ke lahan gambut yang terbakar milik PT. Tempirai Palm Resources di Desa Pulau Geronggang, Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Minggu (06/09/15) siang. Beberapa kali Jokowi terlihat menggelengkan kepala melihat sekitar 200 hektar lahan gambut yang terbakar.

Selain tidak mengenakan masker, Jokowi pun tanpa ragu melewati lahan gambut yang terbakar, yang sebagian masih dipenuhi arang membara. Turut bersama Jokowi, Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, serta Bupati OKI Iskandar.

“Tadi saya sudah mendengar penjelasan bupati (Iskandar), bahwa sudah berkali diperingatkan kepada pihak perusahaan agar bertanggung jawab menjaga lahanya jangan sampai terbakar. Lahan di sekitarnya saja itu memang menjadi tanggung jawab perusahaan, apalagi ini masuk dalam hak guna usaha (HGU) PT. Tempirai, dan yang terbakar tidak sedikit,” kata Jokowi.

“Sanksi tegas harus di berikan, untuk pidananya nanti Polri yang mengusut. Untuk kelalaian, izin PT. Tempirai bisa dicabut. Ini sudah keterlaluan. Hal ini harus menjadi perhatian perusahaan lainya, jangan sampai kebakaran terjadi lagi,” ujar Jokowi.

Kenapa mengunjungi Kabupaten OKI? “Dari enam provinsi yang terjadi kebakaran lahan, Sumatera Selatan (Sumsel) termasuk yang tertinggi. Untuk Sumsel, OKI yang jadi pemuncak, meski jumlah titik api menurun dibanding tahun sebelumnya, namun masih ada. Sekitar 1.000 hektar yang terbakar di OKI dan bukan jumlah yang sedikit karena berdampak luas,” jelasnya.

Dijelaskan Jokowi, terkait penanggulangan kebakaran hutan dan lahan gambut, harus diantisipasi jauh-jauh hari.

“Saya lihat petanya sudah ada. Tempat-tempat yang rawan terbakar itu sudah terdata, tinggal bagaimana upaya kita bersama menanggulanginya dari jauh-jauh. Januari-April itu harus sudah mulai mengantisipasi, agar ke depan tidak ada lagi asap yang sangat mengganggu,” ujarnya.

Bupati OKI Iskandar mengatakan, pihaknya sudah berupaya semaksimal mungkin menekan titik api. Karena pada periode yang sama tahun lalu kawasan yang terbakar mencapai 8.000 hektar, sementara tahun ini  turun menjadi 1.200 hektar.

Terkait soal pencabutan izin perusahaan yang terbukti lahannya terbakar, Iskandar mengatakan, ”Kalau saya diberi kewenangan soal pencabutan izin perusahaan yang tidak bisa mengendalikan wilayahnya dari kebakaran, sudah pasti akan saya lakukan,” katanya.

 

Dalam kunjungan ini, Jokowi minta perusahaan perusahaan yang lalai membiarkan lahannya terbakar diberikan sanksi tegas. Foto: Humas Pemkab OKI

Dalam kunjungan ini, Jokowi minta perusahaan perusahaan yang lalai membiarkan lahannya terbakar diberikan sanksi tegas. Foto: Humas Pemkab OKI

 

Walhi Sumsel mengapresiasi

Hadi Jatmiko, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan mengapresiasi apa yang dilakukan Presiden Jokowi yang meninjau langsung lokasi kebakaran lahan gambut di Sumatera Selatan. Terlebih, berencana mencabut izin sebuah perusahaan sawit yang lahannya terbakar di kawasan Lebak Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten OKI.

“Kami sangat mengapresiasi. Tapi kami juga mengharapkan Presiden Jokowi terus mendorong jajaran pemerintahannya untuk melakukan review perizinan, dan memberikan sanksi hukum tegas terhadap perusahaan yang terbukti lalai atau melakukan pembakaran lahan. Sebab, penyebab kebakaran lahan gambut di Sumatera Selatan bukan hanya dari perusahaan yang izinnya akan dicabut itu,” kata Hadi, Minggu.

Selain itu, Hadi juga meminta Presiden Jokowi untuk melahirkan kebijakan pengolahan lahan gambut kepada masyarakat, bukan hanya kepada perusahaan. “Ratusan tahun lahan gambut dikelola masyarakat dan hasilnya bagus. Soal kenapa gambut sekarang gampang terbakar ya, karena kehadiran perusahaan penanam sawit dan akasia yang mengurangi kualitas lahan.”

“Jika masyarakat diberi lahan untuk dikelola, kemungkinan mereka membakar lahan gambut yang statusnya milik negara tidak akan terjadi. Buktinya, titik api lebih banyak di lahan konsensi perusahaan,” kata Hadi.

 


Saksikan Langsung Lahan Gambut Terbakar di OKI, Jokowi Minta Satu Izin Perusahaan Sawit Dicabut! was first posted on September 6, 2015 at 4:13 pm.

6 Ribu Lebih Telur Penyu yang akan Diselundupkan ke Malaysia Digagalkan

$
0
0
Tersangka dan sejumlah telur penyu sebagai barang bukti. Dok: Polsek Semapruk

Tersangka dan sejumlah telur penyu sebagai barang bukti. Dok: Polsek Semapruk

Sebanyak 11 tas plastik dan kardus mencurigakan yang dititipkan di Kapal Motor Terigas V, berhasil diamankan Polsek Semapruk, 31 Agustus 2015 lalu. Informasi ini berawal dari Badan Karantina Hewan Pelabuhan Sintete yang melihat barang mencurigakan di kapal motor yang melayani rute Tambelan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau menuju Pelabuhan Sintete, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

“Sempat satu hari, pemilik bungkusan tersebut belum berhasil ditemukan. Keesokan harinya, si pemilik datang bersama ojek yang agaknya akan mengambil barang tersebut,” ujar Inspektur Satu Rismanto Ginting yang kemudian menangkap tersangka bernama Abdul Latif (48).

Dari pengakuannya, Latif mengaku baru pertama kali melakukan penjualan telur penyu tersebut. Bahkan, Latif mengaku mempunyai areal penangkaran penyu di kawasan Pantai Tembelan. “Telur-telur ini akan saya jual ke Tebas, tempat asal saya,” aku Latif dihadapan petugas.

Latif merupakan warga Tebas yang telah menetap di  Desa Kampung Hilir, Kecamatan Tambelan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

Telur penyu yang berukuran kecil dijual seharga Rp1.200 sedangkan yang besar Rp2.000 per butir. Kepada petugas kepolisian, Latif mengaku bekerja sendiri. Latif juga mengaku tidak mengetahui jika menjual telur tersebut dilarang dan dapat dipidana. “Setelah dihitung manual oleh penyidik, jumlah telur penyu di 11 tas plastik dan kardus tersebut berjumlah 6.725 butir,” jelas Rismanto.

Sembari melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi ahli dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam, telur-telur tersebut dititipkan di gudang es Kecamatan Pemangkat, agar tidak rusak. Telur-telur penyu tersebut berasal dari Tambelan, yang rencananya akan dijual di Tebas. Jaringan penjual ini adalah pemain lama yang nekad masuk kembali melalui Pelabuhan Sintete.

“Pelaku dijerat UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,  pasal 21 ayat (2) huruf (e) dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta,” jelas Rismanto.

Di Pontianak, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat Sustyo Iriyono, mendukung penuh proses penyidikan terhadap penyelundupan telur penyu tersebut. “Telur akan dijual ke Malaysia,” tukasnya, Rabu (2/9/15).

“Dari pengakuan pelaku, telur penyu akan diselundupkan ke Malaysia melalui perbatasan di Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Siapapun pelakuknya harus dihukum sebagai efek jera. Terlebih, kegiatan tersebut mengancam populasi satwa,” ujar Sustyo.

Koordinator Nasional Konservasi Spesies Laut WWF Indonesia, Dwi Suprapti menambahkan, berdasarkan baseline data yang dikumpulkan WWF Indonesia, Kabupaten Sambas menduduki urutan kedua tertinggi outlet perdagangan telur penyu di Kalimantan Barat. “Sekitar 24 persen meliputi seluruh perdagangan telur penyu di Kalbar, urutan pertama adalah Kota Pontianak, sebanyak 40 persen.”

Di Kabupaten Sambas sendiri, terdapat beberapa daerah yang teridentifikasi sebagai tempat transaksi telur penyu. Lokasi itu adalah Kota Sambas, Kecamatan Tebas, Kecamatan Pemangkat, dan Kecamatan Paloh.

Dwi mengatakan, sebagian besar telur penyu yang diperdagangkan berasal dari Kepulauan Riau dan sisanya dari Kecamatan Paloh. “Lokasinya adalah pasar tradisional, agen rumahan, maupun warung minuman atau kafe.”

Maraknya perburuan telur penyu, tak lain karena mitos telur penyu sebagai makanan afrodisiak atau dapat meningkatkan vitalitas seksual. Hal ini menyebabkan populasi penyu terus berkurang. Padahal, lanjut Dwi, penyu baru bisa bertelur ketika berusia 25 hingga 30 tahun. Dari tahun ke tahun jumlah sarangnya berkurang. “Dari 100 telur penyu yang menetas, hanya satu individu yang kembali ke pantai yang sama, tempat dia ditetaskan, juga untuk menetas. Ini tak lebih karena seleksi alam.”

Berkurangnya populasi penyu tersebut, kata dia, bisa jadi karena perburuan telur penyu dan penyu di masa lalu, yang kemudian dampaknya baru dirasakan sekarang. “Ini karena masa subur penyu yang lama,” ujar Dwi.

 

 


6 Ribu Lebih Telur Penyu yang akan Diselundupkan ke Malaysia Digagalkan was first posted on September 7, 2015 at 2:57 am.

Nasib TNGL Wilayah Aceh yang Kian Terancam Perambahan

$
0
0
Nasib hutan di TNGL wilayah Gayo Luwes yang tak lepas dari ancaman perambahan. Foto: Junaidi Hanafiah

Nasib hutan di TNGL wilayah Gayo Luwes, Aceh, yang tak lepas dari ancaman perambahan. Foto: Junaidi Hanafiah

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang berada di Provinsi Aceh da  Sumatera Utara tak lepas dari ancaman perambahan.

Kepala Balai Besar TNGL, Andi Basrul saat penandatanganan kerja sama antara Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dengan Polda Aceh yang dilakukan Jumat (21/8/15) mengatakan, tekanan terhadap kawasan TNGL saat ini yang menjadi sorotan dunia adalah perambahan, illegal logging, dan perburuan satwa liar, dan rencana pembangunan jalan dalam kawasan.

“Hasil sidang Komite Warisan Dunia ke-39 di Bonn tetap memasukan status Hutan Tropis Sumatra atau Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) sebagai Warisan Dunia dalam Bahaya (List of World Heritage in Danger),” sebut Andi Basrul.

Tiga taman nasional yang masuk dalam Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) adalah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). “Peserta sidang juga meminta Pemerintah Indonesia agar memberikan informasi mengenai langkah penegakan hukum terkait perusakan TNGL,” ujarnya.

Kapolda Aceh, Irjen Pol Husein Hamidi menyebutkan, Polda Aceh terus berupaya menjaga TNGL agar terbebas ancaman. “Upaya pemberantasan praktik perambahan hutan dan illegal logging yang terjadi di kawasan TNGL dan masuk wilayah hukum Polda Aceh akan terus kami lakukan,” sebut Husein.

Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Aceh Tenggara dan Gayo Lues, Gunawan Alza menyebutkan, kondisi hutan di TNGL di wilayah tersebut mulai memprihatinkan akibat pembukaan lahan pertanian dan perkebunan yang tidak terkendali. Luas TNGL di Aceh Tenggara yang mencapai 376.104 hektar tersebut hampir 70 persen dirambah untuk perkebunan perorangan.

Gunawan mengaku, di Aceh Tenggara, luas taman nasional yang rusak mencapai 10.000 hektar sementara di Gao Luwes sekitar 2.500 hektar. “Salah satu penyebab gundulnya hutan  karena pembukaan hutan untuk pertanian dan perkebunan. Bahkan, bukan hanya masyarakat, tetapi juga pejabat daerah,” ujarnya belum lama ini.

TNGL memiliki luasan 1.094.692 hektar dan berada di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Provinsi Aceh yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang. Sementara di Sumatera Utara,  meliputi Kabupaten Dairi, Karo, dan Langkat.

 

Di Gayo Luwes, Aceh, ada 5 desa yang wilayahnya berada di TNGL. Foto: Junaidi Hanafiah

Di Gayo Luwes, Aceh, ada 5 desa yang wilayahnya berada di TNGL. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Satu Kecamatan harus direlokasi

Untuk menyelamatkan TNGL, warga di kecamatan Putri Betung, Kabupaten Gayo Lues, harus segera direlokasi karena sebagian besar permukimannya masuk ke TNGL. Jika tidak, dikhawatirkan perambahan akan semakin parah.

Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Gayo Lues, Ferry Siswanto yang juga Ketua Forum Masyarakat Utan Leuser (FMUL) mengatakan, dari 13 desa yang berada di Kecamatan Putri Betung, lima desa berada di TNGL. “Jika warga tidak segera direlokasi atau keluar dari TNGL, luasan TNGL yang rusak akan membesar. Saat ini, kami perkirakan, sekitar 1.000 hektar taman nasional telah rusak.”

Ferry menyebutkan, pada tahun 1980 warga yang bermukim di Kecamatan Putri Betung hanya 18 rumah. Saat ini, telah lebih delapan ribu rumah. “Bahkan di lima desa yang berada di taman nasional, jumlah warganya mencapai tiga ribu jiwa.”

Ferry mengatakan, warga di Kecamatan Putri Betung yang akan direlokasi bukan hanya karena berada di taman nasional, tapi daerah itu juga rawan longsong dan banjir. “Kita telah rencanakan, beberapa tahun kedepan, warga akan direlokasi ke samping Kecamatan Pining atau bekas hak pengusahaan hutan seluas 70 hektar.”

Ferry juga mengatakan, untuk mempercepat proses relokasi Pemerintah Gayo Lues membutuhkan dukungan Pemerintah Aceh dan dari Pemerintah Pusat. “Selain dana, izin relokasi warga sampai saat ini belum kami dapatkan.”

 


Nasib TNGL Wilayah Aceh yang Kian Terancam Perambahan was first posted on September 7, 2015 at 7:09 am.

Jerit Bayi Orangutan yang Nyaris jadi Korban Kebakaran Hutan

$
0
0
Bayi orangutan yang berhasil diselamatkan dari kebakaran hutan. Miris, bayi ini terpisah dari induknya. Foto: BKSDA Kalbar

Bayi orangutan yang berhasil diselamatkan dari kebakaran hutan. Miris, bayi ini terpisah dari induknya. Foto: BKSDA Kalbar

Kebakaran hutan dan lahan ternyata tidak saja membawa dampak bagi manusia. Habitat hewan yang tinggal di lahan tersebut pun terancam. Satu individu bayi orangutan berhasil diselamatkan warga dari lahan terbakar di wilayah Kecamatan Seponti Jaya, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat, pertengahan Agustus lalu.

“Bayi orangutan tersebut berjenis kelamin betina. Namanya Seponti, diambil dari nama tempat dia ditemukan,” ujar kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono, Rabu (2/9/15).

Seponti diserahkan oleh petugas Taman Nasional Gunung Palung Seksi Sukadana ke BKSDA Wilayah 1 Ketapang. Sebelum ditemukan petugas TNGP, Seponti sempat dirawat warga setempat sebelas hari. Usianya diperkirakan satu hingga satu setengah tahun.

Saat ditemukan warga, Seponti terlihat dehidrasi dan lemas karena terlalu banyak menghirup asap. Warga mengaku tidak melihat induk orangutan di sekitar Seponti. Dari Kecamatan Seponti, bayi orangutan itu diserahkan ke Sukadana dengan berjalan kaki selama kurang lebih tiga jam.

Sustyo mengatakan, Kepala BKSDA wilayah I Ketapang, Junaidi, yang menerima Seponti langsung melakukan pemeriksaan kesehatan dibantu petugas medis dari Yayasan YIARI.

“Dari catatan rescue, orangutan diserahkan ke kantor taman nasioal pada 19 Agustus 2015. Selama di kantor, Seponti susah makan dan minum, hanya duduk di sudut rumah sembari bermain kain,” ujar Heribertus Suciadi, Media Komunikasi Yayasan IARI.

Sebelumnya, tepat 17 Agustus 2015, satu bayi orangutan yang lebih kecil dari Siponti, berhasil diselamatkan oleh YIARI. Giet, bayi berusia sekitar tiga hingga empat bulan yang berhasil diselamatkan dari Dusun Giet, Desa Merawa, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang. “Pemiliknya, kepala desa setempat bernama Ayong,” kata Heribertus, kemarin.

Saat datang, kondisi Giet sangat lemah. Dia mengalami dehidrasi, demam, tangan dan kaki kaku, serta menderita penyakit kulit. Miran, warga yang menyerahkan orangutan tersebut kepada YIARI mengatakan, Giet tidak dipelihara dengan baik selama dua bulan oleh pemiliknya. “Giet dibiarkan begitu saja tanpa perawatan dan dibeli seharga Rp400 ribu,” tambahnya.

Selama dipelihara, Giet hanya diberi susu kental manis. Alasan sang pemilik membeli Giet karena belum pernah melihat langsung orangutan dan ingin memegangnya. Selama dipelihara, Giet pernah diare dan sakit kulit. “Kini, Giet sudah dirawat,” jelas Miran.

 

Kebakaran hutan tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga menghilangkan habitat orangutan. Foto: BKSDA Kalbar

Kebakaran hutan tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga menghilangkan habitat orangutan. Foto: BKSDA Kalbar

 

Jerit Limpang ditinggal ibu

Bayi orangutan terakhir berhasil diselamatkan YAIRI adalah Limpang. Orangutan jantan ini berusia sekitar delapan hingga sembilan bulan. Ditemukan pada 29 Agustus 2015, di Desa Limpang, Dusun Nifu Jelutus, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang.

Daerah ini cukup jauh dari ibukota kabupaten. Medan yang ditempuh cukup berat, enam jam perjalanan.  Heri mengisahkan, bayi orangutan yang diberi nama sesuai dengan tempat asalnya itu,  ditemukan pertama kali oleh penduduk desa bernama Hatha alias Aben. Saat itu, warga tengah mengadakan acara adat tumbak ikan. “Ketika itu, Pak Hatha mendengar suara seperti tangisan di pinggiran hutan yang bersebelahan dengan sungai,” kata Heri.

Penasaran, Hatha mendatangi sumber suara dan menemukan bayi orangutan sendirian. Sebelum diserahkan ke YIARI, Limpang sudah dipelihara sebulan dengan diberi makan pisang dan nasi.

Limpang diserahkan oleh Hatha setelah dibujuk Yohanes, Kepala Desa Limpang yang masih berkerabat dengan Hatha. Yohanes menghubungi BKSDA Wilayah I Ketapang agar bisa menjemput bayi orangutan ini. “Yohanes memberitahukan sanksi memelihara satwa dilindungi. Dia bahkan memberikan uang pengganti kepada Hatha sebesar Rp500 ribu.”

Tim Rescue YIARI yang terdiri dari Ayu, Fauzi Iskandar, mahasiswa magang Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, seorang mitra, dan petugas BKSDA wilayan I Ketapang, berangkat ke Jelai Hulu untuk melakukan evakuasi.  “Kini, Limpang berada di kandang karantina bayi,” tukas Heri.

 


Jerit Bayi Orangutan yang Nyaris jadi Korban Kebakaran Hutan was first posted on September 8, 2015 at 12:33 am.
Viewing all 2678 articles
Browse latest View live