Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2624 articles
Browse latest View live

Nasib Desa di Pesisir Timur Sumatera Selatan: Tanpa Listrik dan Minim Air Bersih

$
0
0

Persoalan mendasar kehidupan masyarakat di wilayah pesisir adalah minimnya air bersih dan tanpa adanya penerangan. Foto: Rhett Butler

“Listrik? Itulah mimpi kami selama ini. Beberapa tahun lalu, ada kabar dusun kami akan dialiri listrik, tapi sampai sekarang belum ada,” kata Bandarsyah, ketua RT Dusun Rengas Merah, Desa Riding, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Kamis (19/02/2015).

Guna memenuhi kebutuhan penerangan, Bandarsyah dan keluarga lainnya di dusun itu terpaksa menggunakan mesin genset yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM). “Yang tidak mampu membeli mesin genset ya terpaksa menggunakan lampu minyak tanah,” katanya.

Itu dusun yang jauh dari garis pantai. Bagaimana dusun atau desa yang berada di garis pantai? “Listrik mengalir di dusun kami? Mungkin lebih baik bercita-cita menunaikan ibadah haji, jauh lebih mudah. Mengumpulkan dana, menjaga kesehatan, dan berdoa. Kalau soal listrik, berdoa dengan Tuhan pun rasanya pemerintah belum tergerak mengalirkan listrik ke desa kami,” kata  Karnawi, Kepala Desa Simpang Tiga Makmur, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, beberapa waktu lalu.

Sama seperti di Dusun Rengas Merah, masyarakat di Desa Simpang Tiga Makmur juga menggunakan genset atau minyak lampu untuk penerangan atau menyalakan alat elektronik lainnya.

Bedanya, kehidupan masyarakat di Desa Simpang Tiga Makmur, sedikit lebih baik dibandingkan dengan warga Dusun Rengas Merah. Di desa tersebut sumber pencarian selain menangkap ikan, memelihara udang, juga membuat terasi yang cukup terkenal di Indonesia. Hampir semua rumah di desa tersebut memiliki genset, sehingga penggunaan alat elektronik pun dapat dilakukan.

Sedangkan di Dusun Rengas Merah, kehidupan hanya mengandalkan hasil pertanian, seperti padi dan sayuran. “Biaya hidup kami di sini cukup besar untuk penerangan, dibandingkan makan dan kebutuhan lainnya,” kata Bandarsyah.

Selain listrik, persoalan yang cukup penting bagi masyarakat di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan yakni air bersih. Guna mendapatkan air bersih untuk dikonsumsi, mereka terpaksa membeli air mineral. Air dari sungai dan rawa, hanya dapat digunakan untuk mandi dan mencuci.

Desa Simpang Tiga Makmur, Kecamatan Tulung Selapan, OKI, Sumsel, ini sejak Indonesia merdeka belum pernah dialiri listrik. Foto: Taufik Wijaya

Desa Simpang Tiga Makmur, Kecamatan Tulung Selapan, OKI, Sumsel, ini sejak Indonesia merdeka belum pernah dialiri listrik. Foto: Taufik Wijaya

Pusat tenaga surya

Persoalan yang dialami masyarakat pesisir timur tersebut, sudah diketahui Pemerintah Sumatera Selatan (Sumsel). Guna memenuhi kebutuhan tersebut, Pemerintah Sumsel tidak akan membuat instalasi listrik yang menggunakan bahan baku mineral, melainkan tenaga sinar matahari.

“Rencananya akan dibangun pusat tenaga listrik sinar matahari yang berada di atas lahan seluas 20 ribu hektar. Tiang-tiang penangkap sinar surya itu akan tersebar,” terang Gubernur Sumsel Alex Noerdin, seperti yang diucapkan M. Ali Akbar, Staf Ahli Gubernur Sumatera Selatan Bidang Infrastruktur, saat mengunjungi Dusun Rengas Merah, Desa Riding, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, Kamis (19/02/2015).

Pemasangan tiang penangkap sinar matahari ini bukan menggusur lahan warga atau hutan. “Bisa saja tiang itu berada di tengah sawah, tepi pantai, atau sekitar rumah penduduk. Yang jelas, dekat permukiman warga yang membutuhkan aliran listrik. Luasan 20 ribu hektar tersebut, merupakan wilayah pemukiman,” katanya.

Rencana pembangunan tengah disusun, “Sebab sudah ada investor yang akan melaksanakan proyek tersebut,” kata Ali.

Rumah di tengah lahan gambut di Tulung Selapan, OKI, Sumsel, ini tidak pernah disentuh listrik. Foto: Taufik Wijaya

Rumah di tengah lahan gambut di Tulung Selapan, OKI, Sumsel, ini tidak pernah disentuh listrik. Foto: Taufik Wijaya

Terhadap rencana tersebut, Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup, menilainya cukup baik. “Itu cukup baik, sebab tidak menggunakan energi fosil yang menyebabkan peningkatan pemanasan global,” katanya.

Selain tenaga sinar matahari, energi alternatif yang akan dikembangkan di wilayah pesisir ini adalah bio diesel yang berasal dari tanaman nyamplung. “Solar yang dihasilkan lebih diperuntukan bagi kendaraan, seperti perahu nelayan atau kapal angkutan,” katanya.

Tapi yang lebih penting, pengembangan tersebut juga bersamaan dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat berbasis lingkungan hidup. “Semua pihak, khususnya pemerintah dan pelaku usaha, harus segera memperbaiki kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan produksi pertanian, dan perikanan,” ujarnya.

Ditambahkan Ali, guna mencapai hal tersebut, dibutuhkan pembangunan infrastruktur yang lebih baik. “Untuk transportasi tampaknya melalui perbaikan angkutan air dan penerbangan. Angkutan darat tetap dibutuhkan, tapi jangan diutamakan, sebab akan banyak membutuhkan lahan, sehingga hutan dan lahan gambut akan terganggu. Jika transportasi air dan udara diandalkan, sungai dan rawa bukan ditimbun justru dijaga,” ujarnya.

Penerbangan tersebut dapat menggunakan bandara di atas lahan kering atau sungai. “Di sini kan banyak sungai yang lebar dan dalam yang dapat digunakan pendaratan pesawat terbang kecil,” kata Ali.

“Ya, rencana ini akan terwujud bukan dalam waktu secepatnya, mungkin butuh waktu 5-10 tahun. Bertahap. Tapi kita harus memikirkannya sejak dini, sehingga saat dilakukan tidak berdampak pada lingkungan, dan memang mendorong kesejahteraan masyarakat. Gubernur Sumsel yakin wilayah pesisir timur ini akan kembali berjaya seperti masa Kerajaan Sriwijaya. Bedanya, saat ini selain menjadi sentra pangan dan industri kehutanan, juga pariwisata yang berbasis lingkungan hidup,” ujarnya.

Rata-rata masyarakat yang hidup di pesisir timur Sumatera Selatan belum pernah bersentuhan listrik. Foto: Taufik Wijaya

Rata-rata masyarakat yang hidup di pesisir timur Sumatera Selatan belum pernah bersentuhan listrik. Foto: Taufik Wijaya

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Nasib Desa di Pesisir Timur Sumatera Selatan: Tanpa Listrik dan Minim Air Bersih was first posted on February 21, 2015 at 1:11 am.

Bas van Balen: Cinta Indonesia Sejak di Belanda

$
0
0

Bas van Balen, sudah cinta Indonesia sejak berada di Belanda. Sejak tahun 1979 hingga kini, ia aktif meneliti burung di Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad

Bas van Balen, sudah cinta Indonesia sejak berada di Belanda. Sejak tahun 1979 hingga kini, ia aktif meneliti burung di Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad

Bas van Balen bukanlah nama asing bagi para peneliti dan pemerhati burung liar di Indonesia. Sepak terjangnya telah teruji. Pemikirannya selalu dinanti. Keilmuan lelaki kelahiran Arhhem, Belanda, 60 tahun silam ini, juga dijadikan rujukan untuk menguak misteri jagad perburungan nusantara.

Kecintaan Bas van Balen terhadap alam Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Sejak 1979 hingga sekarang, lelaki berjanggut lebat ini telah malang melintang hampir ke semua sudut Indonesia. Jangan heran, bila Pak Bas, biasa disapa, akan mengenal setiap jenis burung yang disodorkan meski hanya dari suaranya saja. Padahal, jumlah jenis burung di Indonesia sekitar 1.666 jenis.

Bagaimana pandangan pemilik nama lengkap Sebastianus van Balen tentang burung-burung liar di Indonesia? Apa yang menyebabkan penulis ratusan publikasi ilmiah ini “betah” di Indonesia?

Berikut petikan wawancara Mongabay Indonesia dengan Bas van Balen di sela Konferensi Nasional Peneliti dan Pemerhati Burung, Kampus Dramaga Institut Pertanian Bogor, Sabtu (14/02/2015) lalu.

 

Mongabay Indonesia: Sejak tahun 1979, Anda telah berada di Indonesia. Apa yang membuat Anda ‘kepincut’ Indonesia ketimbang negara lain?

Bas van Balen: Saya sering mendengar cerita tentang alam Indonesia. Terlebih, paman saya, yang pernah bertugas di Manado, Sulawesi Utara, pernah mengirimkan surat dengan perangko Indonesia. Saya senang sekali dan terus melihat perangko itu. Di Belanda juga, dokumentasi mengenai burung-burung di Indonesia masih banyak. Ini yang mempertegas keinginan saya untuk mengunjungi Indonesia.

Kemudian di dekat rumah saya di Arnhem, Belanda, ada museum yang menyimpan berbagai barang antik asal Indonesia. Di musuem itu ada awetan burung, kupu-kupu, hingga keong. Sangat menyenangkan sekali melihatnya. Selain itu, di sekolah saya waktu itu, ada juga orang asli Indonesia asal Bandung, Jawa Barat.

Nah, semua faktor ini makin membuat saya tertarik mengunjungi Indonesia.

 

Bas van Balen bersama Prof (Emeritus) S. Somadikarta, Bapak Ornitologi Indonesia

Bas van Balen bersama Prof (Emeritus) S. Somadikarta, Bapak Ornitologi Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad

 

Mongabay Indonesia: Setelah tiba di Indonesia, mengapa Anda bersemangat meneliti burung?

Bas van Balen: Ini karena kombinasi antara burung yang saya lihat di Belanda dengan keragaman burung yang ada di Indonesia. Saya ingin memadukan kekayaan jenis burung di dua negara ini. Selain itu, banyak buku yang saya baca menggambarkan avifauna Indonesia ini.

Saat meneliti burung, biasanya minimal target survei yang saya lakukan sekitar dua minggu. Namun, bila untuk penelitian pribadi saya bisa lebih dari dua bulan di hutan.

Selama saya di Indonesia hingga saat ini, banyak hal menarik yang saya temukan. Terlebih mengenai bertambahnya jenis burung di Indonesia yang memang dikarenakan ditemukannya jenis baru maupun hasil pemisahan jenis. Saya senang sekali, memiliki andil terhadap perkembangan dunia perburungan di Indonesia ini.

 

Mongabay Indonesia: Bila Anda bandingkan jenis burung di Indonesia dengan negara lain yang pernah Anda kunjungi seperti apa keunikannya?

Bas van Balen: Pengetahuan saya mengenai keragaman jenis burung saya fokuskan di Indonesia. Sedangkan seperti Malaysia, Pakistan, Eropa, dan negara-negara lain yang telah saya kunjungi hanya sebentar saja.

Dari literatur yang saya baca, Indonesia memang sangat kaya keragaman jenis burungnya. Wilayah Timur dan Barat Indonesia memiliki jenis yang berbeda. Ini semakin memperkaya Indonesia. Terlebih, Papua yang hingga kini masih diteliti.

Misalnya, di Papua, saya sering mendengarkan kicauan jenis paruh bengkok. Sementara di Flores, Nusa Tenggara Timur, saya melihat elang flores (Nisaetus floris). Elang flores merupakan jenis yang hanya hidup di Nusa Tenggara. Selain di Flores, persebarannya ada di Pulau Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, hingga Satonda (dekat Sumbawa), serta Pulau Rinca (dekat Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur). Populasi anggota Accipitridae ini diperkirakan hanya 100 – 240 ekor. Badan Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkannya sebagai jenis Kritis karena populasinya yang cenderung menurun.

Secara keseluruhan, saya menyukai burung tidak hanya dari penampilan, tetapi juga suaranya.

 

Mongabay Indonesia: Buku panduan lapangan Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan merupakan buku yang dijadikan acuan bagi peneliti dan pemerhati burung di Indonesia. Anda termasuk salah satu penulis. Tanggapan Anda?

Bas van Balen: Sebenarnya, itu bukunya John MacKinnon. Saya ikut membantu dalam hal revisi gambar dan memberikan nama-nama sekaligus memperbaikinya dalam Bahasa Indonesia yang selanjutnya disunting oleh Ria Saryanthi.

Saya senang terlibat di buku tersebut. Harus saya akui, ada nama-nama dari jenis tersebut yang masih kurang bagus karena saya berharap akan ada penyempurnaan kedepannya. Misalnya, sikatan bodoh (Ficedula hyperythra).

 

Buku panduan lapangan Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan ini menjadi rujukan para peneliti dan pemerhati burung di Indonesia

Buku panduan lapangan Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan ini menjadi rujukan para peneliti dan pemerhati burung di Indonesia

 

Mongabay Indonesia: Dari berbagai daerah yang Anda kunjungi di Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, hingga Papua, wilayah mana yang tingkat keterancaman burungnya tinggi?

Bas van Balen: Pulau Jawa yang tingkat keterancamannya paling tinggi. Karena habitat alami burung berupa hutan telah hilang. Harapannya tipis. Hal yang harus diperhatikan adalah bagaiman mempertahankan jenis burung yang masih ada tetap terjaga.

Sumatera, sejauh ini kita belum diketahui efeknya dengan pembabatan hutan yang cepat untuk perkebunan skala besar. Meski berbagai jenis burung masih banyak ditemukan namun, bila penggundulan terus dilakukan sudah pasti jumlah dan jenisnya akan berkurang. Begitu jugan dengan Kalimantan dan Papua yang harus diperhatikan.

Melindungi burung liar sudah pasti melindungi habitat alaminya yaitu hutan. Karena itu, masyarakat juga harus dilibatkan guna menjaga kelestarian burung-burung liar di Indonesia. Selain perlindungan wilayah dan penegakan hukum yang harus dijalankan.

 

Mongabay Indonesia: Apakah potensi penemuan jenis baru di Indonesia tetap terbuka?

Bas van Balen: Sangat terbuka sekali terutama di wilayah Papua dan Sulawesi, karena masih ada wilayah pegunungan yang belum dikunjungi.

Di Pulau seperti Sangihe – Talaud, Sulawesi Utara, siapa sangka bila nantinya akan ditemukan jenis baru. Artinya, masih banyak potensi yang harus digali lagi.

 

Mongabay Indonesia: Anda memiliki target untuk menemukan jenis baru pada penelitian mendatang?

Bas van Balen: Justru, jika kita memiliki target untuk menemukan jenis baru akan sulit didapatkan. Beberapa kali, saya pernah mendapatkan burung yang saya yakini itu jenis baru, ternyata merupakan anak jenis.

Untuk mengetahui apakah burung tersebut jenis baru atau anak jenis maka identifikasi yang paling mendasar dilakukan adalah melalui perbandingan foto dan rekaman suara. Berikutnya, cari literatur sebanyak mungkin. Jangan mengandalkan satu buku. Karena, dunia mengenai perburungan terus berkembang.

 

Elang flores yang statusnya Kritis dan populasinya cenderung menurun. Foto: Feri Irawan/Burung Indonesia

 

Mongabay Indonesia: Kepedulian masyarakat Indonesia saat ini terhadap burung dibandingkan tahun 1980-an apakah ada perbedaannya?

Bas van Balen: Saat ini telah banyak dibentuk komunitas pemerhati burung yang tidak hanya datang dari kalangan kampus tetapi juga dari masyarakat. ini menunjukkan kemajuan dan kepedualian terhadap burung yang ada di Indonesia. Dahulu, masalah perburungan belumlah sepopuler kini.

Saya harapkan ketertarikan terhadap pelestarian burung semakin meningkat di Indonesia, tidak hanya dari Malang, Bali, Sulawesi, hingga Jakarta. Tetapi juga seluruh Indonesia.

 

Mongabay Indonesia: Kemampuan Anda mengenali burung sungguh luar biasa, dari suara saja Anda sudah bisa mengenali jenis burung tersebut. Bagaima caranya agar para pemerhati atau peneliti burung di Indonesia dapat melakukannya?

Bas van Balen: Bila hanya sebatas ingin melihat burung maka bisa dilakukan di taman kota atau ruang terbuka hijau. Namun, bila ingin melakukan penelitian maka mencatat sebanyak mungkin saja akan kurang lengkap tanpa dapat mendeteksi asal suara yang dikeluarkan oleh jenis burung tersebut.

Cara paling mudah adalah dengan mengenali dahulu jenis burung yang ada di sekitar. Mulai dari bentuknya, kebiasaannya, hingga kicaunya. Ini lebih efektif. Dengan begitu, bila kita mendengarkan suara dari jenis yang belum pernah terdengar sebelumnya dapat kita ikuti suara tersebut. Kalau bisa, suara tersebut direkam agar bisa didengarkan sesering mungkin.

 

Penemuan jenis burung baru di Indonesia dari tahun 1998-2014. Sumber: Presentasi Bas van Balen saat Konferensi Nasional Peneliti dan Pemerhati Burung, Bogor (14/02/2015)

Penemuan jenis burung baru di Indonesia dari tahun 1998-2014. Sumber: Presentasi Bas van Balen saat Konferensi Nasional Peneliti dan Pemerhati Burung, Bogor (14/02/2015)

 


Bas van Balen: Cinta Indonesia Sejak di Belanda was first posted on February 21, 2015 at 6:55 am.

Anda Pernah Lihat Tujuh Satwa Unik Ini?

$
0
0

Anda pernah mendengar nama aye-aye? Bagaimana rupanya? Dimana kita dapat menemukannya? Bagaimana pula penampilan satwa bernama gobi jerboa? Dimanakah habitat alaminya?

Penasaran? Yuk, simak tujuh satwa mengagumkan ini yang merupakan bukti nyata kayanya bumi kita akan jenis fauna.

 

1. Uakari Botak

Uakari botak yang memiliki kepala botak dan wajah yang merah. Sumber: Wikipedia

Uakari botak (Cacajao calvus) atau sering juga disebut uakari berkepala botak merupakan monyet yang memiliki ekor sangat pendek. Wajahnya merah, dan pastinya kepalanya botak, sebagaimana namanya. Satwa ini, diketahui hanya ada di Hutan Várzea dan beberapa habitat hutan lain di sisi barat Amazon di Brazil dan Peru. Wajahnya yang merah menyala diyakini menggambarkan kondisinya yang sehat meski perlu penelitian lebih lanjut untuk pembuktiannya.

IUCN (International Union for Conservation of Nature) memasukkannya dalam status Rentan (Vulnerable/VU) karena perburuan dan habitatnya yang terus tergerus. Keberadaannya yang selalu dekat dengan sungai juga membuatnya sangat rentan terhadap kontak langsung dengan manusia.

 

 

2. Gobi Jerboa

Gobi jerboa. Sumber: theclinic.cl

Gobi jerboa (Allactaga bullata) merupakan spesies hewan pengerat dari keluarga Dipodidae. Satwa ini hanya ditemukan di Tiongkok dan Mongolia. Habitat alaminya adalah padang rumput atau gurun beriklim sedang.

Penampilan fisiknya cukup unik. Ukuran dan bentuknya menyerupai tikus. Memiliki dua kaki depan yang pendek menyerupai kanguru. Ekornya panjang dan memiliki daun telinga yang lebar jika dibandingkan dengan proporsi tubuhnya.Telinga yang lebar membuat jerboa memiliki pendengaran yang tajam untuk selalu waspada.

Selain itu, ada juga bulu-bulu di kakinya yang menyerupai sepatu, yang membantunya melompat di dataran gurun. Kedua keunikan ini, membuat jerboa memiliki kemampuan untuk mampu bertahan hidup di habitat gurun. IUCN memasukkannya dalam Risiko Rendah (Least Concern/LC).

 

 

3. Patagonian Mara

Patagonian Mara. Sumber: Tunturisusi.com

Patagonian Mara (Dolichotis patagonum) merupakan hewan dari keluarga Caviidae. Sering juga disebut Patagonian Cavy atau Patagonian Hare. Hewan herbivora yang berbentuk mirip kelinci ini ditemukan di habitat terbuka atau semi terbuka di Argentina bagian selatan, termasuk sebagian besar di kawasan Patagonia.

Satwa ini sering diburu untuk diambil kulitnya yang dipakai untuk bahan pembuatan seprai atau karpet. IUCN memasukkan status satwa ini dalam status Mendekati Terancam Punah (Near Threatened/NT).

 

 

4. Aye-aye

Aye-aye. Sumber: Wikimedia

Aye-aye (Daubentonia madagascariensis) adalah hewan endemik Pulau Madagaskar yang merupakan menjadi primata noktural alias aktif di malam hari. Sebagian besar, satwa ini ditemukan di hutan terutama pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (m dpl).

Satwa ini memiliki jari yang tipis dan panjang serta jari tengah yang lebih panjang dibandingkan jari-jari lain. Jari tengah ini dipergunakan untuk mencari dan mengambil larva dari rongga kayu. Tubuh aye-aye berwarna coklat gelap atau hitam dan memiliki ekor lebat yang ukurannya lebih panjang dari tubuhnya. Ia juga memiliki mata yang besar dan telinga yang sensitif.

Masyarakat Madagaskar menganggap aye-aye sebagai hewan yang membawa pertanda buruk sehingga sering memburunya. Aye-aye adalah satu-satunya anggota yang masih ada dari genus Daubentonia dan keluarga Daubentoniidae. IUCN memasukkan statusnya Genting (Endangered/EN).

 

 

5. Rusa Jambul

Rusa jambul. Sumber: Wikimedia

Rusa jambul (Elaphodus Cephalopus) adalah spesies rusa kecil yang dikenali dari jambul hitam di dahi dan gigi taring pada pejantan. Rusa ini berkerabat dekat dengan kijang, dan ditemukan di kawasan luas di Tiongkok bagian tengah dan timur laut Myanmar.

Baru-baru ini, rusa ini dijumpai juga di Afghanistan setelah diperkirakan punah 60 tahun yang lalu. Satwa ini sering diburu untuk diambil bulu dan kulitnya. Habitatnya juga rusak akibat pembangunan yang dilakukan secara masif di Tiongkok. Meskipun begitu, rusa ini tidak dianggap terancam punah. Ia merupakan satu-satunya anggota dari genus Elaphodus. IUCN memasukkan statusnya Mendekati Terancam Punah (Near Threatened/NT).

 

 

6. Gerenuk

Gerenuk. Sumber: Wikimedia

Gerenuk adalah istilah dalam bahasa Somalia yang artinya “leher jerapah”. Kijang yang satu ini memang punya leher, telinga dan kaki yang panjang. Gerenuk (Litocranius walleri) merupakan spesies kijang berleher panjang yang ditemukan di semak berduri dan gurun di wilayah Somalia, Kenya, Ethiopia, dan Tanzania.

Satwa yang juga sering disebut kijang berleher jerapah ini merupakan dan satu-satunya anggota genus Litocranius. Para ahli satwa mendeskripsikan bahwa gerenuk merupakan satwa rendah hati yang sering terlihat menolong gerenuk lainnya. IUCN memasukkan statusnya dalam Mendekati Terancam Punah (Near Threatened/NT).

 

 

7. Zebra Duiker

Zebra duiker. Sumber: Wikimedia

Zebra duiker (Cephalophus zebra) adalah sejenis kijang kecil yang bisa ditemukan di daerah-daerah Afrika seperti Pantai Gading, Sierra Leone, dan Liberia. Satwa yang bentuknya seperti perpaduan zebra dan kancil ini menyukai hutan hujan primer dataran rendah.

IUCN menasukkan statusnya Rentan (Vulnerable/VU) karena selain diburu untuk diambil daging dan kulitnya, habitatnya juga makin berkurang karena pembukaan hutan.

 


Anda Pernah Lihat Tujuh Satwa Unik Ini? was first posted on February 22, 2015 at 5:21 am.

Kubangan Tambang Nikel yang Resahkan Warga Morowali Utara

$
0
0

Inilah pemandangan miris yang terlihat saat memasuki Kabupaten Morowali Utara. Posisi Kota Kolonodale, ibu kota kabupaten, berada di bawah lokasi tambang PT. Mulia Pasific Resources, anak perusahaan PT. Central Omega Resources Tbk. Foto: Wardi Bania

Sebelum perusahaan nikel datang, Kolonodale, ibu kota Kabupaten Morowali Utara, dikelilingi bebukitan hijau yang tampak membentuk sebuah benteng. Masyarakat setempat menyebutnya Gunung Panorama, karena memang pemandangannya yang indah. Namun, semua berubah sejak perusahaan nikel beroperasi. Gunung Panorama menjadi gersang karena banyak pohon yang ditebang.

Tidak hanya itu. Tanah berlubang yang membentuk kubangan dengan air berwarna coklat juga bisa dilihat. Kubangan tersebut, dibiarkan menganga. Belum ada upaya dari pihak perusahaan untuk melakukan penimbunan.

“Kami khawatir terjadi longsor. Karena, banyak rumah warga yang lokasinya justru berada di bawah kubangan itu,” jelas Ambo, warga di Kelurahan Kolonodale, Jumat (20/02/2015).

Kubangan ini merupakan hasil karya perusahaan nikel PT. Mulia Pacific Resources (PT MPR), anak perusahaan PT. Central Omega Resources Tbk.

PT. MPR memulai aktivitasnya tahun 2011 berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Morowali Nomor 188.45/SK.0627/Tamben/2007 tanggal 7 Agustus 2007 seluas 5.158 hektar. SK ini kemudian disesuaikan menjadi Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dengan SK Bupati Morowali No.540.2/SK.006/DESDM/I/2011 tanggal 29 Januari 2011 dengan luas 5.156 hektar. Selanjutnya, ditingkatkan menjadi Izin Usaha Produksi (IUP) melalui SK Bupati Morowali No. 540.3/SK.001/DESDM/IV/2011 tanggal 21 April 2011.

Menurut keterangan Ambo, saat perusahaan ini mulai beroperasi hingga tahun 2015, warga desa yang berada di lingkar tambang hanya menerima dampak negatif saja. Padahal, Mei 2011 perusahaan tersebut pernah dilaporkan warga ke berbagai instansi terkait, termasuk mengadukan ke aparat penegak hukum.

Namun, lanjut Ambo, laporan warga terhadap perusahaan mulai dari dugaan pemalsuan dokumen analisa mengenai dampak lingkungan, pencemaran air yang menyebabkan keramba ikan masyarakat tercemar, hingga penggundulan hutan, bak angin lalu. Perusahaan terus beroperasi.

Begitu juga dengan Jatam Sulawesi Tengah yang pada 29 November 2011 pernah menuntut  pemerintah setempat mencabut izin dan menutup usaha pertambangan PT. MPR itu. Jatam meminta agar evaluasi terbuka dan transparan terhadap seluruh praktik pertambangan di Kabupaten Morowali  dilakukan, karena masalah ini berpotensi menimbulkan bencana kemanusiaan.

 

Desa Ganda-ganda, Kecamatan Petasia, Morowali Utara, yang berada di lingkar tambang PT. MPR. Para warga resah akan banjir dan longsor yang tidak kenal musim ini. Foto: Wardi Bania

Desa Ganda-ganda, Kecamatan Petasia, Morowali Utara, yang berada di lingkar tambang PT. MPR. Para warga resah akan banjir dan longsor yang tidak kenal musim ini. Foto: Wardi Bania

 

Banjir dan longsor

Desa Ganda-ganda, Kecamatan Petasia, Morowali Utara, merupakan salah satu desa yang berada di lingkar tambang PT. MPR. Rahim Kamal, Sekretaris Desa Ganda-ganda mengatakan, sejak perusahaan tersebut beroperasi, desanya pernah dihantam banjir dan longsor yang menenggelamkan puluhan rumah warga. Tak hanya itu, warga juga mengalami penyakit gatal-gatal. “Sekarang, banjir dan longsor tidak bisa diprediksi akan terjadi di musim penghujan. Sewaktu-waktu datang,” ujar Rahim.

Tahaning, Warga Desa Ganda-ganda, mengatakan bahwa tahun 2013 lalu, sekitar 12 rumah di desanya terendam banjir. Menurutnya, posisi tambang yang berada di atas perumahan warga membuat mereka was-was. “Saya terpaksa setuju karena perusahaan tersebut ada izinnya,” ujarnya.

Ratna, Eksternal Relation PT. MPR ketika dikonfirmasi mengakui bahwa IUP PT. MPR yang sudah dikelola perusahaannya sekitar 108 hektar memang berada di atas Desa Ganda-ganda. Sedangkan sisanya seluas 4.780 hektar di Blok Tontowea belum dikelola. “Persoalan lingkungan ini, setiap tiga bulan sekali ada tim dari instansi pemerintah yang datang untuk mengevaluasi,” ujarnya.

Menurut Ratna, terkait persoalan reklamasi, sejauh ini telah diketahui instansi pemerintah dan sesuai perencanaan rencana kerja teknik lingkungan (RKTL). “Bibit tanaman untuk reklamasi telah didatangkan dari luar daerah. Begitu juga dengan perusahaan sub-kontrak yang didatangkan dari Sorowako, Sulawesi Selatan untuk melakukan reklamasi itu,” ungkapnya.

Achirudin Usman, Kepala Bidang Pengawasan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Morowali Utara, ketika dikonfirmasi terkait reklamasi PT. MPR belum mau memberikan keterangan. Menurutnya, ia belum mendapat mandat untuk menyampaikan reklamasi PT.MPR kepada media.

“Saya belum lapor ke Kepala Dinas. Secara administrasi itu sangat prinsip,” kata Achirudin.

Mahmud Ibrahim, Kepala Dinas ESDM Morowali Utara, membenarkan bahwa berdasarkan laporan, saat ini di lokasi pasca-tambang PT.MPR sedang dilakukan reklamasi. Namun, pihaknya tetap menurunkan tim untuk melakukan pemantauan dan memastikan kebenaran reklamasi itu. “Saya masih menunggu laporan untuk memastikan reklamasi PT. MPR benar-benar dilakukan,” katanya.

 

Inilah lahan pasca-tambang PT. MPR yang masih menganga. Warga Ganda-ganda cemas, karena lokasinya yang berada di atas permukiman. Foto: Wardi Bania

Inilah lahan pasca-tambang PT. MPR yang masih menganga. Warga Ganda-ganda cemas, karena lokasinya yang berada di atas permukiman. Foto: Wardi Bania

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 

 

 


Kubangan Tambang Nikel yang Resahkan Warga Morowali Utara was first posted on February 23, 2015 at 5:03 am.

Berharap Tanggung Jawab Pengusaha HPH untuk Hijaukan Kembali Pesisir Timur OKI. Akankah Dilakukan?

$
0
0

Kehidupan masyarakat di pesisir timur Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan memang harus diperhatikan. Kehidupan mereka hanya mengandalkan pertanian dan mencari ikan. Foto: Rhett Butler

Kerusakan hutan dan lahan gambut di Pesisir Timur Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, tidak lepas dari tanggung jawab dari para pengusaha yang memiliki izin hak pengusahaan hutan (HPH) di era rezim Orde Baru. Harusnya, para pengusaha HPH tersebut bertanggung jawab dengan melakukan reboisasi atau penghijauan, serta membantu para petani atau masyarakat desa yang hidupnya miskin.

“Jika mereka diproses hukum, hanya mereka yang menderita atau menyesal, tapi hutan dan lahan gambut tetap rusak. Menurut saya, alangkah baiknya mereka yang selama ini menikmati kekayaan dari hasil penggundulan hutan, melakukan upaya perbaikan kembali hutan yang rusak tersebut,” kata Anwar Sadat, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Sriwijaya (SPS), Selasa (24/02/2015).

Menurut Sadat, program penanaman satu miliar pohon saat ini masih kurang efektif. Pasalnya, yang melakukan penanaman bukanlah pihak yang secara langsung merambah hutan sehingga kurang begitu paham kondisi hutan saat ini. “Akibatnya, gerakan ini hanya menghasilkan aksi penanaman pohon di lingkungan perkantoran, taman kota, atau di sekolah. Hampir semua dilaksanakan di kota, padahal yang rusak kan hutan,” kata Sadat.

Sadat menerangkan, sejarah HPH dimulai dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK). Motifnya adalah demi kepentingan nasional. Pengusahaan hutan diupayakan untuk menopang pembangunan nasional sebagai penyumbang devisa negara, penyerapan tenaga kerja, dan membangun industri pengelolaan hasil kehutanan. UUPK menjadi salah satu pintu bagi penanaman modal asing maupun modal dalam negeri.

Selanjutnya, setelah era reformasi, UUPK diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK). UU ini mengubah paradigma pengelolaan hutan yang sebelumnya hanya bersifat ekonomi sentris menjadi lebih bersifat ekologi sentris yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. UUK juga mengatur mengenai hutan adat dan kedudukan serta peran masyarakat.

Oleh karena itu, Sadat juga menghimbau pemilik HPH untuk memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan serta meminimalisir konflik dengan masyarakat di sekitar.

“Pada prinsipnya, semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan mempertimbangkan sifat dan karakteristiknya, sehingga keseimbangan dan kelestariannya dapat terpelihara,” ujar Sadat.

Rimba menjadi padang rumput

Kawasan lahan gambut di pesisir timur Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, pada 1970-an masih dipenuhi hutan. Meskipun saat itu sudah ada usaha penebangan pohon.

Tapi sejak 1982, aktivitas penebangan hutan kian menjadi. Ini dibarengi dengan program transmigrasi dan pengembangan perkebunan sawit. Puncak kerusakan hutan terjadi tahun 1990-an.

Berdasarkan data yang dimilikinya, Sadat menuturkan, awal 1990-an, tercatat 125 perusahaan pemotongan dan penggegajian kayu yang beroperasi di pesisir timur Kabupaten OKI. Setiap hari perusahaan tersebut mengeluarkan minimal 20 kubik kayu, atau 2.500 kubik kayu dikeluarkan dari pesisir timur OKI setiap harinya.

Dalam satu bulan, dengan asumsi 20 hari kerja, sekitar 50.000 kubik dikeluarkan. Jika dikalikan 12 bulan, maka 600.000 kubik kayu setiap tahun. Jumlah itu sama dengan 300.000 pohon.

“Ini dilakukan selama delapan tahun. Angka ini belum ditambah dengan penebangan yang dilakukan tahun 1970-an hingga 1980-an. Ironinya, setelah gundul terjadi kebakaran besar pada 1997 dan 1998, sehingga habislah wilayah pesisir timur tersebut,” katanya.

Tidak heran, kata Sadat, saat mengunjungi wilayah pesisir timur Kabupaten OKI, banyak ditemukan padang rumput. Sementara, kehidupan masyarakatnya saat ini sangat miskin. Mereka hanya mengandalkan hidup dari bertani padi, mencari ikan, dan berjualan kayu gelam. “Untuk membangun rumah, membutuhkan biaya yang lebih besar dari masyarakat kota. Belum lagi, fasilitas transportasi, listrik, kesehatan, pendidikan, yang sangat minim. Lengkaplah sudah kemiskinan dan penderitaan mereka,” ujarnya.

Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup, yang telah mengunjungi wilayah pesisir timur OKI, Kamis (19/2/2015), mengatakan bahwa terhadap kehidupan masyarakat yang minim fasilitas listrik dan air bersih maka diwilayah tersebut nantinya akan dikembangkan instalasi listrik tenaga matahari.

Namun begitu menurut Najib, pengembangan listrik juga harus dilakukan berbarengan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat berbasis lingkungan. Menurutnya, semua pihak terutama pemerintah dan pelaku usaha harus segera memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan produksi pertanian dan perikanan.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Berharap Tanggung Jawab Pengusaha HPH untuk Hijaukan Kembali Pesisir Timur OKI. Akankah Dilakukan? was first posted on February 25, 2015 at 1:41 am.

Peredaran Merkuri di Kalimantan Barat Masih Marak. Bagaimana Pengawasannya?

$
0
0

Tambang emas di Danau Serantangan. Foto: Yohanes Kurnia Irawan

Peredaran merkuri secara ilegal di Kalimantan Barat masih marak. Padahal, Peraturan Daerah (Perda) No 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian, Distribusi, dan Penggunaan Merkuri serta bahan sejenisnya, hingga ancaman hukuman selama enam bulan kurungan atau denda paling banyak Rp50 juta bagi pihak yang melanggar, jelas-jelas mengaturnya. Lalu, mengapa perdagangannya masih bebas?

Hamdani (40) warga Desa Monterado, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, yang sebelumnya berprofesi sebagai pendulang emas, mengatakan bahwa sebagian besar para penambang di wilayahnya dapat memperoleh merkuri dengan mudah dari para penampung emas. “Sebut saja cuka putih, mereka akan mengerti,” katanya belum lama ini.

Sementara di Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, merkuri dapat dibeli dalam plastik es. Merkuri tersebut dijual di warung. Ian Hilman, pegiat lingkungan di daerah tersebut, menuturkan bahwa penjualan merkuri bahkan dilakukan terang-terangan. “Tidak ditutupi,” ujar Ian.

Terhadap peredaran merkuri tersebut, Kepolisian Daerah Kalimantan Barat (Kalbar) tahun 2007, pernah menggulung sindikat penyelundup merkuri impor asal Kirgistan sebanyak 285 kilogram yang nilainya sekitar Rp132 juta. Tiga tersangka yang ditangkap, diyakini sebagai pemasok merkuri untuk penambang emas ilegal yang tersebar di Kalbar.

Sementara, tahun 2011, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat pernah mewacanakan melacak perdagangan merkuri ilegal dan sejenisnya. Namun, upaya tersebut tidak ada dampaknya.

Terkait peredaran merkuri ilegal ini, Kapolda Kalbar Brigadir Jenderal Polisi Arief Sulistyanto mengatakan, akan melakukan investigasi khusus mengenai peredaran merkuri. Menurutnya, berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, pihaknya akan berupaya menggulung sindikatnya dengan mengikuti arus uang yang mengalir dari pengusaha emas terutama dari hasil penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kalbar.

Eko Darmawansyah, Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat, menyatakan, sepanjang pengetahuannya, di Kalimantan Barat tidak ada perusahaan yang mengimpor langsung bahan kimia yang peredarannya di awasi pemerintah tersebut.  “Satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai pengimpor merkuri atau air raksa di Indonesia adalah PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia,” ujarnya.

Direktur Walhi Kalimantan Barat, Anton P Wijaya mengatakan, peredaran merkuri ilegal yang masih marak di Kalbar memang harus ditangani serius. Menurutnya, saat ini penanganannya belum menyentuh ke pemain besarnya. “Meskipun akan dilakukan penindakan terhadap PETI yang menggunakan merkuri namun ini belum menjawab persoalan,” ujarnya.

Menurut Anton, harusnya Perda No 4 Tahun 2007 tersebut harus disosialisasikan juga ke masyarakat agar mereka paham. “Walhi merupakan organisasi non pemerintah yang terlibat dalam penyusunan perda tersebut. Agaknya, perda ini belum sepenuhnya berjalan,” ujar Anton.

Penelitian

Thamrin Usman tahun 2008, dari Universitas Tanjungpura (Untan) yang saat ini merupakan Rektor Untan pernah melakukan penelitian dampak merkuri terhadap baku mutu air Sungai Kapuas. Dalam penelitiannya itu, Thamrin mengambil sampel di hulu Sungai Kapuas, yakni di Sekadau dan Sintang.

Hasil penelitiannya di Sekadau menunjukkan kandungan merkuri (Hg) mencapai 0,2 ppb (parts per billion) atau dua kali lipat dari ambang batas normal. Sedangkan, penelitiannya di Kabupaten Sintang menunjukkan kandungan merkuri hingga 0,4 ppb. Dari hasil penelitian tersebut, Thamrin yakin, bahwa pencemaran yang terjadi di hulu Sungai Kapuas itu dipastikan akan berimbas juga di wilayah hilir.

Pada penambangan emas tanpa izin, merkuri biasanya digunakan untuk memurnikan emas. Namun, bila merkuri tersebut telah merasuk ke tubuh manusia maka ia akan menjalar ke otak, ginjal, dan hati. Dampaknya, bagi ibu hamil maka bayi yang akan dilahirkannya bisa cacat seperti autis dan bibir sumbing. Gejala lainnya adalah dapat menyebabkan tremor hingga stroke.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Peredaran Merkuri di Kalimantan Barat Masih Marak. Bagaimana Pengawasannya? was first posted on February 25, 2015 at 2:21 am.

Kala Palembang, Kota Tertua di Indonesia Cemas akan Kualitas Air Bersih. Apa yang Dilakukan?

$
0
0

Sungai Musi merupakan identitas Palembang dan kebanggaan Masyarakat Sumatera Selatan. Foto: Muhammad Ikhsan

Palembang merupakan kota tertua di Indonesia. Sejak dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke tujuh hingga saat ini, Palembang dikenal sebagai kota air, karena dipenuhi sungai dan rawa. Sungai dan rawa ini selain menjadi sarana transportasi, juga sebagai sumber air bersih.

Namun, kini kualitas air baku, seperti air tanah dan sungai di Palembang kian menurun. Penurunan kualitas ini secara umum disebabkan limbah industri, sampah rumah tangga, berkurangnya anak sungai dan rawa, serta minimnya pepohonan sebagai penyaring dan penyerap air.

Salah satu langkah yang akan dilakukan Pemerintah Palembang guna menata sanitasi, terkait dengan limbah rumah tangga, adalah dengan membangun sanitasi terpusat atau komunal.

“Kualitas air baku harus dijaga. Jika dibiarkan seperti ini, bukan tidak mungkin di masa mendatang Palembang terancam krisis air bersih. Pemerintah harus hadir dalam mengatasi persoalan ini,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, Senin (23/02/2015).

Terkait rencana Pemerintah Kota Palembang yang akan membangun sanitasi komunal di lima kecamatan, yakni Kalidoni, Sako, Sematang Borang, Sukarami, dan Gandus pada 2015 ini dengan target 2.000 rumah melalui dukungan INDII (Indonesia Infrastructure Initiative) Hadi menilai sebagai upaya positif.

Salah satu kampung di Palembang, tepatnya di Kelurahan Sei-Selayur, Kecamatan Kalidoni, yang sanitasinya kurang baik. Foto: Muhammad Ikhsan

Salah satu kampung di Palembang, tepatnya di Kelurahan Sei-Selayur, Kecamatan Kalidoni, yang sanitasinya kurang baik. Foto: Muhammad Ikhsan

“Penurunan kualitas air baku ini penyebabnya bukan hanya dari limbah rumah tangga di Palembang saja. Ini juga dikarenakan rusaknya huluan Sungai Musi, akibat perkebunan dan penambangan, serta aktivitas industri,” kata Hadi.

Persoalan di huluan, kata Hadi, harus diselesaikan dengan menghentikan semua perizinan terkait perkebunan dan penambangan. Serta, mengevaluasi perusahaan yang masih berjalan. “Lakukan juga rehabilitasi hutan atau lahan yang rusak,” katanya.

Sementara industri di wilayah Palembang, harus terus dipantau. “Bisa saja produksinya meningkat, yang tidak seimbang dengan data awal saat analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) diajukan. Peningkatan produksi ini jelas menghasilkan limbah baru,” kata Hadi.

Selanjutnya, Pemerintah Palembang harus menghentikan semua pembangunan yang menimbun rawa lalu melakukan normalisasi anak Sungai Musi. Penataan dan pengelolaan sampah, yang jumlahnya terus meningkat harus dilakukan. Luasan rawa di Palembang yang semula seluas 200 hektar kini tersisa 50 hektar. Kemudian anak Sungai Musi yang berada di Palembang, sekitar 100 tahun lalu sekitar 316, yang hilang sekitar 221 anak Sungai Musi.

Mengenai program sanitasi komunal atau terpusat, Hadi mengharapkan wilayah yang ditetapkan pemerintah Palembang untuk dijalankan programnya, masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaannya, sehingga tidak menimbulkan persoalan. “Misalnya persoalan pembebasan lahan,” katanya.

Sanitasi komunal salah satu upaya pemerintah Palembang dalam mengelola limbah rumah tangga, sehingga mutu air tanah menjadi baik. Foto: Muhammad Ikhsan

Sanitasi komunal salah satu upaya pemerintah Palembang dalam mengelola limbah rumah tangga, sehingga mutu air tanah menjadi baik. Foto: Muhammad Ikhsan

Mengembalikan kenyamanan Palembang

Di masa lalu, berdasarkan catatan sejarah, Palembang merupakan kota yang paling nyaman. Selain air bersih yang melimpah, Palembang juga dipenuhi beragaman tanaman. Pemukimannya tertata dan indah, termasuk adanya kebun buah, seperti pada masa Kerajaan Sriwijaya.

“Kita menginginkan kisah indah tersebut kembali dirasakan masyarakat Palembang saat ini dan mendatang,” kata M. Sapri Nungcik, Kepala Bappeda Kota Palembang, Rabu (25/02/2015).

Penyelamatan air baku melalui program sanitasi komunal, merupakan salah satu cara untuk mencapai hal tersebut. Tentunya, kegiatan ini sejalan dengan kegiatan penghijauan atau perluasan ruang terbuka hijau (RTH), perbaikan atau normalisasi anak Sungai Musi, hingga pengelolaan sampah. “Penghargaan Palembang sebagai kota metropolis yang berudara terbaik di Indonesia harus dipertahankan,” kata Sapri.

Mengapa pembangunan dilakukan di pinggiran Palembang? Dijelaskan Sapri, pertama karena kesediaan lahan lebih gampang termasuk dalam pembebasannya.

Kedua, mencegah perluasan kerusakan lingkungan, sebab pemukiman baru di Palembang terus meluas sehingga meningkatkan kebutuhan air bersih dan limbah rumah tangga bertambah, “Diharapkan ke depan setiap adanya pemukiman baru, diwajibkan adanya sanitasi komunal dengan adanya contoh ini,” katanya.

Selain sanitasi komunal, pemerintah Palembang juga akan mengembangkan sanitasi kota, yang targetnya 21.700 rumah, pertokoan atau perkantoran. “Jika semua program sanitasi tersebut berjalan, lingkungan Palembang akan lebih baik, dan kualitas air baku kian membaik,” katanya.

Contoh bagian dalam IPAL komunal di Kecamatan Cepu, Blora, Jawa Tengah. Foto: Dwi Kusuma Sulistyorini

Mengapa pembangunan tidak diterapkan pada pemukiman yang lebih kumuh, seperti perkampungan di tepian Sungai Musi?

Dikatakan Sapri, ada beberapa hambatan jika pembangunan difokuskan pada pemukiman yang berada di tepian Sungai Musi. Pertama, sulit mendapatkan lahan untuk pembangunan sanitasi komunal. Kedua, penataan sanitasi juga dibarengi dengan kegiatan yang lain, sebab persoalan lingkungan di perkampungan di tepian Sungai Musi jauh lebih kompleks.

“Tapi itu bukan berarti kita tidak akan menatanya. Saat ini pemerintah Palembang tengah menyusun program penataan sanitasi di perkampungan Sungai Musi. Wacananya, instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) terapung,” katanya.

“Bentuk lainnya penghijauan yang berbasis energi terbarukan, seperti penanaman pohon yang dapat dijadikan sumber energi terbarukan, seperti nyamplung,” ujarnya.

Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumatera Selatan Bidang Lingkungan Hidup, menilai upaya yang dilakukan Pemerintah Palembang ini harus mendapatkan apresiasi yang positif. “Tapi yang harus dijaga, program ini benar-benar berjalan sesuai rencana dan targetnya, melibatkan masyarakat, serta sasarannya tiap tahun terus bertambah. Sehingga, dapat dirasakan manfaatnya oleh setiap warga Palembang. Karena, hidup sehat merupakan hak setiap warga negara,” kata Najib.

Sungai Musi malam hari yang indah diterangi pancaran sinar lampu dari Jembatan Ampera. Pencemaran terhadapa air Sungai Musi harus diatasi. Foto: Rahmadi Rahmad

 


Kala Palembang, Kota Tertua di Indonesia Cemas akan Kualitas Air Bersih. Apa yang Dilakukan? was first posted on February 25, 2015 at 11:25 am.

Penambangan Emas Tanpa Izin Terus Berjalan Meski Memakan Korban. Solusinya?

$
0
0
Lokasi PETI di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, pasca-operasi penertiban yang dilakukan oleh Polda Kalbar pada Oktober 2014 hingga Januari 2015. Tidak ada aktivitas yang tampak di hamparan pasir putih tersebut. Tadinya, ribuan pekerja melakukan penambangan yang terkonsentrasi di beberapa titik penggalian. Foto: Aseanty Pahlevi

Lokasi PETI di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, pasca-operasi penertiban yang dilakukan oleh Polda Kalbar pada Oktober 2014 hingga Januari 2015. Tidak ada aktivitas yang tampak di hamparan pasir putih tersebut. Tadinya, ribuan pekerja melakukan penambangan yang terkonsentrasi di beberapa titik penggalian. Foto: Aseanty Pahlevi

Miris! Penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kalimantan Barat terus memakan korban. Terakhir, Kamis (19/02/2015), dua bersaudara Yayat (25) dan Wawan (30) yang merupakan penambang emas warga Dusun Liang Sipi, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, tewas tertimbun.

Sebelumnya, 16 Januari 2015, delapan orang yang merupakan pekerja dan pendulang emas di lokasi penambangan tanpa izin di Kecamatan Menterado, Kabupaten Bengkayang, tewas tertimbun. Bahkan, beberapa bulan lalu, 18 orang tewas di perbatasan Monterado saat tanah yang disemprotkan pipa paralon 12 inchi ke atas, meruntuhkan tanah di sekitar penambangan yang digali. 16 pria dan dua perempuan tertimbun hidup-hidup.

Meski sudah memakan korban, namun kegiatan penambangan emas tanpa izin ini terus berlangsung. Benarkah alasan klise yakni demi perut, yang membuat penambangan tersebut terus berlangsung?

“Ini bukti bahwa penegakan hukum di hilir, tidak akan pernah menjadi solusi. Ini soal perut. Selama masalah perut belum selesai, hal ini akan terus terjadi,” kata Kepala Kepolisian Kalimantan Barat,  Brigadir Jenderal Polisi Arief Sulistyanto, di Pontianak belum lama ini.

Tadinya, Arief sempat sumringah karena jeratan hukum yang diberlakukan kepada cukong, yang tak lain pemilik modal, lebih berat. Tak hanya itu, Arief pun mengenakan undang-undang pencucian uang untuk mengikuti alur uang haram hasil penambangan emas tanpa izin tersebut.

Menurut Arief, Kepolisian Daerah Kalimantan Barat telah mendeteksi 64 lokasi pertambangan emas tanpa izin, yang tersebar di 12 kabupaten dan kota di Kalimantan Barat. Aktivitas paling banyak berada di Kabupaten Bengkayang, Ketapang, Landak, dan Sambas.

 

Penertiban

Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), Brigade Bekantan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, juga sudah melakukan penertiban pada penambangan liar di Cagar Alam Mandor, Kabupaten Landak, akhir Januari 2015. Mereka menangkap dan menahan empat tersangka yang diduga melakukan aktivitas PETI dan penebangan kayu ilegal di kawasan konservasi itu.

Kepala BKSDA Kalbar, Sustyo Iriono, (29/01/2015), mengatakan, kegiatan penertiban itu bertujuan untuk memberantas seluruh aktivitas ilegal di kawasan konservasi itu. Awalnya, kata Sulistyo, SPORC memeriksa 12 pelaku penambangan liar. Setelah melakukan pemeriksaan secara intensif, dengan melihat barang bukti dan petunjuk, akhirnya ditetapkan empat tersangka yang saat ini sudah dititipkan di Rumah Tahanan kelas IIA Pontianak.

Para pelaku dijerat dengan undang-undang No 18 Tahun 2013, tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, dengan ancaman hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara, serta denda minimal Rp1,5 miliar dan maksimal Rp10 Miliar.

Direktur Walhi Kalimantan Barat, Anton P Wijaya, mengatakan, ketika bicara penegakan hukum masalah penambangan liar, pemerintah harusnya memikirkan hak kelola komunitas. “Ada hak masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut,” kata Anton.

“Intinya, bagaimana penguasaan pertambangan rakyat ini dikelola secara komunal. Bukan oleh satu pemilik modal yang dominan. Sehingga, warga yang berada di sekitar area pertambangan bisa menikmati hasilnya, tanpa harus melakukan perusakan,” kata Anton.

Anton mengatakan, pemerintah telah membuat regulasi yang tidak memberikan keleluasaan pada pertambangan rakyat. “Pengelolaan tambang secara komunal, mungkin bisa menjadi solusi. Karena, kegiatan ini sudah menjadi kultur masyarakat, sejalan dengan sejarah keberadaan pertambangan di Kalimantan Barat,” ujarnya.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 

 

 


Penambangan Emas Tanpa Izin Terus Berjalan Meski Memakan Korban. Solusinya? was first posted on February 26, 2015 at 12:46 am.

Benarkah “Langit Biru Palembang” yang Terbaik di Indonesia?

$
0
0

Palembang dinobatkan sebagai kota metropolitan dengan kualitas udara terbaik di Indonesia 2014 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Evaluasi yang dilakukan KLHK tersebut berlangsung sejak Maret – Oktober 2014 yang di saat bersamaan Palembang juga diserang kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Foto: Muhammad Ikhsan

Palembang meraih penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai kota meteropolitan dengan kualitas udara terbaik di Indonesia periode 2014 dengan skor indeks 78,50. Palembang mengalahkan Surabaya, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Medan. Pantaskah Palembang menerimanya?

M Sapri Nungcik, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palembang, mengatakan pihaknya merasa bersyukur dengan penghargaan yang diberikan KLHK tersebut.

“Kita bersyukur dengan prestasi yang diraih oleh kota Palembang ini. Alhamdulillah, kualitas udara Palembang terbaik di Indonesia,” ujar Sapri. “Dengan penghargaan ini diharapkan akan terjadi peningkatan penataan lingkungan di Palembang, misalnya penataan sampah, polusi, penghijauan, dan lainnya,” kata Sapri, Rabu (25/02/2015).

Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup, mengatakan terpilihnya Palembang sebagai kota dengan kualitas udara terbaik di Indonesia ini harus dipertahankan bahkan ditingkatkan.

“Jangan dicari-cari sisi negatifnya atau menganggap hal ini tak mungkin. Hal itu kan berdasarkan sejumlah indikator dan penilaian dari tim KLHK. Ya, sah-sah saja. Ke depan, harus dipertahankan bahkan kualitas udara di Palembang kalau bisa lebih baik lagi,” ujar Najib, Rabu (25/02/2015).

Sementara Hadi Jatmiko, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan, mengkritisi prestasi yang diraih Kota Palembang tersebut. Menurutnya, indikator yang dipakai dalam penghargaan ini sangat kurang untuk menyatakan tingkat kualitas udara di sebuah kota.

“Indikatornya sedikit sekali, hanya dari sektor transportasi, emisi kendaraan, serta perda mengenai lingkungan hidup yang dikeluarkan. Kualitas udara tak hanya tergantung jumlah dan umur kendaraan di jalan raya. Kemudian soal perda, bagaimana implementasinya di lapangan. Ini masih jadi pertanyaan,” kata Hadi, Rabu (25/02/2015).

Apalagi saat dilakukan penilaian pada 2014 lalu, Palembang tengah diserang bencana kabut asap. Saat itu, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Palembang mengeluarkan pernyataan bahwa kualitas udara di Palembang memburuk sementara Dinas Kesehatan mengimbau masyarakat untuk menggunakan masker untuk mengantisipasi terkena penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

“Dengan adanya penghargaan ini seolah-olah kualitas udara di Palembang sudah baik. Seakan-akan penghargaan ini hanya untuk menutup-nutupi kejahatan lingkungan yang terjadi di Palembang saat ini, baik yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan atau oleh polusi pabrik-pabrik yang beroperasi di daerah ini,” ujar Hadi.

Hadi mengimbau, Siti Nurbaya Bakar, Menteri LHK, untuk mengevaluasi penghargaan ini, jangan hanya menjadi program kerja yang dimanfaatkan oleh para penjahat lingkungan untuk menutupi dosa-dosanya.

Palembang menyabet predikat sebagai kota metropolitan dengan kualitas udara terbaik di Indonesia karena kota ini telah membuat perda emisi dan kendaraan umumnya telah menggunakan bahan bakar gas. Evaluasi kualitas udara perkotaan (Ekup) yang dilakukan KLHK sendiri dilakukan sepanjang Maret – Oktober 2014 dengan tujuan utama mengetahui sejauh mana kualitas udara di kota-kota Indonesia sekaligus mendorong agar kota-kota tersebut mengelola kualitas udara dengan baik.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Benarkah “Langit Biru Palembang” yang Terbaik di Indonesia? was first posted on February 26, 2015 at 12:57 am.

Pemerintahan di Sumatera Selatan Masih Tertutup dengan Informasi Pengelolaan Kehutanan. Adakah yang Dirahasiakan?

$
0
0

UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengamanatkan pentingnya keterbukaan informasi sehingga tidak ada lagi hal yang ditutup-tutupi. Foto: Rhett Butler

Sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di kabupaten dan kota di Sumatera Selatan, sangat tertutup dengan semua informasi publik. Misalnya Dinas Pertambangan, Dinas Perkebunan, dan Dinas Kehutanan. Ada apa?

“Ini berdasarkan pengalaman FITRA Sumatera Selatan (Sumsel), melalui uji akses informasi. SKPD atau dinas yang sangat tertutup memberikan informasi sampai saat ini, terkait kasus di Kabupaten Musi Banyuasin dan di Pemerintah Provinsi Sumsel, yakni Dinas Pertambangan, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, dan Badan Lingkungan Hidup (BLH), “ kata Nunik Handayani, dari FITRA Sumsel, dalam FGD mengenai informasi pengelolaan hutan dan lahan gambut di Sumsel yang digelar Mongabay Indonesia, Kamis (26/02/2015).

“Hanya Bappeda yang terbuka,” jelas Nunik.

Sementara, pengalaman PINUS yang melakukan uji akses informasi publik pada 14 SKPD di Kabupaten Muara Enim, hanya empat SKPD yang memberikan data dan informasi yang dibutuhkan. Yakni, Bappeda, Dinas Pertambangan, Dinas PU Cipta Marga dan Dinas Kehutanan.

“Lainnya sampai saat ini belum memberikan informasi yang diminta,” kata Syamy Syamsul Huda dari PINUS.

Hadi Jatmiko dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel mengatakan masih ada pejabat pemerintah di Sumsel yang menyatakan informasi terkait pengelolaan kehutanan dan sumber daya alam merupakan data rahasia negara. “Ini kan aneh. Jelas sekali pejabat ini melawan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” kata Hadi.

Minta ke perusahaan

Meskipun sudah dijelaskan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, namun hampir semua pejabat di Dinas Pertambangan, Kehutanan atau Perkebunan yang dimintakan informasinya – dalam hal ini FITRA, PINUS, Walhi Sumsel dan WBH – selain tidak mau mengeluarkan data, juga menyarankan meminta langsung kepada pihak perusahaan.

“Ini kan aneh, data yang seharusnya menjadi hak publik dikatakan rahasia negara, sementara pihak yang tidak dapat diakses datanya oleh publik, justru disarankan diminta datanya,” kata Ismail dari Wahana Bumi Hijau (WBH).

“Jelas saja kami tidak menjalankan apa yang disarankan pejabat pemerintah tersebut,” katanya.

Saat ini, semua informasi dan data yang belum diberikan SKPD di kabupaten, kota serta provinsi tengah disengketakan di KID (Komisi Informasi Daerah). “Hasilnya masih menunggu,” kata Ismail.

Kenapa tertutup?

Organisasi non-pemerintah yang melakukan uji akses informasi publik di Sumatera Selatan menilai macetnya informasi publik di Sumatera Selatan, bukan karena para pejabat tidak paham dengan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Namun, seperti hanya sekadar dibentuk saja.

“Sebab, hampir semua kabupaten dan kota di Sumsel sudah membentuk PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi). Namun, lembaga ini semacam kamuflase saja. Mereka hanya ingin menunjukkan peduli dengan informasi publik, tapi praktiknya tidak,” kata Hadi.

Hadi pun menjelaskan jika informasi terkait dengan pengelolaan kehutanan dan sumber daya alam tersebut memang sengaja ditutupi, “Dugaan kami banyak aset dikuasai perusahaan milik pejabat pemerintah atau politisi. Jika hal ini dibuka, jelas akan menimbulkan kekhawatiran mereka,” kata Hadi.

Cara ini, kata Hadi, justru menimbulkan banyak kecurigaan dari masyarakat dan penegak hukum. “Seharusnya dibuka saja. Jika apa yang dilakukan itu benar secara hukum, buat apa takut dibukakan kepada publik. Apalagi itu hak publik yang diperintahkan UU,” ujarnya.

Pernyataan Hadi dibenarkan oleh Anwar Sadat dari Serikat Petani Sriwijaya (SPS). “Banyak informasi yang ditutupi, yang pada akhirnya menimbulkan konflik lahan antara masyarakat dengan pemerintah maupun perusahaan. Jika informasi itu terbuka mungkin konflik dapat dihindari atau dapat terselesaikan,” katanya.

Sadat mencontohkan kasus di Desa Sodong, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). “Ada informasi hasil keputusan tim penanganan konflik perkebunan sawit tersebut, yakni mengembalikan lahan sengketa seluas 400-an hektar kepada masyarakat. Tapi, informasi ini tidak sampai ke masyarakat, sehingga masyarakat melakukan perlawanan karena tidak mengetahui informasi ini,” ujarnya.

Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup, mengatakan Gubernur Sumsel Alex Noerdin sangat mendukung kebebasan mendapatkan informasi publik. Sebab, hal ini sesuai dengan semangat demokrasi dan UU yang ada. “Jika ada hambatan informasi seperti itu, sebaiknya disampaikan kepada Pak Alex, lengkap dengan datanya, sehingga semuanya menjadi jelas. Hal ini untuk menghindari berbagai dugaan negatif terhadap pemerintahan di Sumsel. Gubernur Sumsel sangat berkomitmen memperbaiki tata pengelolaan kehutanan dan lahan gambut,” katanya.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Pemerintahan di Sumatera Selatan Masih Tertutup dengan Informasi Pengelolaan Kehutanan. Adakah yang Dirahasiakan? was first posted on February 27, 2015 at 12:42 am.

Mendandani Pantai Utara dengan Mangrove Agar Bibir Kalimantan Barat Kembali Berseri

$
0
0
Anggota Siswa Pecinta Alam (Sispala) CAMAR SMA Negeri 1 Singkawang, sedang menanam mangrove di Kelurahan Setapuk Besar. Foto: Dok. WWF-Indonesia

Anggota Siswa Pecinta Alam (Sispala) CAMAR SMA Negeri 1 Singkawang, sedang menanam mangrove di Kelurahan Setapuk Besar. Foto: Dok. WWF-Indonesia

Sejumlah elemen masyarakat di pantai utara Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) berupaya merestorasi kawasan kritis melalui penanaman mangrove. Abrasi yang terjadi saban tahun telah mengancam kawasan permukiman, perkebunan warga, dan infrastruktur jalan.

Di Kelurahan Setapuk Besar, Kecamatan Singkawang Utara, Kota Singkawang, abrasi pantai mengancam perkebunan kelapa milik warga setempat. “Paling terancam adalah perkebunan kelapa. Dan itu berdampak pada kondisi ekonomi warga,” kata Jumadi, Ketua Kelompok Peduli Mangrove Surya Perdana Mandiri saat dikonfirmasi dari Pontianak, Kamis (26/2/2015).

Menurutnya, mayoritas anggota kelompok yang didirikan sejak empat tahun lalu ini bermata pencarian sebagai nelayan. Mereka bertekad merestorasi kembali hutan bakau yang kondisinya kian memprihatinkan. Selain mengancam perkebunan kelapa milik warga, abrasi juga mengancam stok ikan dan kepiting di wilayah tangkap tersebut.

Di Kelurahan Setapuk Besar, kata Jumadi, penanaman tahap pertama sudah mencapai 3.000 bibit. Penanaman bakau jenis Rhizophora ini ternyata mengundang minat nelayan setempat untuk ikut bergabung. Selanjutnya, penanaman tahap kedua sebanyak 4.000 bibit. Warga juga berupaya menyulam kembali tanaman yang tidak berhasil tumbuh.

Penanaman yang diikuti perwakilan Kelompok Peduli Mangrove Surya Perdana Mandiri, Sispala CAMAR SMAN 1 Singkawang, dan WWF-Indonesia Program Kalbar ini mengundang perhatian pemerintah setempat. “Bakau yang ditanam ini diharapkan dapat tumbuh dengan baik sehingga laju abrasi dapat berkurang serta berguna sebagai tempat berkembang biak ikan dan kepiting,” kata Adi Haryadi, Lurah Setapuk Besar.

Menghijaukan Pesisir Utara

Selain di Setapuk Besar, tiga wilayah lainnya di pantai utara Kalbar yang terdampak abrasi adalah Desa Sungai Mas dan Penjajap di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas, Desa Sungai Duri Kecamatan Sungai Raya Kepulauan Kabupaten Bengkayang, dan Desa Sungai Duri 1 Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah.

Hingga saat ini, total penanaman di empat lokasi seluas lima hektar itu sudah mencapai 36 ribu batang dari total 40 ribu bibit bakau yang akan ditanam. Sebagai cadangan, dipersiapkan 10 ribu benih (buah) atau 25 persen dari total restorasi yang akan ditanam sebagai tanaman penyulam. Langkah ini sekaligus menjadi bahan uji coba penanaman pada lokasi kritis tanpa bakau di sekitarnya.

Penanaman yang dimulai sejak 14 Februari ini akan berakhir pada 28 Februari 2015 dengan masa tanam disesuaikan dengan kondisi geografis. Jika cuaca buruk atau ombak besar, penanaman tidak dapat dilakukan hingga cuaca teduh.

Bekantan terlihat asik bermain di hutan mangrove Desa Tasik Malaya, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Foto: Bruno Oktavian/Panda Click WWF-Indonesia Program Kalbar

Di Desa Penjajap dan Sungai Mas Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas, penanaman mangrove sudah mencapai 13 ribu bibit. Desa berpenduduk 12.149 jiwa dengan luas wilayah 450 hektar ini merupakan kawasan kritis abrasi. Luas kawasannya terus berkurang akibat terkikis air laut dan mengancam permukiman penduduk.

Ketua Yayasan Pusat Mangrove, Yeni, mengatakan saat ini tercatat empat rumah di area Menara II yang posisinya telah berada di atas air. “Beberapa rumah warga sudah menjadi korban abrasi,” ungkapnya.

Manajer Program Kalbar WWF-Indonesia, Albertus Tjiu mengatakan, pihaknya telah bekerja sama dengan lima kelompok masyarakat peduli mangrove di pesisir utara Kalbar. “Ini upaya bersama untuk menumbuhkan kesadaran warga akan pentingnya mangrove bagi kehidupan,” katanya di Pontianak, Kamis (26/2/2015).

Menurutnya, penanaman kali ini mendapat sokongan dari karang taruna, pemerintah desa, kecamatan, dan pemerintah kota/kabupaten. Parapihak mencoba merestorasi mangrove di atas lahan seluas lima hektar, dan melibatkan masyarakat, pemerintah, siswa, dan mahasiswa dari Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura.

Sementara Coordinator Marine Species Conservation WWF-Indonesia, Dwi Suprapti menambahkan, restorasi mangrove ini bertitik tolak dari sejumlah persoalan yang dihadapi warga pesisir. “Hasil survei di Setapuk Besar menunjukkan bahwa abrasi mencapai 10 meter per tahun. Indikatornya, laut menggerus daratan hingga dua baris pohon kelapa yang ditanam warga. Jarak antara satu kelapa dengan kelapa lainnya mencapai lima meter,” katanya.

Persoalan berbeda terjadi di wilayah Sungai Duri, Kabupaten Bengkayang. Di sana, terdapat lebih dari 20 rumah berada tepat di atas air laut dan sekitar dua kilometer infrastrukur jalan yang terancam abrasi. Bahkan, jarak antara jalan raya dengan air laut hanya 0 – 100 meter.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Mendandani Pantai Utara dengan Mangrove Agar Bibir Kalimantan Barat Kembali Berseri was first posted on February 27, 2015 at 1:06 am.

Raperda Taman Hutan Raya Poboya Paneki Dianggap Abaikan Kepentingan Masyarakat Vatutela. Benarkah?

$
0
0

Rancangan Peraturan Daerah Pengelolaan Taman Hutan Raya Poboya Paneki dianggap belum mengakomodir kepentingan masyarakat Vatutela yang telah hidup turun-temurun di sana. Foto: Rhett Butler

Rancangan Peraturan Daerah (raperda) tentang pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya Paneki yang berada di timur Kota Palu, Sulawesi Tengah, mendapat penolakan dari Koalisi Aksi untuk Masyarakat Tepian Hutan (Katumpua). Koalisi ini menganggap Pemerintah Sulawesi Tengah (Sulteng) dalam hal ini Dinas Kehutanan, tidak terbuka dalam proses penyusunan draft rancangan tersebut.

Ketua Presidium Katumpua, Ona Samanda, mengatakan Dinas Kehutanan tidak menggunakan asas keterbukaan dalam penyusunan raperda itu dengan tidak melibatkan masyarakat Vatutela, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore yang sudah hidup turun temurun dan menetap di kawasan Poboya Paneki.

“Muatan materi raperda ada 9 bab 53 pasal yang sama sekali tidak memuat peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan. Padahal, dalam tahura tersebut ada perkebunan masyarakat yang juga digunakan untuk menggembala ternak. Kami meminta pemerintah untuk sementara menghentikan pembahasan raperda tahura sepanjang hak-hak mayarakat belum diakomodir,” ujar Ona di Palu, baru-baru ini.

Menurut Ona, kecurigaan yang paling mendasar bagi masyarakat Vatutela adalah jika raperda ini disahkan menjadi perda, maka akan ada rencana pembukaan ruas jalan Palu-Parigi yang diperkirakan melintasi kawasan tersebut. Jangan sampai nantinya pemerintah mengklaim bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan tahura. Padahal, kedepannya hanya untuk mempermudah akses pembukaan jalan  di wilayah itu.

Azmi Siradjudin dari Yayasan Merah Putih (YMP) yang ikut mendampingi warga Vatutela mengatakan, mestinya dalam raperda tersebut pemerintah mengadopsi menajemen pengelolaan bersama masyarakat di sekitar kawasan.

“Silahkan saja raperda dibahas, namun jangan menafikan masyarakat dan kebun mereka di dalamnya. Bila berkaca pada kasus tambang emas Poboya, pemerintah Kota Palu dan provinsi tidak tegas terhadap aktivitas pertambangan. Padahal, kegiatan itu masuk kawasan tahura.

“Silakan ada peraturan pengelolaan kawasan konservasi atau kawasan lindung, tapi tidak mengabaikan masyarakat yang ada di dalamnya,” tegas Azmi.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, Nahardi, mengatakan memang ada kelompok kecil masyarakat Vatutela yang khawatir jika raperda ini disahkan, akan membuat mereka terusir. Menurutnya, pihaknya sudah menjelaskan bahwa raperda ini memungkinkan membuka ruang untuk pembinaan, pemberdayaan, dan perlindungan masyarakat di tahura itu.

Menurut Nahardi, masyarakat tidak perlu khawatir jika raperda ini disahkan menjadi perda, karena justru akan membuat tanaman warga yang ditanam secara tradisonal akan semakin baik. Termasuk, pohon kemiri dan sebagainya asalkan tidak merusak.

“Kita akan membuat perbaikan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar tahura. Yang kami larang itu menebang pohon. Kalau ingin menanam kopi atau kemiri akan kami bantu bila itu memang sumber pencaharian mereka,” jelas Nahardi.

Kepala Seksi Pengelolaan Kawasan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Tahura Poboya Paneki, Nurudin, menjelaskan bahwa dalam pembahasan raperda ini pihaknya menepis tidak melibatkan warga yang tinggal di wilayah tahura.

“Salah, bila dikatakan tidak melibatkan masyarakat. Sebelum sampai ke DPRD, kita sudah melakukan konsultasi publik juga ke biro hukum. Bahkan, saat pembahasan di DPRD, masyarakat juga dilibatkan,” tegas Nurudin.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Raperda Taman Hutan Raya Poboya Paneki Dianggap Abaikan Kepentingan Masyarakat Vatutela. Benarkah? was first posted on February 28, 2015 at 1:43 am.

Keterbukaan Informasi Publik Belum Optimal, Sumsel Didorong untuk Lahirkan Perda. Bisakah?

$
0
0

UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengamanatkan pentingnya keterbukaan informasi yang transparan dan tidak perlu ada hal yang ditutupi. Foto: Rhett Butler

Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Sumatera Selatan (Sumsel), belum optimal. Banyak pejabat pemerintah tidak mau membuka informasi pulik, terutama terkait dengan tata kelola hutan dan lahan gambut. Guna mendorong ke arah yang lebih baik, Pemerintah Sumatera Selatan dinilai sangat perlu melahirkan peraturan daerah (perda) tentang keterbukaan informasi publik.

“Salah satu agenda ke depan, kita akan mendorong Pemerintah Sumatera Selatan, termasuk pemerintah di kabupaten dan kota, untuk melahirkan peraturan daerah mengenai keterbukaan informasi publik,” kata Syamy Syamsul Huda dari PINUS dalam FGD mengenai informasi pengelolaan hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan (Sumsel) yang digelar Mongabay Indonesia, Kamis (26/02/2015).

Guna memperjuangkan agenda tersebut, kata Huda, sejumlah organisasi non-pemerintah di Sumatera Selatan akan mendorongnya dalam sebuah forum bernama Amunisi (Aliansi Masyarakat untuk Keterbukaan Informasi). “Kita akan menawarkan draft akademis kepada pemerintah dan dewan,” katanya.

Taufik Wijaya, mantan Koordinator Koalisi Kebebasan Informasi Sumatera Selatan (Koa-AIS), menjelaskan tahun 2001 pernah didorong upaya untuk melahirkan perda. “Namun, DPRD Sumsel kala itu belum mau memprosesnya karena UU tentang keterbukaan informasi publik atau dulu disebut kebebasan informasi publik belum dilahirkan. Kini, mungkin janji tersebut dapat dipenuhi, sebab UU-nya sudah ada, bahkan sejak tahun 2008.”

Koa-AIS merupakan koalisi lembaga non-pemerintah di Sumsel, bersama lembaga non-pemerintah lainnya di Indonesia, yang mendorong lahirnya UU kebebasan (keterbukaan) informasi publik di Indonesia.

“Kebebasan informasi publik merupakan ciri negara demokratis. Jika pejabat pemerintah tidak mendukung atau menghalanginya, itu sama saja dengan menolak demokrasi yang berjalan di Indonesia. Saya pikir pemerintah di Sumsel akan mendukung lahirnya perda tersebut,” ujarnya.

Najib Asmani, Staf Khusus Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup menuturkan, sejauh untuk kepentingan bangsa dan negara dan sejalan dengan UU yang ada, pemerintah Sumsel jelas akan mendukung upaya tersebut. “Hanya, dalam menelurkan perda tersebut harus melibatkan banyak pihak, termasuk akademisi dan pakar komunikasi dan informasi, sehingga perda tersebut akan lancar dan benar-benar diterapkan,” ujarnya.

Selain mendorong perda keterbukaan informasi publik, Amunisi juga akan mengkampanyekan kepada masyarakat agar lembaga atau individu yang melakukan uji akses atau meminta informasi publik ke pemerintah untuk diumumkan ke publik. “Tidak kecuali untuk kepentingan penelitian,” kata Syamy.

“Termasuk pula dilakukan KID (Komisi Informasi Daerah) saat mereka mensengketakan sebuah kasus informasi publik. KID wajib meminta lembaga yang bersengketa mempublikasikan hasil dari sengketa tersebut. Jika informasi didapatkan lembaga yang memintanya, lembaga tersebut wajib mempublikasikan ke publik dengan menjelaskan tujuan dari kegunaan data atau informasi tersebut,” katanya.

Jangan mantan birokrat

Agar fungsi KID berjalan dengan optimal, dan menghindari kemungkinan terjadinya “tenggang rasa” sesama birokrat, diharapkan komisioner KID di Sumsel berasal dari aktifis NGO, akademisi, dan para profesional di bidang komunikasi dan informasi.

“Sebaiknya, jangan ada mantan birokrat. Ini upaya menghindari kemungkinan adanya proses tenggang rasa sesama birokrat, juga membangun citra dan kepercayaan publik terhadap KID. Tepatnya, KID berisi orang-orang yang paham dan memiliki track record mengenai perjuangan keterbukaan informasi publik,” kata Ismail dari Wahana Bumi Hijau (WBH).

“SDM yang ideal buat mengurusi KID di Sumsel cukup banyak. Baik dari perguruan tinggi, aktifis NGO maupun para profesional,” ujarnya.

Perkebunan

Agenda lain dari Amunisi adalah fokus pada informasi terkait pengelolaan hutan, lahan, dan  perkebunan. “Sebelum maraknya pertambangan batubara di Sumsel, perkebunan merupakan pengguna utama dari hutan dan lahan yang ada,” kata Syamy.

Anwar Sadat dari Serikat Petani Sriwijaya (SPS) menuturkan berbagai konflik di masyarakat yang terjadi hingga saat ini, lebih banyak terjadi di sektor perkebunan. Menurutnya, sudah saatnya informasi terkait dengan perkebunan, seperti perkebunan sawit, harus dibuka ke publik, sehingga didapatkan fakta dan data sebenarnya. Dengan begitu, kontrol lingkungan dapat dijalankan.

“Jangan sampai seperti data batubara, antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten berbeda. Sehingga, sulit dilakukan kajian atau evaluasi mengenai dampak lingkungannya,” timpal Hadi Jatmiko dari Walhi Sumsel.

Mengenai upaya mendapatkan data dan informasi terkait perkebunan tersebut, Nunik Handayani dari FITRA Sumsel, berharap para kepala daerah benar-benar mendukungnya. “Setidaknya menjadi perhatian. Jika terkesan menutupi dan ternyata ditemukan banyak persoalan, kepala daerah ini akan mendapatkan citra negatif dari masyarakat. Lebih baik terbuka saja,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Keterbukaan Informasi Publik Belum Optimal, Sumsel Didorong untuk Lahirkan Perda. Bisakah? was first posted on February 28, 2015 at 1:52 am.

Aplonis Metallica, Pernah Dengar Namanya?

$
0
0

Alam Indonesia menyimpan sejuta pesona dan keragaman hayati yang patut dijaga kelestariannya. Foto: Rhett Butler

Namanya memang Aplonis metallica. Asli, tanpa rekayasa. Nama ini telah disandangnya sejak 1824, yang diberikan langsung oleh sang penulis Temminck.

Apa yang membuatnya istimewa? Ya, Aplonis ini menjadi luar biasa karena nama belakangnya metallica, sama persis dengan nama grup musik legendaris asal Amerika Serikat, Metallica.

Metallica merupakan kiblatnya musik metal. Siapa yang tidak kenal lagu hits sekaliber One, Creeping Death, atau The Unforgiven?

Lalu, siapakah Aplonis metallica ini? Apakah ada kaitannya dengan James Hetfield, Lars Ulrich, Kirk Hammett, dan Robert Trujillo yang pernah manggung di Jakarta pada Agustus 2013 lalu itu?

Meski ada kesamaan nama, dapat dipastikan antara Aplonis metallica dan Metallica tidak ada hubungannya sama sekali.

 

Aplonis metallica

Aplonis metallica, memiliki ekor yang runcing dan paruh yang kuat. Foto: Hanom Bashari/Burung Indonesia

 

Aplonis metallica merupakan nama jenis burung yang dalam Bahasa Indonesia kita juluki perling ungu. Ukurannya sekitar 23 – 25 cm atau seukuran burung jalak.

Di Indonesia, burung ini hanya ada di Kepulauan Sula, Maluku, dan Nusa Tenggara. Ciri utamanya adalah ia memiliki ekor yang panjang dengan bulu tengah yang runcing. Matanya merah menyala, sementara bulunya berwarna hitam, hijau, dan lembayung ungu yang mengkilap. Sementara, saat remaja, warna bulu bagian bawahnya putih bercoret coklat tua atau hitam. Ekornya runcing.

Habitat utama burung dalam Bahasa Inggris bernama Metallic Starling ini adalah tepi hutan, lahan budidaya, hingga mangrove. Meski begitu, ia dapat ditemukan juga di atas permukaan laut pada ketinggian 300 meter di Seram, atau di kaki perbukitan di ketinggian 250 meter seperti di Halmahera, bahkan hingga 700 meter seperti di Pulau Buru.

Burung yang masuk dalam keluarga Sturnidae ini berpenampilan gagah. Paruhnya kuat, tajam, lurus, dan memiliki tungkai kaki yang panjang. Pakannya berupa buah-buahan dan juga invertebrata. Yang pasti, burung ini suka berceloteh dengan suaranya yang lantang. Bahkan, suka menirukan suara burung lainnya.

Selain Aplonis metallica, ada juga jenis Aplonis yang tersebar di nusantara yaitu Aplonis minor (perling kecil), Aplonis panayensis (perling kumbang), Aplonis crassa (perling tanimbar), dan Aplonis mysolensis (perling maluku).

Berdasarkan status IUCN (International Union for Conservation of Nature), perling ungu digolongkan dalam status Risiko Rendah (Least Concern/LC) karena persebarannya di alam yang terbilang baik.

Ingat musik, ingat Aplonis metallica juga ya!

 

Aplonis metallica memiliki mata merah menyala dan bulu yang kengkilap. Foto: Hanom Bashari/Burung Indonesia

Aplonis metallica memiliki mata merah menyala dan bulu yang mengkilap. Foto: Hanom Bashari/Burung Indonesia

 

Aplonis metallica atau dikenal dengan nama perling ungu menyukai buah-buahan dan invertebrata sebagai pakannya. Foto: Hanom Bashari

Aplonis metallica atau dikenal dengan nama perling ungu menyukai buah-buahan dan invertebrata sebagai pakannya. Foto: Hanom Bashari/Burung Indonesia 

 


Aplonis Metallica, Pernah Dengar Namanya? was first posted on March 1, 2015 at 6:39 am.

Ingat! PPID Gerbang Utama Menuju Transparansi Tata Kelola Hutan dan Lahan

$
0
0

Transparansi pengelolaan sumber daya alam di Kalimantan Barat harus dilakukan dengan baik. Sehingga, keterbukaan informasi mengenai tata kelola hutan dan lahan dapat diakses tanpa harus ada yang dirahasiakan. Foto: Rhett Butler

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat menilai transparansi pengelolaan sumberdaya alam di Kalimantan Barat masih sebatas mimpi. Jaminan keterbukaan dalam mengakses informasi terkait dokumen tata kelola hutan dan lahan kerapkali tersandung. Kendati, mayoritas daerah sudah menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).

Hal ini terungkap dari hasil diskusi Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada 27-28 Februari 2015 di Pontianak. “Ada angin segar ketika geburnur, bupati, dan wali kota menunjuk PPID. Ini mengindikasikan bahwa roda pemerintahan sudah mulai berjalan ke arah perbaikan tata kelola hutan dan lahan,” kata Faisal Riza dari Jari Indonesia Borneo Barat, Jumat (27/2/2015).

Namun demikian, Faisal juga mengakui masih ada daerah di Kalimantan Barat (Kalbar) yang belum sama sekali menunjuk PPID hingga saat ini. Alasan paling dominan adalah penunjukan PPID sedang dalam proses administrasi dan kendala penganggaran.

Di Provinsi Kalimantan Barat, ada empat kabupaten yang belum menunjuk PPID. Mereka adalah Kabupaten Sintang, Sanggau, Landak, dan Mempawah. Provinsi Kalimantan Barat, Kota Pontianak, Kota Singkawang, Kabupaten Kubu Raya, Kayong Utara, Ketapang, Sambas, Bengkayang, Sekadau, Melawi, dan Kabupaten Kapuas Hulu sudah menunjuk PPID.

Faisal mengatakan, penunjukan PPID ini hanya sebuah langkah awal keterbukaan. Masih banyak upaya yang musti dilakukan setelah pejabatnya ditunjuk. Di antaranya, PPID mesti membuat kategorisasi informasi yang mereka miliki. Kemudian, membuat mekanisme pelayanan informasi, dan mekanisme penyelesaian sengketa informasi di tingkat internal.

“Sesungguhnya jalan untuk mencapai semangat keterbukaan informasi publik ini masih panjang. Tapi, apapun alasannya, jalan itu harus ditempuh karena dia adalah amanat Undang-Undang No 14 Tahun 2008,” ucap Faisal.

Jari Indonesia Borneo Barat juga sudah mengidentifikasi sejumlah kasus yang berkaitan dengan kurangnya akses informasi bagi masyarakat. Di antaranya, permukiman masyarakat masuk dalam kawasan hutan lindung, lahan masyarakat yang dirampas perusahaan, konflik lahan di tingkat masyarakat, dan berbagai contoh kasus lainnya.

Aktivitas pengerukan sumber daya alam di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Keterbukaan informasi harus dilakukan untuk mengetahui kegiatan pengerukan tersebut. Foto: Sampan Kalimantan

Masyarakat berhak tahu

Dalam diskusi terbatas tersebut, Mongabay Indonesia juga menghadirkan aktor utama sengketa informasi di Kabupaten Ketapang. Dia adalah Syamsul Rusdi dari Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) Borneo.

“Uji akses yang kita lakukan di Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Ketapang akan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak dalam menangani kasus yang berkaitan dengan sengketa informasi di Kalbar. Padahal, saya hanya ingin mengetahui lampiran peta dalam Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan tambang di Ketapang. Kalau hanya dokumennya saja untuk apa kita minta. Kita butuh lampirannya supaya tahu duduk

Namun demikian, kata Syamsul, pihak Distamben Ketapang melalui Putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) menyebut lampiran peta dalam dokumen Amdal perusahaan tambang adalah bukan dokumen publik, dan tidak bisa dibuka kepada khalayak ramai. Alasannya, informasi tersebut bisa berpotensi jadi persaingan usaha yang tidak sehat dan melanggar hak atas kekayaan intelektual.

“Saya keberatan dengan Putusan KIP itu dan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak pada tanggal 4 Juni 2014. Empat bulan kemudian, gugatan saya dikabulkan PTUN setelah lima kali masa persidangan. Namun, pihak Distamben Ketapang keberatan dengan putusan PTUN Pontianak. Dan, mereka kasasi,” urai Syamsul.

Denni Nurdwiansyah dari Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan mengatakan apa yang dilakukan Syamsul Rusdi hanya satu contoh kasus sengketa informasi di Kalbar. “Saya kira masih banyak sengketa informasi yang belum berjawab hingga kini,” katanya.

Menurut Denni, langkah lanjutan sebuah daerah yang sudah memiliki PPID adalah menyusun standar operasional prosedur (SOP) dan daftar informasi publik (DIP). Artinya, PPID segera menyusun informasi apa yang boleh diakses publik dan mana informasi yang dikecualikan.

“Kalau hanya sebatas menujuk PPID saja, saya kira pejabatnya tidak akan bisa bekerja. Kendala sekarang di Kalbar kan seperti itu. SOP dan DIP tidak ada. Jika sudah demikian, PPID-nya mau kerja apa?” ucap Denni.

Kendaraan berat sedang mengeruk sumber daya alam di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Sampan Kalimantan

Hal ini diamini Muhammad Lutharif dari Kontak Rakyat Borneo. Menurutnya, tidak ada pilihan lain kecuali menguatkan posisi PPID dan Komisi Informasi Daerah (KID). “PPID penting untuk membuat SOP informasi dan klasifikasi informasi. Mana informasi yang tersedia setiap saat dan mana yang dikecualikan,” ucapnya.

Persoalan lain menurut pria yang akrab disapa Anong ini adalah mekanisme memperoleh informasi yang wajib disosialisasikan. “Mekanisme seperti ini harus diperkuat tidak hanya ditingkatan masyarakat, tapi juga harus menyasar hingga ke badan publik,” ucapnya.

Jalan menuju keterbukaan informasi publik yang masih panjang ini membuat Rheinardho Sinaga dari Perkumpulan Kensurai pun angkat bicara. “Melihat dari alur diskusi kita, saya kira kehadiran PPID di daerah belum menjamin adanya transparansi. Lebih khusus lagi di bidang pengelolaan sumber daya alam,” katanya.

Rheinardo menegaskan bahwa masyarakat berhak tahu jika kampung halaman mereka ternyata sudah dikuasai izin konsesi perusahaan ekstraktif. “Kenapa masyarakat berhak tahu? Tujuannya supaya tidak terjadi konflik sosial di kemudian hari. Obatnya cuma satu. Dokumen Amdal beserta lampirannya harus bisa diakses publik. Kalau tidak, maka kita pasti akan kembali berjalan dalam kegelapan informasi. Konflik membukit, korupsi sumber daya alam meroket,” pungkasnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Ingat! PPID Gerbang Utama Menuju Transparansi Tata Kelola Hutan dan Lahan was first posted on March 2, 2015 at 12:38 am.

Cegah Alih Fungsi Lahan Pangan di Sumatera Selatan Tidak Cukup dengan Perda

$
0
0

Lahan produksi pangan harus dilindungi, jangan sampai beralih fungsi menjadi perkebunan terlebih tambang. Foto: Rhett Butler

Jaminan ketersediaan pangan merupakan persoalan serius bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia. Tidak stabilnya harga jual, mahal dan langkanya pupuk bersubsidi, hingga cuaca tak menentu merupakan persoalan yang dihadapi petani pangan. Akibatnya, mereka mulai meninggalkan sawah maupun ladang dan mulai melirik produk perkebunan.

Kondisi ini terungkap dalam talkshow bertema ‘Inisiatif Daerah untuk Melindungi Lahan dan Produk Pangan Lokal’, yang digelar Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan di Palembang, Minggu (1/3/2015). Hadir sebagai pembicara Muhammad Rifai (Wakil Bupati Ogan Komering Ilir), Beni Hernedi (Wakil Bupati Musi Banyuasin), Abetnego Tarigan (Direktur Eksekutif Walhi Nasional, dan Giri Ramandha (Ketua DPRD Sumsel).

Muhammad Rifai menyatakan bahwa daerahnya telah memiliki peraturan daerah (perda) mengenai alih fungsi lahan yang telah disahkan 2012 lalu. Menurutnya, perda tersebut telah berjalan walaupun masih ada saja masyarakat yang mengalihfungsikan lahan pangannya.

Rifai menjelaskan, berdasarkan analisa pertanian, menanam padi sebenarnya lebih menguntungkan daripada karet. Namun, lanjut Rifai, uang penghasilan dari karet atau sawit lebih cepat diterima petani ketimbang dari sawah yang dalam setahunnya hanya satu atau dua kali. “Ini masalah yang masih dicarikan solusi,” ujarnya.

Beni Hernedi menuturkan Pemerintah Musi Banyuasin telah mendorong peningkatan produksi pertanian dengan membenahi jaringan tata irigasi mikro dan memoderenisasi peralatan pertanian. Serta, mengawasi lahan-lahan pangan agar tak beralih fungsi.

Menurut Beni, pihaknya telah membatasi dan tidak lagi memberi ijin perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) di daerah produksi pangan. “Saat ini, tengah disiapkan perda yang mengatur larangan alih fungsi lahan pertanian.”

Perlu insentif dan konsistensi

Menurut Abetnego Tarigan, saat ini di Indonesia pengembangan kawasan industri, permukiman, perkebunan, dan pertambangan yang berada di sekitar kawasan pertanian telah banyak menggusur kawasan produksi pangan.

“Di seluruh Indonesia, sekitar 500 ribu sampai satu juta hektar telah terjadi alih fungsi lahan produksi pangan. Di Pulau Jawa, alasan utamanya adalah untuk pengembangan kawasan industri dan perumahan. Sementara di luar Jawa, tujuannya untuk perkebunan dan pertambangan,” ujar Abet.

Oleh karenanya, menurut Abet, pemerintah harus memikirkan bagaimana melindungi lahan pertanian. Tak hanya mengeluarkan peraturan daerah yang melarang petani merubah fungsi sawahnya, melainkan juga memberikan insentif kepada petani. “Misalnya, pemilik lahan pertanian dikenakan pajak yang jauh lebih murah daripada lahan yang telah dialihfungsikan. Perlindungan ini sangat penting.”

Sementara Giri Ramandha mengatakan konsistensi dalam penegakan peraturan harus dilakukan. Menurutnya, kalaupun payung hukum alih fungsi lahan sudah ada, terkadang kendala dalam penegakan peraturannya yang belum konsisten.

Misal, suatu daerah yang dalam rencana tata ruang wilayahnya telah menetapkan 100 ribu hektar sebagai lahan produksi pangan, tiba-tiba di tahun berikutnya muncul peraturan lain yang bertentangan. Sehingga, lahan produksi terus berkurang.

Kelompok Tani Bunga Rampai asal Desa Lubuk Sakti, Ogan Ilir, begitu antusias menampilkan hasil olahan pangan lokal yang berasal dari kebun mereka sendiri. Foto: Muhammad Ikhsan

Kelompok Tani Bunga Rampai asal Desa Lubuk Sakti, Ogan Ilir, begitu antusias menampilkan hasil olahan pangan lokal yang berasal dari kebun mereka sendiri. Foto: Muhammad Ikhsan

Parade pangan lokal

Selain talkshow, pada acara tersebut digelar juga parade olahan pangan lokal yang terbuat dari  singkong, ketan, jagung, pisang, hingga kacang-kacangan. “Kita ingin mengingatkan publik pentingnya pangan lokal. Kita juga ingin mengingatkan pemerintah dan masyarakat luas agar alih fungsi lahan pangan menjadi lahan pertambangan, perkebunan, dan industri tidak perlu terjadi lagi,” ujar Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan (Sumsel).

Iyus, ibu rumah tangga warga Bukit Kecil Palembang, yang turut berpartisipasi mengatakan banyak sumber pangan lokal yang dapat diolah menjadi kuliner sehat bergizi. “Harus dipromosikan, sehingga pangan lokal semakin berkembang. Jika diolah dengan kreatif, tampilan pangan lokal dapat menarik dan tak kalah dengan kuliner luar.”

Sementara Angraini, petani perempuan asal Desa Lubuk Sakti, Kabupaten Ogan Ilir, mengatakan kelompok taninya yang tergabung dalam Tani Bunga Rampai senang mendapatkan kesempatan ini. “Kami membawa keripik pisang, dodol ketan rasa durian, kue semprong dari beras, dan lain-lain. Semua bahannya dari kebun sendiri,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Cegah Alih Fungsi Lahan Pangan di Sumatera Selatan Tidak Cukup dengan Perda was first posted on March 3, 2015 at 2:49 am.

Kenapa Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah Kalimantan Timur Tak Kunjung Terbentuk?

$
0
0

Kondisi hutan di Kalimantan Timur yang gundul akibat tambang batubara. Foto: Hendar

Tahun 2013, Pemerintah Kalimantan Timur telah mengeluarkan Peraturan Daerah (perda) Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah. Dalam perda itu, Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang harus terbentuk minimal enam bulan setelah perda disahkan. Namun, hingga kini, peraturan gubernur yang ditunggu sebagai acuan pembentukan komisi tersebut belum lahir juga.

Seperti yang telah diberitakan Mongabay sebelumnya, rancangan peraturan gubernur (ranpergub) tentang Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah telah diserahkan oleh tim penyusun kepada gubernur. Muhammad Nasir, anggota tim penyusun dari LSM Prakarsa Borneo, pada November 2014, menyatakan bahwa peraturan gubernur akan dikeluarkan paling lambat awal 2015.

Namun, Najidah, akademisi dari Universitas Mulawarman yang merupakan anggota tim penyusun tersebut menyatakan bahwa saat ini ranpergub masih berada di Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur. Keterlambatan ini dikarenakan adanya perdebatan sengit terkait isi dan komposisi komisioner.

“Karena disebut komisi maka seharusnya independen. Namun, pemerintah provinsi menginginkan sebagian anggota komisi ditunjuk dari instansi pemerintah,” ujar Najidah pada acara Focus Group Discussion yang diselenggarakan Mongabay di Samarinda, Kamis (26/2/2015).

Haris Retno, yang juga akademisi dari Universitas Mulawarman, memiliki pandangan berbeda terkait keterlambatan peraturan gubernur itu. Menurutnya, penerbitan perda mengenai Penyelenggaraan Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah merupakan bentuk kompromi tarik ulur berbagai kepentingan. “Makanya, setelah disahkan sepi-sepi saja,” kata Retno.

Fatur Iqin, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur (Kaltim), mengungkapkan hal senada. Iqin menyatakan pernah mengikuti pembahasan Perda Nomor 8 Tahun 2013 yang kemudian terputus. Sebagaimana yang dikatakan Haris Retno, Iqin menyebutkan bahwa lahirnya perda ini hanya untuk menyenangkan pihak tertentu. “Seolah ada desakan kuat dari masyarakat sipil mengenai reklamasi dan pasca-tambang, lalu pemerintah merespon. Namun, setelah itu tidak ada gaungnya lagi,” ujar Iqin.

Partisipasi organisasi masyarakat sipil yang selama ini peduli pada permasalahan lingkungan hidup juga terlihat rendah. Hal ini diakui Kahar Al Bahri, mantan Dinamisator Jatam Kaltim. Menurutnya, tidak ada upaya maksimal pemerintah provinsi menyatukan persepsi antara organisasi masyarakat sipil perihal ranpergub. “Saya mengikuti beberapa pertemuan mengenai ranpergub ini, tapi setelah itu tak ada kabar lagi,” ujar laki-laki yang kerap dipanggil Ocha.

Sorotan juga disampaikan Ade Fadli, Yayasan Bumi, dengan membuat perbandingan ranpergub moratorium yang draftnya lebih mudah diakses dan diberi masukan. Menurut Ade, yang lebih penting adalah pertanyaan seberapa penting perda dan komisi ini dimata kelompok masyarakat sipil. “Jangan-jangan tidak dianggap penting sehingga tidak ada gerakan dari masyarakat sipil untuk memberi tekanan pembentukan Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah,” ujar Ade.

Sementara Agus, dari WWF Kaltim, menyatakan lambatnya tindak lanjut perda tersebut menguntungkan pengusaha tambang yang nakal. Menurutnya, sejak awal para pengusaha keberatan dengan lahirnya perda ini. “Kita perlu strategi atau skenario lain untuk mendesak lahirnya komisi ini.”

Sampai saat ini, sejauh mana perkembangan ranpergub yang berada di Distamben belum ada kejelasan. Najidah pun, sebagai anggota tim perumus tidak bisa memberikan informasi. Menurutnya, advokasi untuk mendorong penandatanganan ranpergub oleh Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak tidak bisa dilakukan oleh satu organisasi saja. “Kita tidak bisa menyerahkan hanya kepada LSM Prakarsa Borneo. DPRD Provinsi Kaltim yang mengesahkan perda ini bisa juga harus mempertanyakan tindak lanjutnya kepada eksekutif yang berkewajiban membuatnya dalam aturan-aturan teknis,” pungkas Najidah.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Kenapa Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah Kalimantan Timur Tak Kunjung Terbentuk? was first posted on March 3, 2015 at 5:14 am.

Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat Kecam Pembunuhan Anggota Serikat Petani Tebo Jambi

$
0
0

Inilah tempat peristirahatan terakhir Indra, seorang petani Tebo, Jambi yang tewas diduga dianiaya petugas keamanan PT. WKS, anak perusahaan APP. Foto: Walhi Jambi

Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat yang terdiri dari Walhi Kalbar dan Pontianak Institute mengecam keras aksi penculikan dan pembunuhan terhadap Indra Kailani, anggota Serikat Petani Tebo (SPT) Provinsi Jambi. Indra tewas setelah dikeroyok tujuh anggota keamanan PT Wira Karya Sakti (WKS), anak usaha Asia Pulp and Paper (APP), Jumat (27/2/15).

Ian M. Hilman dari Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat (Kalbar) menilai tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi itu bukan hanya menyayat hati, tetapi juga mengoyak harkat dan martabat rakyat khususnya kaum tani selaku penopang kedaulatan pangan Indonesia. “Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat dengan tegas mengecam tindakan tersebut dan dengan tegas meminta kepolisian mengusut tuntas kasus ini” jelas Ian di Pontianak, Selasa (3/3/2015).

Menurut Ian, tindakan tersebut tidak dapat ditolerir. “Koalisi Masyarakat Sipil Kalbar meminta institusi penegak hukum serta lembaga penegak hak asasi manusia untuk segera mengungkap dan melakukan pengusutan secara mendalam kasus ini.”

Anton P. Widjaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, menambahkan, inisiatif perbaikan tata kelola usaha melalui berbagai komitmen yang akhir-akhir ini dilakukan APP hanya untuk kepentingan pasar dan orientasi ekonomi semata. “Peristiwa pembunuhan Indra menjelaskan tidak ada keseriusan APP dalam menjalankan seluruh komitmen perbaikannya di lapangan. Ini memperkuat dugaan kita bahwa komitmen tersebut hanya menjadi concern elit perusahaan dalam menjaga kepentingan pasar dan keberlanjutan produksi saja,” katanya.

Anton melanjutkan, Koalisi Masyarakat Sipil Kalbar juga mengingatkan komponen masyarakat yang selama ini mendukung seluruh komitmen perbaikan APP untuk menghentikan dukungan tersebut. Menurut Anton, harus ada sikap lebih kritis dan objektif dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. “Tindakan brutal yang dilakukan aparat keamanan PT. WKS terhadap kaum tani di Jambi, bukan tidak mungkin terjadi juga di berbagai wilayah Indonesia melalui sejumlah anak perusahaan APP lainnya. Termasuk, di Kalimantan Barat.”

Martin Gilang, Direktur Pontianak Institute, mengingatkan Pemerintah Daerah Kalimantan Barat untuk mencegah potensi dan kejadian seperti ini terjadi di Kalimantan Barat. “Pemerintah daerah dan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat harus berada di depan dalam mencegah konflik dan penegakkan hukum terhadap praktik perusahaan yang melanggar hukum dan semena-mena di lapangan,” ujarnya.

Pemerintah Kalimantan Barat, kata Martin, harus menjunjung tinggi penghormatan atas hak-hak hidup masyarakat di sekitar area investasi. Sehingga, potensi dan kejadian seperti ini tidak terulang lagi. “Kejadian buruk ini harus menjadi catatan bagi pemerintahan Jokowi dan Gubernur Cornelis, dalam memperbaiki carut marut pengelolaan sumber daya alam, khususnya di Kalimantan Barat,” tegas Martin.


Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat Kecam Pembunuhan Anggota Serikat Petani Tebo Jambi was first posted on March 4, 2015 at 2:39 am.

Moratorium Izin Tambang di Kalimantan Timur akan Ditegaskan Melalui Peraturan Gubernur

$
0
0

Kawasan hutan di Kalimantan Timur yang tergerus tambang batubara. Foto: Hendar

Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak pada 25 Januari 2013 telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 180/1375-HK/2013 yang ditujukan kepada bupati dan walikota se-Kalimantan Timur untuk melakukan moratorium izin pertambangan, perkebunan, dan kehutanan.

Melalui surat tersebut, Awang, meminta bupati dan walikota untuk tidak mengeluarkan izin baru, melakukan evaluasi perizinan, dan memberikan laporan yang jarak waktunya tidak lama. Menurut Awang, luas wilayah yang dialokasikan untuk pertambangan, perkebunan dan industri kehutanan di Kalimantan Timur sudah sangat luas dan menimbulkan dampak buruk yang menganggu keseimbangan lingkungan dan kenyamanan warga.

“Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur berinisiatif meningkatkan surat edaran tersebut menjadi peraturan gubernur,” ujar Awang di Samarinda, Senin (16/2/2015).

Menurutnya, keseluruhan lahan yang dipakai oleh berbagai perizinan mencapai 13 juta hektar lebih. Sementara, dari luasan izin usaha pertambangan (IUP) batubara dan Perjanjian Kontrak Penambangan Batubara (PKP2B) di Kalimantan Timur sekitar 50 persen atau 1,9 juta hektar berada di kawasan hutan.

“Saya tahu ada bupati yang tidak suka dengan surat edaran yang saya keluarkan. Saya juga tidak ragu soal peningkatan status surat tersebut menjadi peraturan gubernur. Kebijakan ini merupakan langkah nyata Kalimantan Timur dalam program nasional pengurangan emisi gas karbon hingga 26 persen,” tuturnya.

 

Tanggapan

Haris Retno, akademisi dari Universitas Mulawarman memberikan sejumlah catatan terhadap peraturan gubernur yang sudah ada draf rancangannya itu. Menurutnya, dibanding dengan surat edaran, draf rancangan tersebut terlihat mengalami kemunduran. Terutama, dengan tidak dicantumkannya evaluasi atas izin yang telah diberikan. Peraturan ini apabila disahkan menjadi tidak kuat karena berisi banyak pengecualian.

“Evaluasi, review atau audit atas izin-izin, penting untuk dilakukan karena banyak yang tidak beres. Aspek masyarakat juga harus diakomodir dalam draf rancangan peraturan gubernur ini,” ujar Retno di Samarinda, Minggu (1/3/2015).

Margaretha Seting dari Aman Kaltim, menyatakan pengecualian bisa dilakukan untuk ruang kelola rakyat. Izin tetap bisa diberikan terhadap hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan desa, dan hutan tanaman rakyat. “Hak-hak masyarakat untuk turut mengelola sumber daya alam selama ini belum diberikan,” ujar Margaretha.

Pernyataan ini didukung oleh Mukti Ali dari Kawal Borneo Community Foundation (KBCF) yang menyebutkan bahwa industri kehutanan sudah banyak mencaplok ruang kelola masyarakat dan banyak menimbulkan konflik. “Istilah rehabilitasi diganti dengan restorasi agar sesuai dengan nomenklatur di kehutanan yaitu restorasi ekosistem,” usul Mukti.

Menurut Mukti, sejumlah masukan kritis ini nantinya akan disusun dalam sebuah dokumen yang akan diserahkan ke Biro Ekonomi Provinsi Kalimantan Timur yang bertanggung jawab atas penyusunan peraturan gubernur tentang moratorium pertambangan, perkebunan dan, kehutanan tersebut.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Moratorium Izin Tambang di Kalimantan Timur akan Ditegaskan Melalui Peraturan Gubernur was first posted on March 4, 2015 at 5:33 am.

Duh! Dana Jaminan Reklamasi Pasca-tambang di Kalimantan Barat, Sehektar Setara 35 Batang Bibit Karet

$
0
0

Salah satu aktivitas PT. Karya Utama Tambang Jaya (KUTJ) di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Hasil investigasi Relawan Pemantau Hutan Kalimantan (RPHK) menyebut perusahaan ini telah mengeruk sumber daya alam bauksit di luar konsesi yang dimilikinya. Foto: Dok. RPHK

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dinilai belum maksimal dalam menjalankan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Mineral dan Batubara oleh KPK pada 21-22 Mei 2014 lalu.

Relawan Pemantau Hutan Kalimantan (RPHK) menyatakan pelaksanaan rekomendasi Korsup Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjalan sangat lamban. “Fakta ini dapat dilihat dari kewajiban perusahaan pertambangan membayarkan dana jaminan reklamasi sebagai komitmen kesungguhan perusahaan dalam mengembalikan kondisi sosial dan lingkungan pasca-eksploitasi pertambangan,” kata Liu Purnomo, juru bicara RPHK di Pontianak, Senin (2/3/2015).

Data yang dihimpun RPHK, dari 42 izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar), Cornelis, baru satu perusahaan yang telah menjaminkan dana jaminan reklamasinya dengan total Rp67.818.615. Sementara, 41 IUP lainnya belum memenuhi kewajiban mengembalikan kondisi sosial dan lingkungan pasca-eksploitasi pertambangan.

Namun, secara detil, dana jaminan reklamasi tersebut ternyata hanya Rp466.107 per hektarnya (total konsesi IUP seluas 145,5 hektar) dari nilai Rp67.818.615. Dan jika dikalkulasikan kembali maka harga Rp466.107 ini setara dengan 35 batang bibit karet. Dengan asumsi, satu batang bibit seharga Rp14 ribu.

Akibatnya, lanjut Liu, kerusakan sosial dan lingkungan pasca-pertambangan harus ditanggung oleh pemerintah daerah dan merugikan keuangan daerah sendiri karena perusahaan abai melakukan reklamasi. Lokasi-lokasi bekas tambang pun tidak dapat dipergunakan lagi karena tandus dan tinggi kandungan racun.

RPHK menilai, hal ini merupakan bentuk ketidakpedulian Pemerintah Provinsi Kalbar terhadap komitmen pengembalian kerusakan lingkungan oleh perusahaan. “Perusahaan pemegang IUP juga sama sekali tidak serius dalam melakukan reklamasi pasca-penambangan,” tambah Liu.

Dia mengatakan, perusahaan pemegang IUP hanya berorientasi mengejar keuntungan sebesar-besarnya. “Pada akhirnya hanya mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Pemerintah daerah sama sekali tidak tegas dalam memaksa perusahaan untuk menjaminkan dana kesungguhan yang sepadan dengan kerusakan sosial dan lingkungan yang terjadi,” katanya.

Maka, baik Pemprov Kalbar maupun pelaku usaha, mengabaikan Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2010 tentang reklamasi pasca-tambang, yang menjelaskan bahaya kerusakan lingkungan jangka panjang dari usaha pertambangan serta kewajiban bagi setiap orang/perusahaan yang melakukan penambangan untuk melakukan reklamasi.

Aturan ini mewajibkan pelaku usaha menyusun rencana reklamasi, menyimpan jaminan reklamasi, dan melakukan pelaporan secara berkala kepada pemerintah. “Aturan ini mengikat bagi setiap IUP baik yang dilaksanakan oleh perorangan maupun badan usaha,” paparnya. Secara umum, biaya pemulihan secara langsung maupun tidak langsung mencapai 1,5 sampai 2 kali biaya produksi.

Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menyatakan sudah berlaku tegas dalam menindaklanjuti Korsup Komisi Pemeberantasan Korupsi. Bentuk tindakan tegas ini adalah pencabutan izin bagi palaku usaha yang dianggap tidak serius dalam berinvestasi.

Hingga 2 Februari 2015, Gubernur Kalbar Cornelis telah mencabut 24 IUP dari 66 total IUP yang pernah dikeluarkan. Semua wilayah konsesi izin usaha pertambangan yang telah dicabut itu harus dikembalikan kepada negara. Dalam surat keputusan itu, disebutkan pula bahwa semua kewajiban kepada pemerintah yang belum dipenuhi dan atau belum dilaksanakan oleh perusahaan yang dicabut izinnya, wajib diselesaikan oleh perusahaan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Sumber: Diolah dari 24 Surat Keputusan Pencabutan IUP oleh Gubernur Kalbar hingga 2 Februari 2015

Sumber: Diolah dari 24 Surat Keputusan Pencabutan IUP oleh Gubernur Kalbar hingga 2 Februari 2015

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Duh! Dana Jaminan Reklamasi Pasca-tambang di Kalimantan Barat, Sehektar Setara 35 Batang Bibit Karet was first posted on March 5, 2015 at 2:49 am.
Viewing all 2624 articles
Browse latest View live