Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 2467 articles
Browse latest View live

Sampai Kapan Carut Marut Pertambangan di Kabupaten Donggala Dipertahankan?

$
0
0

Masalah pertambangan di Donggala hingga kini masih suram. Belum ada titik terang penyelesaiannya. Foto: Syarifah Latowa

Banyaknya kasus pertambangan di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, makin memperjelas carut-marutnya pengelolaan sumber daya alam di daerah itu. Hal ini mengemuka dalam diskusi yang dilakukan Mongabay Indonesia dengan sejumlah lembaga non-pemerintah di Palu, Sulawesi Tengah, akhir Februari 2015 lalu.

Relawan untuk Orang dan Alam (ROA) mengatakan bahwa perizinan di sektor pertambangan di Kabupaten Donggala semuanya melompati prosedur. Seharusnya perizinan dimulai dari penyesuaian ruang, pelibatan masyarakat, keterbukaan informasi, pelelangan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), pemenang tender WIUP, pengusulan WIUP menjadi izin usaha pertambangan (IUP), di mana peran masyarakat sangat besar dalam penentuan dan pengelolaan potensi sumber daya alam yang ada di wilayahnya.

“Karena dianggap sebagai objek ‘formalitas’ maka masukan dari masyarakat saat sosialisasi terkait investasi pertambangan hanya sebatas ditampung dan didengarkan. Sehingga, apa yang sebenarnya menjadi  tawaran untuk melindungi hak-hak termasuk peran melakukan pengawasan oleh masyarakat selalu diabaikan,” kata Givent, Koordinator Riset dan Kampanye ROA.

Menurutnya, kondisi ini terbukti ketika Masyarakat Batusuya melakukan pertemuan dengan Camat Sindue Tombusabora, Dinas ESDM kabupaten Donggala, Direktur PT. Mutiara Alam Perkasa (MAP), dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat tanggal 22 Agustus 2013. Dalam pertemuan tersebut masyarakat meminta penghentian aktivitas perusahaan yang tidak diperpanjang izinnya.

Namun pada 21 Oktober 2014, justru keluar SK Nomor 88.45/0665/DESDM/2014 tentang perubahan diktum kedua SK Bupati Nomor 188.45/0243/DESDM/2010 tertanggal 22 April 2010 yang intinya melakukan perpanjangan satu tahun kepada perusahaan.

Hingga saat ini, ada dua perwakilan komunitas yang melakukan permintaan  informasi terkait perkembangan izin dan persoalan pertambangan lainnya. Namun, sampai hari ini mereka belum mendapatkan tanggapan dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait informasi yang ada di Kabupaten Donggala.

“Padahal, dalam amanat Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan semua SKPD membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang  menyediakan informasi berkala, serta-merta, setiap saat dan dikecualikan. Yang seharusnya dokumen dan laporan terkait pengelolaan pertambangan di Kabupaten Donggala adalah infromasi publik bukan dirahasiakan.”

Perempuan penambang tradisional tergusur

Ida Ruwaida, dari Solidaritas Perempuan (SP) Palu mengatakan, pertambangan yang kini masuk ke Kabupaten Donggala hanya meminggirkan perempuan dari ruang kelola mereka. Hal ini terjadi di Desa Loliyoge, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Di desa itu ada tujuh perusahaan tambang galian C. Bahkan, ada yang izin operasinya sudah habis namun tetap melakukan produksi. Warga melakukan protes. Kini tersisa empat perusahaan tambang.

“Namun, berhembus isu bahwa akan ada lagi perusahaan yang masuk dan sedang dalam tahap pembuatan jalan. Termasuk akan memasuki wilayah pegunungan yang dikeramatkan warga di Donggala,” ungkap Ida.

Ida mengatakan, sebelum perusahaan tambang masuk, sebagian besar perempuan juga mengelola tambang secara tradisional. Para ibu-ibu bekerja sebagai pemecah batu, dan di waktu lainnya juga bekerja di kebun. Ketika perusahaan masuk, ibu-ibu kehilangan pekerjaan. Kebun yang digarap menjadi kering. Sementara suami mereka yang direkrut perusahaan untuk bekerja, banyak yang tidak bertahan lama karena sistem yang diterapkan.

“Di Kabupaten Donggala, ibu-ibu banyak yang tidak lagi memecah batu secara tradisional. Mereka ada yang memilih menjadi buruh perusahaan dengan upah rendah, dan ada juga yang menjadi tukang cuci kain di Kota Palu.”

Permasalahan tambang di Donggala sampai saat ini tidak hanya menyisakan persoalan dengan masyarakat tetapi juga masih tumpang tindih wilayahnya. Foto: Erna Dwi Lidiawati

Givent dari ROA menambahkan, beberapa perusahaan di Kabupaten di Donggala dalam kurun waktu limatahun terakhir sudah ditinggalkan pemiliknya karena memang sudah tidak ada aktif lagi. Akan tetapi, beberapa perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat seperti PT. Cahaya Manunggal Abadi yang ada di Desa Malei dan PT. Mutiara Alam Perkasa yang diduga melakukan kegiatan penambangan ilegal di Desa Batusuya tidak ditertibkan oleh pemerintah.

Muhamad Rifai Hadi, Koordinator Advokasi Jatam Sulteng, mengatakan saat ini mereka akan melaporkan PT. Mutiara Alam Perkasa ke Ombudsman Sulawesi Tengah. Laporan ini nantinya akan mengatas-namakan koalisi pengacara. Laporan ini dibuat karena menurut Biro Hukum Pemerintah Kabupaten Donggala, berdasarkan hasil legal opinion yang mereka buat, mengungkapkan bahwa perusahaan tambang PT. Mutiara Alam Perkasa tidak melakukan pertambangan ilegal, namun hanya melakukan mal administrasi.

“Jika laporan ke Ombudsman dimenangkan, ini menjadi pintu masuk untuk mempidanakan perusahaan tambang tersebut dan juga Bupati Donggala, Kasman Lassa,” ujar Rifai Hadi.

Moratorium pertambangan

Berdasarkan data peta sebaran IUP Kabupaten Donggala 2011 yang dikeluarkan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XVI Palu, tercatat ada 45 IUP dari 70 IUP Pertambangan yang menguasai 111.074 hektar lahan. Dan, 45 IUP tersebut tumpang tindih dengan 86.065 hektar kawasan hutan: 6.278 hektar hutan konservasi (HK), 445 hektar hutan lindung, dan 79.342 hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan produksi yang bisa di Konversi.

“Di Kabupaten Donggala ada 45 IUP yang tidak membayarkan dana jaminan reklamasi ketika pengurusan IUP.  Artinya, masih banyak perusahaan yang tidak taat hukum,” kata Givent.

Polemik tata kelola sumber daya alam di Donggala tersebut menurut ROA memerlukan kebijakan moratorium perizinan pertambangan. Karena moratorium yang dilakukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya tidak efektif, hanya sebulan yakni dari Agustus-September 2014.  Dari hasil moratorium itu, tujuh izin usaha perusahaan dicabut.

“Kami apresiasi usaha yang dilakukan pemerintah daerah, tapi entah kenapa justru perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat seperti PT. Cahaya Manunggal Abadi dan PT. Mutiara Alam Perkasa di tidak dicabut. Untuk itu, kami mengusulkan opsi moratorium pertambangan.”

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Sampai Kapan Carut Marut Pertambangan di Kabupaten Donggala Dipertahankan? was first posted on March 5, 2015 at 10:20 am.

Upaya Terakhir Penyelamatan Badak Sumatera

$
0
0

Andatu, anak badak sumatera yang lahir di SRS Way Kambas, foto diambil pada 7 Februari 2015. Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI & TFCA-Sumatera.

Memaksimalkan kelahiran badak sumatera di penangkaran menjadi satu-satunya cara paling memadai untuk menyelamatkan spesies berusia 20 juta tahun ini dari kepunahan total. Benarkah?

Di masa lalu, badak sumatera berkeliaran di hutan-hutan di India, Bangladesh, Myanmar, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Tiongkok. Namun, menjelang pertengahan abad ke-20, populasinya menyusut drastis karena hilangnya habitat dan diburu untuk diambil culanya. Permintaan akan cula badak ini awalnya berasal dari kepercayaan umum yang menyatakan bahwa cula badak mengandung obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

Seperti yang dilansir dari Harian Daily Express Malaysia, kombinasi berbagai faktor telah menyebabkan menyusutnya badak sumatera mulai dari minimnya pengetahuan tentang populasi badak dan status reproduksi di alam liar, praktik kurang berhasilnya proses reproduksi di pusat penangkaran, upaya konservasi yang belum efektif, dan tidak ada pengembangan program pembiakan yang efektif di pusat-pusat penangkaran.

Para peneliti satwa liar memperkirakan, saat ini hanya ada kurang dari 100 badak sumatera yang tersisa di dunia. Populasinya saat ini sebagian besar ada di Pulau Sumatera dan hanya sedikit sekali yang tersisa di Sabah, Malaysia. Sementara, di Semenanjung Malaysia, spesies ini diperkirakan benar-benar sudah punah meskipun belum diakui secara resmi.

Dalam 30 tahun terakhir, lebih banyak badak sumatera yang mati dibandingkan yang lahir, baik di alam liar maupun di penangkaran. Tercatat, antara 1984 hingga 1995, ada 22 badak sumatera yang ditangkap di Semenanjung Malaysia dan di Sabah untuk proyek penangkaran.

Namun, tidak ada satupun yang beranak pinak di penangkaran tersebut. Semuanya mati, kecuali satu ekor yang memang sudah hamil saat ditangkap. Kini, populasi badak yang tersisa di Malaysia hanyalah badak jantan bernama Tam dan dua betina bernamaPuntung dan Iman.

 

Iman, badak sumatera betina ketika di Lembah Danum, Sabah, Malaysia. Foto: Sabah Wildlife Department

 

Ketiga badak ini ditangkap dari alam liar di Sabah antara 2008 hingga 2014, yang saat ini berada di Borneo Rhino Sanctuary (BRS) di Tabin Wildlife Reserve, di bawah perawatan Borneo Rhino Alliance (BORA), sebuah organisasi non-pemerintah yang dikembangkan di bawah arahan Sabah Wildlife Department. Sayangnya, baik Puntung maupun Iman memiliki masalah saluran patologi reproduksi yang parah, mungkin karena mereka mengalami masa-masa sulit tidak berkembang biak di alam liar dalam waktu yang lama.

Meski begitu, keduanya masih memproduksi oosit, yang merupakan sel-sel yang membentuk telur yang kemudian dapat dibuahi oleh sperma.

Untuk menyelamatkan badak-badak terakhir ini dari kepunahan, Sabah Wildlife Department and BORA bekerja sama dengan Leibniz Institute for Zoo and Wildlife Research (IZW) dari Jerman dan Profesor Cesare Galli, dari Laboratorium Avantea di Italia, berupaya untuk memproduksi embrio badak sumatera di laboratorium tersebut dengan menggunakan Advanced Reproductive Techniques (ART). Sepertinya, ART merupakan cara terbaik untuk menumbuhkan populasi badak sumatera di penangkaran.

Dibandingkan dengan teknik inseminasi buatan tradisional yang memompa jutaan sperma ke dalam rahim badak betina, teknik yang sudah teruji untuk hewan-hewan peliharaan atau injeksi sperma intraseluler ini, mampu memaksimalkan kesempatan pembuahan telur dengan menyuntikkan satu sperma yang paling layak menjadi oosit tunggal. Embrio yang dihasilkan kemudian ditanamkan ke badak betina untuk menjadi janin melalui kehamilan normal.

 

Iman, satu dari tiga badak sumatera tersisa yang masih ada di Malaysia. Foto: John Payne/BORA

 

Menurut Datuk Dr. Junaidi Payne, Direktur Eksekutif BORA, semua badak sumatera yang ada di penangkaran harus disatukan dalam dua atau tiga fasilitas perawatan intensif, di mana penggunaan gamet (sel yang diproduksi oleh organisme untuk tujuan reproduksi seksual) dapat dimaksimalkan.

“Kita berpacu dengan waktu untuk menghasilkan gamet dari badak di sini untuk digunakan dalam fertilisasi in-vitro. Serta, mengawetkan gamet dengan dibekukan dan baris stem sel dalam kurun 2014-2017,” katanya.

Direktur Sabah Wildlife, William Baya, mengatakan bahwa melalui ART setiap individu badak dapat dimaksimalkan untuk membantu menyelamatkan spesies ini.

“Mengingat, spesies ini benar-benar di ambang kepunahan, Sabah Wildlife Department berkomitmen mendukung program penangkaran badak sumatera dengan menggunakan teknologi ART. Ini cara terbaik yang kita miliki. Pada prinsipnya, kami siap mendukung Indonesia melestarikan satwa ini, jika diminta.”

Dato Dr. Dionysius Sharma, CEO dan Direktur Eksekutif WWF-Malaysia, yakin bahwa program ART bisa menyelamatkan badak sumatera dari kepunahan. “Solusi inovatif diperlukan untuk mengangkat kembali populasi badak sumatera terancam punah. Lebih dari seabad lalu, badak afrika juga terancam punah dan dipindahkan ke pusat konservasi berupa tanah luas yang dipagar, serta penangkaran yang dilakukan terhadap bison eropa. Kami berharap dapat melakukan yang sama terhadap badak sumatera,” ujarnya.

 


Upaya Terakhir Penyelamatan Badak Sumatera was first posted on March 6, 2015 at 12:41 am.

Ini Sikap Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat: APP Pembohong!

$
0
0
Sejumlah aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat menggelar aksi damai di sekitar Kantor Bank Sinarmas Pontianak, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

Sejumlah aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat menggelar aksi damai di sekitar Kantor Bank Sinarmas Pontianak. Foto: Andi Fachrizal

Solidaritas atas kematian Indra Pelani, anggota Serikat Tani Tebo di Provinsi Jambi oleh Satuan Pengamanan (Satpam) PT. Wira Karya Sakti (Asia Pulp and Paper) kian meluas. Dari aksi damai di seputaran Bank Sinarmas hingga pemboikotan pertemuan APP dengan parapihak di Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (5/3/2015).

Di persimpangan Jalan Veteran – Gajahmada Pontianak, puluhan aktivis yang menamakan dirinya Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat menggelar aksi damai. Di depan kantor milik Bank Sinarmas Pontianak itu, mereka berorasi sambil membentang spanduk yang berisi kecaman terhadap Asia Pulp and Paper.

APP adalah grup besar sejumlah perusahaan sektor industri ekstraktif (perkebunan dan hutan tanaman) yang tersebar di berbagai wilayah di Asia, termasuk Indonesia. Di Kalimantan Barat, ada belasan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman di bawah bendera Sinarmas yang menjadi bagian dari grup rekanan APP.

Pada Jumat (27/2/2015), anggota Serikat Petani Tebo (SPT) Indra Pelani (21) ditemukan tewas setelah diculik dan dianiaya aparat keamanan PT Wira Karya Sakti. Drama horor di konsesi anak perusahaan APP ini pun mendapat kecaman.

 

Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat mengecam keras tindakan brutal APP yang menyebabkan kematian. Foto: Andi Fachrizal

Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat mengecam keras tindakan brutal APP yang menyebabkan kematian. Foto: Andi Fachrizal

 

Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat, Hendrikus Adam, dengan tegas mengecam keras tindakan brutal APP. “Kita mengecam tindakan penghilangan nyawa seseorang. Itu adalah bagian dari pelanggaran besar hak asasi manusia (HAM),” katanya saat berorasi di depan Bank Sinarmas, Kamis (5/3/2015).

Dia mendesak Komnas HAM melakukan penyelidikan secara menyeluruh terkait kasus yang terjadi dan memastikan pihak kepolisian Jambi mengusut tuntas tindak penganiayaan hingga penghilangan nyawa tersebut.

“Kami juga minta presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mewakili negara untuk memberikan jaminan perlindungan dan penegakan HAM. Sebagai lembaga yang memberi izin kepada perusahaan, harus bertanggung jawab terhadap tindak pelanggaran HAM yang terjadi,” kata Adam.

Lebih jauh, koalisi masyarakat sipil juga menuntut agar pihak kelompok perusahaan APP di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat menghentikan praktik pengamanan di wilayah konsesinya yang berwatak militeristik. “Kita juga boikot dan meminta Pertemuan APP di Pontianak dibubarkan,” ujarnya.

Selain itu, mereka menolak segala bentuk praktik buruk maupun tindak kekerasan APP melalui tangan pihak manapun beserta segenap anak perusahaannya di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat. “Kami mengajak segenap komponen masyarakat agar berhenti menjadi bagian dalam sikap omong kosong usaha perbaikan atas nama keberlanjutan perusahaan APP selama ini.”

 

Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat menuntut APP bertanggung jawab atas kematian Indra Pelani, anggota Serikat Petani Tebo, Jambi dan memboikot pertemuan multipihak APP di Pontianak. Foto: Andi Fachrizal

Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat menuntut APP bertanggung jawab atas kematian Indra Pelani, anggota Serikat Petani Tebo, Jambi dan memboikot pertemuan multipihak APP di Pontianak. Foto: Andi Fachrizal

 

Pada saat yang sama, Link-AR Borneo dan Sampan Kalimantan semula menghadiri pertemuan multipihak yang digagas APP di Hotel Orchardz Pontianak. Pertemuan itu terfokus pada perumusan rencana aksi restorasi dan konservasi hutan di Lansekap Kubu.

Namun, kedua lembaga tersebut hadir sekadar memenuhi undangan dan membacakan sikap sebagaimana dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat. Kedua lembaga itu lantas walkout dari ruang pertemuan sebagai simbol pemboikotan APP di Kalimantan Barat.

Baik Sampan Kalimantan maupun Link-AR Borneo menilai, APP masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan seperti dalam kasus Jambi. LSM di Kalbar juga menegaskan, hilang pohon masih bisa ditanam kembali, tapi hilang nyawa seseorang tak bisa diganti.

 


Ini Sikap Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat: APP Pembohong! was first posted on March 6, 2015 at 4:25 am.

Kematian Petani di Tebo, Jambi Akibat Konflik Lahan Berkepanjangan?

$
0
0

Konsesi pemasok APP di Sumatera. Foto: Rhett A. Butler

Kematian anggota Serikat Petani Tebo (SPT) Jambi, Indra Pelani (23) menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak. Di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), aksi solidaritas ini ditunjukkan Mahasiswa Hijau Indonesia (MHI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Jumat ( 6/3/2015) di kawasan simpang lima DPRD. Selain mengutuk, mereka menuntut pemerintah segera menyelesaikan kasus tanah yang menjadi biang persoalan.

Dedek Chaniago, dari  MHI, mengatakan mahasiswa dan pelajar di Sumsel mengutuk keras tindak penganiayaan dan pengeroyokan oleh oknum keamanan perusahaan terhadap petani.

“Tindakan kriminal yang dilakukan oleh oknum keamanan perusahaan tak boleh dipisahkan dengan konflik lahan yang terjadi di sana. Karena peristiwa yang terjadi ini merupakan satu rangkaian yang tidak berdiri sendiri-sendiri,” tegas Dedek kepada Mongabay Indonesia, Jumat (06/03/2015).

Dedek menyatakan mahasiswa dan pelajar di Sumsel menyerukan dua hal kepada pemerintah. Pertama, mengusut tuntas kematian Indra, menyeret pembunuhnya ke meja hijau, dan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelakunya.

Kedua, meminta Presiden Jokowi turun tangan secepatnya menyelesaikan sengketa lahan antara masyarakat Desa Lubuk Madrasah, Kabupaten Tebo, Jambi dengan PT. Wira Karya Sakti (WKS).

“Kematian Indra tak bisa dilepaskan dari konflik lahan yang terjadi selama ini. Perusahaan tak boleh arogan, sedangkan masyarakat desa harus dilindungi dan diberi pemahaman. Konflik ini harus segera diselesaikan agar peristiwa serupa yang menyedihkan tak menjadi teror bagi masyarakat di kemudian hari,” tegas Dedek.

Sebelumnya, dugaan yang sama disampaikan Walhi Sumsel melalui siaran persnya, (05/03/2015). Kematian Indra Pelani merupakan buntut dari konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PT. Wira Karya Sakti, perusahaan milik Asia Pulp and Paper (APP), yang telah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada penyelesaian dari pemerintah. Tragedi tewasnya petani yang memperjuangkan lahannya yang dirampas PT. WKS bukanlah yang pertama karena pada Agustus 2010 lalu, Ahmad Adam (45) petani Tanjung Jabung, tewas ditembak anggota Brimob Polda Jambi, yang sedang melakukan pengamanan terhadap konsesi perusahaan PT. WKS yang berkonflik dengan masyarakat setempat.

Walhi Sumsel mengutuk keras atas perbuatan biadab dan tidak berperikemanusian yang dilakukan pasukan pengamanan PT. WKS terhadap Indra Peilani. Walhi Sumsel juga meminta Polda Jambi bekerja serius dengan tidak hanya menghukum pelaku pembunuhan tetapi juga otak di balik kejadian.

Selain itu Komnas HAM kami desak untuk berperan aktif melakukan penyidikan atas kasus ini yang diduga terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan perusahaan melalui pihak keamanan perusahaan.

Menurut Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, perusahaan milik APP dalam praktik penguasaan lahan tidak hanya bermasalah di sektor agraria dan kemanusian. Tetapi juga melakukan kejahatan terhadap lingkungan hidup, seperti kebakaran hutan dan lahan di Riau, Jambi, dan Sumatera selatan.

“Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dapat mengevaluasi segala perizinan APP yang ada di Indonesia. Salah satunya di Sumsel dan mencabut izin perusahaan APP yang bermasalah baik yang melakukan kejahatan kemanusiaan maupun agraria dan lingkungan hidup,” katanya.


Kematian Petani di Tebo, Jambi Akibat Konflik Lahan Berkepanjangan? was first posted on March 7, 2015 at 2:58 am.

7 Serangga yang Membuat Anda Berdecak Kagum

$
0
0

Serangga merupakan makhluk hidup yang paling mudah kita lihat di lingkungan sekitar. Bisa jadi, karena ukuran tubuhnya yang imut, kita sering mengabaikan kehadirannya.

Berikut, terangkum dari berbagai sumber, tujuh serangga yang akan membuat Anda berdecak kagum karena penampilannya yang mempesona. Penasaran?

 

1. Lalat Lebah

Lalat lebah sedang bersiap memakan sari bunga. Sumber: Conceptart.org

Serangga mungil ini berasal dari keluarga Bombyliidae. Meskipun mereka secara teknis adalah lalat, namun penampilan serangga ini bahkan perilakunya mirip lebah. Cukup fair jika  sering disebut sebagai lalat lebah. Lalat lebah ada di hampir semua tempat seluruh dunia dalam berbagai variasi; dan mungkin kita pernah melihatnya sekali waktu, namun menduganya sebagai lebah.

Lalat lebah Anastoechus nitidulus (gambar di atas) adalah salah satu lalat dengan penampilan yang ‘manis’. Lalat ini sama sekali tidak berbahaya. Jika beruntung, kita bisa mengambil fotonya saat sedang makan serbuk sari bunga dan nektar.

 

 

2. Ulat Hello Kitty

Ulat ini memiliki wajah seperti karakter animasi Hello Kitty. Sumber: Designyoutrust.com

Serangga ini sebenarnya ulat dari kupu-kupu Bush Brown China (Mycalesis gotama). Tapi, bentuk wajahnya cukup familiar dengan karakter animasi Jepang “Hello Kitty”. Belum banyak studi mengenai ulat ini, meskipun kemunculannya cukup menghebohkan Jepang dan bahkan dunia beberapa waktu lalu.

 

 

3. Serangga Elvis Presley

Serangga ini mirip Elvis Presley. Foto: Darlyne Murawski/Nat Geo Stok/Caters News

Darlyne Murawski, sang fotografer, terkejut setelah menemukan wajah Elvis Presley di punggung seekor serangga kecil,  dengan tanda-tanda di punggungnya yang menyerupai mata manusia, hidung, mulut, dan gaya rambut klasiknya. Satwa yang bau ini kemudian dijuluki “Serangga Perisai Elvis Presley” karena kemiripannya dengan raja rock ‘n’ roll tersebut.

Darlyne asal Massachusetts, Amerika, ini melihat serangga kecil Pentatomoidea yang juga dikenal sebagai serangga perisai raksasa, secara kebetulan, saat berada di Cagar Alam Khao Chong di Thailand selatan. Satwa ini sebelumnya juga ditemukan di hutan Singapura. Media setempat justru menjulukinya Bert, salah satu karakter serial animasi Sesame Street. 

 

 

4. Ulat Bulu Kucing

Ulat bulu ini laksana kucing karena bulu-bulunya. Sumber: Mothphotographersgroup.msstate.edu

Inilah ulat Megalopyge opercularis,  yang sering disebut sebagai “Puss Caterpillar” karena bulu-bulunya yang panjang mirip kucing. Saat mencapai usia dewasa, sekitar satu inci, ulat kucing ini akan tampak mengembang dengan bulu panjang coklat keabu-abuan, dan kadang kekuningan.

Namun, jangan terburu-buru mengelusnya karena ia beracun, seperti tertusuk, meski tak sampai mematikan. Puss caterpillar ini hanya menunjukkan diri dua kali dalam setahun di habitat aslinya di Florida yaitu saat musim gugur dan semi.

 

 

5. Ngengat Burung Kolibri

Jangan salah, ngengat ini sekilas menyerupai burung kolibri. Sumber: Wikimedia.org

Sekilas, kita mungkin beranggapan bahwa makhluk ini adalah burung kolibri yang sedang menghisap madu. Namun,  jika dilihat lebih dekat, ternyata ini adalah seekor ngengat. Ngengat yang mirip burung kolibri ini (Hemaris thysbe) dapat melayang serta memiliki belalai panjang menyerupai paruh.

Satwa ini bisa ditemukan di daerah beriklim hangat seperti di Eropa Selatan, Afrika Utara, bahkan di Amerika Utara hingga Alaska yang dingin. Ngengat ini aktif di siang hari. Kemiripannya dengan Kolibri disebut sebagai contoh evolusi konvergen yaitu ketika spesies yang berbeda berevolusi untuk memiliki sifat-sifat yang sama karena kondisi lingkungan mereka.

 

 

6. Ulat Kepala Alien

Ulat ini memiliki bentuk kepala menyerupai alien. Sumber: Socialphy.com

Ulat lebih rentan dimangsa oleh predator daripada saat sudah menjadi kupu-kupu. Hal inilah yang membuat banyak ulat mengembangkan berbagai cara pertahanan diri, termasuk penampilannya yang menakutkan bagi calon pemangsa. Ulat hijau ini ditemukan di Filipina dan di kepala bagian depannya terdapat mata kamlufase berukuran cukup besar, sehingga seolah membuat penampilannya seperti hewan dengan kepala besar dan menakutkan.

Ulat bernama ilmiah Daphnis nerii yang dalam Bahasa Inggris disebut Oleander hawk-moth, bisa ditemukan di Afrika dan sebagian Asia. Saat menjadi kupu-kupu, satwa ini bermigrasi terutama di musim panas, menuju Eropa bagian selatan dan timur hingga Turki.

 

 

7. Ulat Berpenampilan Ular

Inilah ulat berpenampilan ular. Sumber: I.dailymail.co.id

Inilah salah satu bentuk kamuflase mengangumkan dari spesies serangga untuk melindungi diri dari para pemangsa. Deilephila elpenor, adalah ngengat raksasa dari keluarga Sphingidae. Spesies ini bisa ditemukan di Inggris dan Irlandia yang panjangnya mencapai 75 mm dengan warna tubuh hijau dan coklat.

Ketika terancam, ulat ini menarik tubuh bagian depannya ke arah tengah, dan membentuk postur yang menyerupai ular dengan kepala besar dan bulatan hitam yang menyerupai mata yang besar. Predator utama mereka adalah burung, namun biasanya burung menghindar (setidaknya untuk beberapa waktu) saat ulat ini ber’pose’ seperti ular.

 


7 Serangga yang Membuat Anda Berdecak Kagum was first posted on March 7, 2015 at 4:47 am.

Ketika Lagu Hutan Tropis Menyentuh Hati Masyarakat Sumatera Selatan

$
0
0

Hutan Indonesia yang begitu kaya akan keanekaragaman hayatinya. Foto: Rhett Butler

Ingat dengan Hutan Tropis Band? Grup musik yang hadir karena galau terhadap pesoalan lingkungan hidup di Sumatera Selatan dan Indonesia?

Perlahan, lagu bertema cinta lingkungan yang diusung musisi muda asal Kota Palembang ini telah menyentuh hati masyarakat Sumatera Selatan. Tak terkecuali Alex Noerdin, Gubernur Sumatera Selatan. Secara langsung, Alex mengapresiasi karya musik yang bercerita alam semesta ini dan berharap masyarakat Sumatera Selatan bangga dengan kehadiran grup musik Hutan Tropis.

“Nah, bagus sekali. Album ini, sebaiknya produksinya diperbanyak lagi. Kalau bisa setiap warga Sumatera Selatan mendapatkannya,” kata Alex Noerdin seusai menerima CD Album Hutan Tropis berwarna coklat, dan selembar poster yang bertuliskan “Kabut Asap Jangan Terulang. Jaga Hutan dan Lahan Gambut”, dari Jemi Delvian, vokalis Hutan Tropis.

Sebelum menerima album dan poster tersebut, Alex menikmati dua lagu berjudul “Bumi Bukan Hanya Hari Ini” dan “Kekasih Cantik Berperahu” yang ditampilkan Hutan Tropis saat acara pencanangan “Gerakan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut 2015” di Desa Sungai Baung, Kecamatan Air Sugihan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Selasa (03/03/2015) lalu.

Alex berharap lagu-lagu milik Hutan Tropis seperti Bujang Gambut, Kepak Semesta, Bumi Bukan Hanya Hari Ini, Kebun Terakhir, Kekasih Cantik Berperahu, Rain Forest, Kincir, dan Beri Kami Sedikit Tanah, mampu membangun kesadaran warga Sumatera Selatan yang mencapai 8,4 juta jiwa untuk menjaga lingkungan hidup. Khususnya, hutan dan lahan gambut.

Terhadap keinginan Alex Noerdin tersebut, Jemi Delvian, mengucapkan terima kasih. “Kami memang punya rencana pentas di 20 titik. Saat ini sudah manggung di dua tempat, yang intinya selain menghibur juga mengkampanyekan persoalan kebakaran hutan dan lahan gambut. Kami ingin Indonesia, khususnya Sumatera Selatan (Sumsel), ke depan, bebas dari kebakaran hutan dan lahan gambut. Meskipun itu tidak gampang, tapi kita harus bersatu memperjuangkannya,” kata Jemi, yang didampingi Herwin Meidison (gitar), Andi Achmad (gitar), David Wibowo (bas), dan Iftah Auladi (drum).

Alex Noerdin dan Jemi Delvian saat bersama mengkampanyekan "Kabut Asap Jangan Terulang. Jaga Hutan dan Lahan Gambut." Foto: Jimi Pieter

Alex Noerdin dan Jemi Delvian saat bersama mengkampanyekan “Kabut Asap Jangan Terulang. Jaga Hutan dan Lahan Gambut.” Foto: Jimi Pieter

Kabut asap memberi pelajaran

Sebelumnya dalam sambutannya, Alex Noerdin mengatakan, Sumsel memperoleh banyak pelajaran terkait bencana kabut asap yang terjadi selama ini. Tahun ini, Sumsel melakukan gerak cepat jangan sampai bencana kabut asap kembali terjadi dan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat, aktivitas pendidikan, transportasi, bahkan menganggu sektor perdagangan dan ekonomi. Sumsel tak ingin dikenal sebagai daerah produsen asap, dan Indonesia dicitrakan sebagai pengekspor asap ke negara tetangga.

“Gerakan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan ini harus memberi aksi nyata. Tahun 2015 ini, Indonesia menargetkan bebas asap, zero burning. Khusus Sumsel, kita mulai dari sekarang,” ujar Alex Noerdin.

Alex mengatakan, pemerintah bersama perusahaan dan masyarakat Sumsel harus bekerja sama mencegah kebakaran hutan dan lahan. Perusahaan dapat melaksanakan program pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan dan lahan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI). Dengan penguatan perekonomian masyarakat dan pelibatan mereka dalam gerakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan (Gerkarhutlah), kebakaran hutan dan lahan yang 90 persen diakibatkan oleh kesalahan dan kelalaian manusia dapat dicegah sejak awal.

Gerkarhutlah sejalan dengan pengarahan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang disampaikan pertengahan Januari lalu, di Griya Agung, Palembang. Saat pertemuan dengan kepala daerah di Sumsel, pengusaha perkebunan dan HTI, Siti Nurbaya mengatakan strategi penanggulangan kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 memiliki dua dimensi, yakni pencegahan dan penegakan hukum.

Hutan Tropis Band saat mengkampanyekan peduli lingkungan melalui musik pada acara Gerakan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut 2015. Foto: Jimi Pieter

Hutan Tropis Band saat mengkampanyekan peduli lingkungan melalui musik pada acara Gerakan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut 2015. Foto: Jimi Pieter

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Ketika Lagu Hutan Tropis Menyentuh Hati Masyarakat Sumatera Selatan was first posted on March 8, 2015 at 12:22 am.

Nasib Bondol Hari Ini…

$
0
0
Bondol jawa. Foto: Asep Ayat

Bondol jawa. Foto: Asep Ayat

Bondol merupakan salah satu jenis burung yang paling senang mengunjungi pekarangan atau lingkungan tempat tingal kita. Hadirnya burung ini, selain meramaikan pagi tentunya memberikan nuansa alami yang saat ini mulai sulit kita dapatkan di sekitar permukiman.

Bondol haji (Lonchura maja) misalnya, bila bertandang ke pekarangan akan paling segera bertengger di pohon palem merah yang sekaligus akan digunakannya sebagai sarang. Sementara di alam, ia kerap mengunjungi padang rumput terbuka dan areal persawahan. Burung berkepala putih ini memiliki gaya menggemaskan saat terbang. Yaitu, naik dan turun dalam kecepatan rendah.

Sementara bondol peking (Lunchura punctuala) menyukai kebun dan semak belukar. Burung dengan bagian bawah tubuh putih dan bersisik coklat pada dada ini memiliki goyangan maut pada ekornya saat mendarat. Tingkah lakunya juga lincah dan tidak mau diam.

 

Bondol peking. Foto: Asep Ayat

Bondol peking. Foto: Asep Ayat

Johan Iskandar, Guru Besar Etnobiologi Universitas Padjadjaran (Unpad) menjelaskan, kita patut bersyukur bila burung liar masih rajin bertandang ke lingkungan kita. Pasalnya, burung tidak hanya berfungsi sebagai indikator alami kualitas lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat ekologis.

Secara ekologi, burung membantu penyerbukan tanamam, menebarkan biji, hingga berperan sebagai pengendali ulat. “Sebagai indikator alami keasrian lingkungan artinya adalah hadirnya burung tersebut menunjukkan kualitas udara di lingkungan kita masih sejuk dan sehat,” jelas Johan, Sabtu (7/3/2015).

Sayang, keberadaan bondol di alam mulai terdesak. Beradasarkan penelitian Johan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, sungai terpanjang di Jawa Barat, sebelum era 1970-an, populasi jenis bondol seperti bondol haji, bondol oto-hitam (Lonchura ferruginosa), dan bondol jawa (Lonchura leucogastroides) sangat melimpah jumlahnya. Mereka hidup dalam kelompok besar hingga ratusan ekor.

 

Bondol haji. Foto: Asep Ayat

Bondol haji. Foto: Asep Ayat

Namun, saat ini, terutama bondol haji dan bondol oto-hitam terus berkurang. Bahkan, pada beberapa tempat di DAS Citarum, jenis ini mulai sulit ditemukan. Menurut Johan, ada dua faktor penyebabnya.

Pertama, keracunan pestisida. Pasalnya, bondol merupakan burung pemakan biji-bijian, yang lazim mencari makan dan bersarang di sawah. Kedua, diburu dengan cara dijaring untuk diperdagangkan di pasar burung. “Berdasarkan pengalaman saya, jenis-jenis bondol dengan jumlah banyak, disimpan berjejal di sangkar untuk diperdagangkan di pasar burung. Kasihan sekali,” ujarnya.  

Padahal, menurut Johan, rumahnya para burung liar itu ya alam. Bukan sangkar. “Memelihara burung yang baik itu adalah dengan cara merawat lingkungan dan menjaga habitatnya dari kerusakan. Keliru besar bila ditangkap.”  

Selain bondol haji, peking, jawa, dan oto-hitam, jenis bondol lain yang biasa kita lihat adalah rawa, taruk, tunggir-putih, kalimantan, dan perut putih. Secara keseluruhan ukuran mereka sekitar 11 cm. Ciri khasnya adalah hidup berkelompok besar maupun kecil, serta sangat menyukai daerah persawahan dan pinggiran sungai.

 

Bondol jawa ini masih bisa kita lihat di Kebun Raya Bogor. Foto: Asep Ayat

 


Nasib Bondol Hari Ini… was first posted on March 8, 2015 at 12:42 am.

Pengembangan Wisata di Kepulauan Derawan, Akankah Mengancam Konservasi Penyu?

$
0
0
Tukik yang siap dilepasliarkan, yang berasal dari telur-telur yang dipindahkan petugas BKSDA, agar tidak dicuri atau dimakan hewan di Pulau Sangalaki, Kalimantan Timur. Foto: Aseanty Pahlevi

Tukik yang siap dilepasliarkan, berasal dari telur-telur yang dipindahkan petugas BKSDA Seksi Berau, agar tidak dicuri atau dimakan hewan di Pulau Sangalaki, Kalimantan Timur. Foto: Aseanty Pahlevi

Pulau Derawan. Di pulau ini, sebagian keindahan pantai Indonesia tergambarkan. Eksotisme matahari dipadu dengan birunya air laut, serta pasir yang putih di bibir pantainya. Airnya yang bening, menampakkan warna-warni biota laut di dalamnya. Di pulau ini juga terdapat penyu sisik dan penyu hijau.

Guna menikmati keindahan pantai Pulau Derawan, dibutuhkan waktu sekitar 2,5 jam perjalanan dari Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, menggunakan speedboat.

Sebenarnya, kawasan tersebut dinamakan Kepulauan Derawan. Pasalnya, tak hanya Pulau Derawan yang terdapat di hamparan laut Kalimantan Timur tersebut. Terdapat 31 pulau di sana, yang masing-masing pulau memiliki karakteristik sendiri. Selain Derawan, pulau lain yang terkenal di antaranya Kakaban, Sangalaki, Meratus, Panjang, dan Semama.

Selain keindahan pantainya, pesona pulau yang masuk wilayah Kabupaten Berau ini, makin lengkap dengan keberadaan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Mereka hidup di wilayah konservasi yang luasnya mencapai 285,266 hektar. Konservasi penyu sisik dan hijau ini berdasarkan SK Bupati Berau No 516 tahun 2013.

Di kawasan ini pula, pengunjung dapat melihat 460 jenis terumbu karang beraneka warna. Jumlah terumbu karang di Pulau Derawan terbanyak kedua di Indonesia, setelah Raja Ampat di Papua Barat. Di Derawan juga, ditemukan lebih dari 870 jenis ikan.

Bahkan, tak jauh dari Pulau Derawan, tepatnya di Pulau Kakaban, terdapat danau yang berisi ribuan ubur-ubur tanpa sengat. Selain di Kakaban, ubur-ubur tanpa sengat hanya bisa dijumpai di Pulau Palau, bagian Kepulauan Mikronesia, yang terhampar di Samudra Pasifik.

Salah seorang wisatawan yang melihat penyu selesai bertelur di Pulau Derawan. Foto: Aseanty Pahlevi

Seorang wisatawan yang melihat penyu selesai bertelur di Pulau Derawan. Foto: Aseanty Pahlevi

Souvenir sisik penyu

Memasuki Pulau Derawan, pengunjung akan langsung melihat gerbang bertuliskan ucapan selamat datang. Sebelum gerbang ini, terdapat jejeran kios yang menjajakan souvenir khas Pulau Derawan.

Salah satu souvenir yang ditawarkan adalah cincin dan gelang yang terbuat dari sisik penyu. Aksesoris ini harganya beragam, dari Rp5 ribu hingga Rp25 ribu. “Ini dari sisik penyu apa? Penyu kan dilindungi, Bu,” tukas Andrie Perdana Putra (27), seorang pengunjung. “Ini diambil dari penyu yang tidak dilindungi. Kalau penyunya mati, sisiknya diambil,” jelas ibu penjual aksesoris tersebut datar.

Karena ragu, Andrie urung membeli aksesoris tersebut. “Kalau saya beli, dan ternyata ini penyu dilindungi, di Bandara saya bisa kena masalah,” ujarnya. Gelang dan cincin tersebut digrafir nama Pulau Derawan. Ibu penjual cinderamata tersebut meyakinkan, aksesoris tersebut hanya terdapat di Pulau Derawan, dan dia menjamin tidak dijual di tempat lain. Selain itu, mereka juga menjual tirai, tempat tisu, asbak dan aksesoris dari kerang.

Sebelumnya, Dwi Suprapti, Koordinator Konservasi Spesies Laut WWF Indonesia Program Kalimantan Barat, mengatakan upaya penghentian eksploitasi telur penyu di Kabupaten Berau membutuhkan waktu yang cukup lama, “Yakni pada tahun 1998 –2005. Namun demikian, jerih payah tersebut tampaknya memberikan hasil yang cukup signifikan bagi pemulihan populasi di wilayah ini,” katanya.

Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membebaskan Berau dari eksploitasi telur penyu merefleksikan kompleksitas masalah pemanfaatan telur penyu laut di wilayah ini. Salah satunya adalah, ketergantungan pemerintah daerah setempat akan pendapatan asli daerah (PAD) dari pelelangan telur penyu.

Pulau Derawam yang tidak hanya indah tetapi juga kaya akan biota laut. Sumber: Wikipedia.org

Konservasi

Dalam konteks populasi penyu, Dwi mengatakan, hasil pemantauan selama 12 tahun di Pulau Sangalaki menunjukkan bahwa populasi penyu di wilayah ini masih mengalami penurunan meski relatif rendah. Fenomena ini agak mengejutkan mengingat eksploitasi masif telur penyu sebelum periode 2002.

“Bisa dipastikan, pemenang lelang saat itu “tak mampu” mengambil seluruh telur penyu. Sehingga, masih terjadi penetasan telur penyu yang selanjutnya berkembang menjadi penyu-penyu dewasa,” ujar Dwi.

Kegiatan konservasi Program Kelautan WWF Indonesia di Kabupaten Berau menunjukkan, di Pulau Derawan sejak Juni 2003 hingga Mei 2014, berhasil dilakukan penyelamatan 2.141 sarang telur penyu dari ancaman perburuan dan menetaskan tukik sejumlah 138.549 ekor. Di Pulau Sangalaki sejak 2002 hingga 2014 juga telah menyelamatkan 40.407 sarang telur dan menghasilkan tukik sejumlah 1.665.024 ekor.

Sedangkan di Pulau Mataha dan Bilang-bilangan sejak 2011 hingga Mei 2014 berhasil menyelamatkan 8.327 dan 19.692 sarang telur dengan jumlah tukik yang menetas sejumlah 416.258 dan 1.109.144 ekor.

Dengan demikian, upaya konservasi yang dilakukan sejak periode 2002 hingga 2014 di Berau berhasil memproduksi tukik sejumlah 3.328.925 ekor. Rekapitulasi pemantauan ini, dituangkan dalam laporan “Status populasi penyu dan upaya konservasinya di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang disusun oleh Dwi Suprapti, Windia Adnyana dan Rusli Andar (2014).

Terkait masalah perburuan di Kepulauan Derawan, Lipo, Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seksi Berau, Provinsi Kalimantan Timur yang bertugas di Pulau Sangalaki, mengakui hal tersebut. Menurutnya, Pulau Sangalaki dihuni penyu hijau, sisik, dan belimbing. “Selain telur, karapasnya diambil untuk cinderamata,” katanya.

Intensitas kedatangan penyu untuk bertelur di pantai Sangalaki saat ini, menurut Lipo, jauh menurun dibandingkan sepuluh tahun silam. “Sebelumnya, bisa 30 hingga 60 ekor yang naik ke pantai untuk bertelur,” ujarnya.

Lipo menyatakan, nelayan asing juga kerap melakukan perburuan terhadap penyu-penyu yang terancam punah tersebut. Tahun lalu, petugas bahkan sempat menemukan puluhan ekor penyu mati terjaring di jala nelayan yang dicurigai nelayan asing.

 


Pengembangan Wisata di Kepulauan Derawan, Akankah Mengancam Konservasi Penyu? was first posted on March 10, 2015 at 12:42 am.

Sampah Plastik dan Jaring, Ancaman Serius Kehidupan Pesut di Kalimantan

$
0
0

Pesut atau lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Foto: WWF

Sampah plastik merupakan ancaman utama kehidupan mamalia air terutama pesut, yang dapat menyebabkan kematian di Kalimantan. Diperkirakan, 60 hingga 80 persen sampah tersebut berasal dari daratan.

Danielle Kreb, dari Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI) mengatakan, sampah plastik merupakan persoalan yang mengganggu. “Plastik ini lama terurai dan kerap dianggap makanan oleh mamalia air. Tidak hanya itu, sampah plastik juga dapat menjadi racun,” jelasnya.

Berdasarkan pengalaman Danielle menangani pesut mahakam yang mati, setelah diotopsi, ternyata di lambung satwa dilindungi itu berisi pempers bayi. “Butiran jelinya yang memenuhi lambung, membuat pesut tersebut tidak bisa makan apapun sehingga mati,” ujarnya pada kegiatan Bimbingan Teknis Penanganan Mamalia Laut Terdampar, di Kubu Raya, Kalimantan Barat, Rabu (4/3/2015). Bahkan, menurutnya, beberapa mamalia air termasuk pesut, menganggap sampah plastik itu ubur-ubur sehingga disantap.

Danielle melanjutkan, di kasus lain, ditemukan juga gumpalan jaring nelayan di lambung pesut yang mati terdampar. Kematian ini semakin melengkapi ancaman kehidupan pesut dari perburuan dan alih fungsi hutan atau rawa yang mengakibatkan sedimentasi atau endapan di dasar sungai. “Kadang, pesut ditangkap dan dibunuh khusus untuk dijadikan umpan hiu.”

Pesut di Kalimantan Barat

Pesut juga ditemukan di Kalimantan Barat. Habitat mamalia dilindungi ini terdata di perairan Kubu Raya. Dwi Suprapti, Koordinator Konservasi Spesies Laut WWF Indonesia Program Kalbar mengatakan, keberadaan pesut di Kabupaten Kubu Raya sering dijumpai oleh nelayan.

Para nelayan sering menemukan mamalia ini di sekitar perairan bakau Padang Tikar, Teluk Nuri, kanal-kanal bakau Selat Sih, pesisir pantai hingga perairan payau, hutan bakau dan nipah di perairan Batu Ampar. “Spesies ini sering datang ke untuk bermain, beristirahat, atau mencari makan,” jelas Dwi.

Pesut diotopsi untuk dicari penyebab kematiannya. Foto: Hendar

Tahun 2011, Tim Survei WWF Indonesia bekerja sama dengan Badan Pengembangan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak berhasil mempelajari dan mendokumentasikan keberadaan lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) ini di perairan Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Hasilnya, dengan jarak survei sekitar 248 km dan 26 jam pengamatan selama 5 hari, beberapa pesut berhasil dideteksi di perairan payau hutan bakau dan nipah serta di Batu Ampar.

“Keberadaan pesut, sering dijadikan indikator oleh nelayan untuk mencari ikan. Dimana ada pesut, biasanya ada ikan, udang-udangan, dan cumi. Walau tidak diburu, tetapi pesut dan nelayan sama-sama berburu ikan, udang, dan cumi. Sehingga, penangkapan ikan yang tidak lestari akan menyebabkan pesut kehilangan sumber makanan.

Dwi mengatakan, saat ini ancaman terhadap kondisi ekosistem perairan cukup tinggi. Limbah pestisida perkebunan sawit, sampah, sedimentasi sungai akibat kegiatan pertambangan, dan pembangunan menjadi ancaman tersendiri bagi pesut di Kubu Raya. Selain itu, perairan di Kubu Raya juga berfungsi sebagai jalur transportasi sungai yang menghubungkan pemukiman, seperti dari Pontianak ke Sukadana dan Ketapang dan sebaliknya. “Kapal-kapal pengangkut kayu serta bauksit yang mempunyai tonase besar menjadi salah satu ancaman bagi habitat pesut.”

Menurut Dwi, berdasarkan hasil penelitian WWF-Indonesia Program Kalbar 2012-2013, sedikitnya sekitar 10 pesut terjaring dalam kurun waktu tersebut, selain empat individu dugong.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Sampah Plastik dan Jaring, Ancaman Serius Kehidupan Pesut di Kalimantan was first posted on March 11, 2015 at 3:27 am.

Bila Mamalia Laut Terdampar, Apa yang Harus Dilakukan?

$
0
0

Paus bungkuk di Alaska. Foto: Rhett A. Butler

Perairan Indonesia merupakan salah satu habitat sekaligus sebagai jalur migrasinya mamalia laut. Fenomena terdamparnya mamalia laut yang terkadang berujung pada kematian harus disikapi serius. Mengingat, dari 90 jenis mamalia laut yang ada di dunia, 33 jenisnya ada di Indonesia.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Darmawan, mengatakan, bimbingan teknis penanganan mamalia laut terdampar, yang dilanjutkan dengan pembentukan jejaring tugas penanganan mamalia laut terdampar penting dilakukan. Terlebih, kondisi perairan Indonesia yang kian padat, ditambah dengan bertaburnya sampah, dan perburuan menyebabkan kehidupan mamalia laut terancam.

“Harus ada gugus terdepan di lokasi mamalia laut kerap terdampar. Jejaring ini yang bergerak melakukan penanganan awal. Sehingga, mamalia bisa diselamatkan dan dirilis kembali ke habitatnya,” ujar Agus, saat membuka Bimbingan Teknis Mamalia Laut Terdampar, di Pontianak, Rabu (4/3/2015).

Agus mengatakan, mamalia laut dari kelompok paus, lumba-lumba, dan dugong, saat ini berstatus terancam punah menurut kategori IUCN Redlist. Paus dan lumba-lumba merupakan kelompok akuatik yang sering terdampar di pantai-pantai Indonesia.

Tindakan

Koordinator Spesies Laut WWF Indonesia, Dwi Suprapti, mengatakan jika menemukan mamalia laut yang terdampar maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mendekati mamalia tersebut secara hati-hati. “Hindari daerah mulut dan ekor. Lindungi lubang nafas dan matanya dari pasir atau benda-benda asing lainnya, termasuk air. Jika mamalia tersebut berada di air, bopong dan berikan sokongan agar terapung,” kata Dwi.

Berikutnya, lindungi sirip agar tidak patah. “Sirip terdiri dari tulang rawan, sehingga rentan patah. Jika patah mamalia tersebut tidak bisa berenang,” tambahnya.

Jika terdamparnya di pasir, gali lah pasir di bagian bawah sirip dada dan badan. Lalu, isi lubang tersebut dengan air. Hal ini untuk mengurangi tekanan gravitasi, karena tulang dada mamalia juga rentan. Gunakan matras sebagai alas.

Untuk menghindari stres, hindari banyak orang di sekeliling mamalia terdampar itu. Stres bisa menyebabkan kematian pada mamalia. Jika terkena terik matahari, mamalia yang terdampar harus dilindungi. Selanjutnya, saat mengangkat ke tandu, sirip harus ditekus sejajar tubuh, tetapi jangan dipaksa. “Saat pelepasan, kepalanya harus mengarah ke laut. Jika menggunakan kapal sisi kain tandu yang dibuka di bagian yang jauh dari kapal. Sehingga, saat berenang mamalia ini tidak menabrak kapal,” tambahnya.

Dwi menambahkan, ada beberapa kode yang dapat diberikan pada mamalia laut yang terdampar ini. Kode 1, artinya hewan masih hidup (alive). Kode 2, hewan baru saja mati dan belum ada pembangkakan (fresh dead). Kode 3, bangkai mulai membangkak (moderate decomposition), Kode 4, bangkai sudah membusuk (advance decomposition). Kode 5, bangkai sudah menjadi kerangka (severe decomposition). “Kode ini untuk memudahkan pelaporan, dalam bentuk SMS, MMS atau aplikasi komunikasi lainnya,” tukas Dwi.

Dalam bimbingan teknis tersebut, dibentuk pula jejaring tugas penyelamatan mamalia laut terdampar regional Kalimantan dengan Balai Pengelola Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak selaku koordinator kegiatan.

“Kecepatan dan ketepatan penanganan berkontribusi besar terhadap keselamatan mamalia laut yang terdampar. Setiap komponen, bertugas untuk mempercepat penanganan dan penyelamatan mamalia laut yang terdampar,” terang  Iwan Taruna Alkadrie, Kepala Seksi BPSPL Pontianak.

Lumba-lumba yang tertangkap bycatch, merupakan ancaman tersendiri bagi kelestarian satwa laut ini. Foto: WWF_Indonesia


Bila Mamalia Laut Terdampar, Apa yang Harus Dilakukan? was first posted on March 12, 2015 at 2:09 am.

Duh! Hiu Paus Seberat Dua Ton Mati Terperangkap Jaring Nelayan di Perairan Kalbar

$
0
0

Seekor hiu paus yang diselamatkan dari jaring di perairan Raja Ampat Papua beberapa waktu lalu. Spesies ini dilindungi melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2013. Foto: CI/Mark Edmann

Seekor hiu paus terperangkap dan mati dalam jaring nelayan di Desa Sungai Nyirih, Kecamatan Selakau, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar). Warga memerkirakan, berat badan satwa dengan nama Latin Rhincodon typus ini mencapai dua ton.

Peristiwa tersebut mulai tersiar di jejaring sosial Facebook pada Minggu (8/3/2015) pukul 21.05 WIB. Kala itu, pemilik akun Pri Haryo mengunggah sebuah foto sekumpulan orang sedang membelah ikan raksasa dengan corak kulit berbintik. “Hiu terperangkap di jaring nelayan Kurang lebih 2 ton bertempat di selakau (kampung somel),” tulis Pri Haryo.

Tak banyak yang merespon postingan foto di jejaring sosial itu. Bahkan, hingga Kamis (12/5/2015) pukul 11.37 WIB, tercatat hanya 33 netizen yang menyukai, dan 20 komentar yang berasal dari lima netizen.

Mongabay Indonesia di Pontianak mencoba menelusuri kebenaran foto yang diunggah pemilik akun tersebut. “Benar Pak, hiu itu terperangkap di jaring nelayan di kampung saya. Tapi saya tidak tahu siapa nama nelayannya,” kata Pri Haryo melalui selularnya, Rabu (11/5/2015).

Dia memerkirakan, nelayan mengalami kesulitan untuk melepas ikan berukuran besar itu dari jaringnya. Oleh karenanya, tidak ada pilihan lain kecuali menarik ikan dalam jaring tersebut hingga ke bantaran sungai di perkampungan. Sesampai di darat, ternyata hiu paus tersebut sudah lemas dan mati.

“Saya hanya mendengar kalau dagingnya mau dijual ke pasar untuk mengganti biaya kerusakan jaring nelayan, tapi tak laku. Makanya, dagingnya dibagi-bagikan ke warga sekitar. Itu pun banyak yang menolak. Warga di sini rata-rata tak mau makan ikan hiu. Akhirnya, ikan itu membusuk dan dibuang kembai ke sungai,” urai Pri Haryo.

Dia menjelaskan, mayoritas warga di desanya bermata pencarian sebagai nelayan dengan alat tangkap jaring tarik (pukat). Biasanya, warga mulai melaut pada pagi hari dan pulang sore. Mereka mencari ikan di kedalaman laut empat sampai enam meter. “Entahlah bagaimana ceritanya sampai hiu itu terperangkap jaring. Apakah nyasar atau gimana saya pun tak tahu,” ucapnya.

Pri Haryo memastikan bahwa kejadian seperti ini baru kali pertama di kampungnya. “Saya pun kaget, karena lokasi ikan ini ditambat di tepi sungai tak jauh dari rumah. Saya lihat ada belasan orang yang coba membalikkan badan ikan ini supaya naik ke darat. Tapi tak bisa. Akhirnya dibelah di tepi sungai,” ucapnya.

Perairan laut Kalbar memang merupakan salah satu jalur migrasi hiu paus. Hal ini pernah disampaikan oleh Dwi Suprapti, Koordinator Spesies Laut WWF Program Kalbar, saat hiu paus terkena jaring nelayan di perairan laut sekitar Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak, Kalbar, medio Mei 2013 lalu. “Monitoring  dan penelitian hiu paus di Indonesia, sudah dilakukan WWF bersama parapihak sejak 2010,” jelasnya.

Inilah penampakan hiu paus (Rhincodon typus) di Desa Sungai Nyirih, Kecamatan Selakau, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Foto: Dok. Pri Haryo

Beginilah nasib hiu paus (Rhincodon typus) di Desa Sungai Nyirih, Kecamatan Selakau, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Foto: Dok. Pri Haryo

Hiu paus dilindungi

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia telah menetapkan hiu paus sebagai jenis ikan yang dilindungi secara penuh melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2013. Keputusan ini dikeluarkan ketika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selaku pemegang otoritas keilmuan memberikan rekomendasi perlindungan penuh hiu paus pada 2012.

KKP juga melansir bahwa penelitian jenis hiu ini masih minim lantaran sulitnya mempelajari siklus hidupnya yang cenderung migrator dan soliter. Namun diperkirakan jumlahnya makin berkurang dikarenakan ikan ini mudah tertangkap secara tidak sengaja (bycatch) oleh nelayan karena ukurannya yang besar dan gerakannya yang lambat. Saat ini hiu paus masuk dalam Appendiks II CITES dan juga termasuk dalam daftar merah IUCN dengan kategori Rentan (Vulnerable).

Hiu paus memiliki karakter yang spesifik seperti berumur panjang, fekunditas rendah, jumlah anakan sedikit, lambat dalam mencapai matang kelamin, dan pertumbuhannya lambat, sehingga sekali terjadi over eksploitasi, sangat sulit bagi populasinya untuk kembali pulih.

Hiu paus adalah predator tingkat trofik tinggi dalam ekosistem pesisir dan lautan terbuka. Manfaat dari penetapan status perlindungan penuh ikan ini adalah untuk menjaga keseimbangan ekosistem (rantai makanan) perairan laut, menjaga kelestarian biota laut langka (eksotik), menjaga nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan dan lingkungan secara berkelanjutan, serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat melalui pengembangan pariwisata bahari berbasis hiu paus.

Sebaran hiu paus du dunia saat ini. Sumber: Jurnal Global Change Biology 2013

 


Duh! Hiu Paus Seberat Dua Ton Mati Terperangkap Jaring Nelayan di Perairan Kalbar was first posted on March 12, 2015 at 7:08 am.

22 Izin Usaha Pertambangan Bermasalah di Aceh Dicabut, Bagaimana Lainnya?

$
0
0

Meski 22 IUP bermasalah telah dicabut, namun masih ada 65 IUP yang berada di hutan lindung dan empat IUP berada di kawasan konservasi di Aceh yang masih operasi. Foto: Rhett Butler

Gubernur Aceh Zaini Abdullah pada Oktober 2014 telah mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Aceh Nomor 11/INSTR/2014 mengenai Moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara. Dalam ingub disebutkan, moratorium tambang akan dilaksanakan selama dua tahun, hingga Oktober 2016, terhitung sejak intruksi diterbitkan. Zaini juga melarang bupati dan walikota di Aceh memberikan izin usaha pertambangan (IUP) logam dan batubara. Mereka diminta mengevaluasi semua kegiatan pertambangan yang ada dan mencabut IUP yang tidak aktif.

Menindaklanjuti intruksi tersebut, sejumlah kabupaten/kota di Aceh telah mencabut 22 IUP perusahaan yang tidak aktif maupun yang tidak memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, Said Ikhsan, membenarkan tentang pencabutan IUP tersebut. Menurutnya, secara rinci perusahaan itu berada di Kabupaten Nagan Raya (9), Aceh Jaya (7), Aceh Barat (4), Pidie (1), dan Kota Subussalam (1). “Pemerintah Aceh juga membentuk tim khusus dalam memantau pertambangan yang terdiri dari unsur pemerintah, pemerhati lingkungan, dan lembaga swadaya masyarakat,” jelasnya di Banda Aceh, Kamis (12/03/2015).

Menurut Said Ikhsan, saat ini masih terdapat 116 IUP. Target kedepan, hanya 80 IUP saja yang beroperasi. “Kami yakin, pemerintah kabupaten/kota akan terus mencabut izin perusahaan yang tidak aktif maupun tidak memberikan pendapatan untuk daerah,” ujarnya.

Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani, menyambut baik pencabutan IUP bermasalah itu. Menurutnya, seluruh dinas teknis yang terlibat dalam ingub harus serius menjalankan kewajibannya. “Kami akan mengawal sejauh mana Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) bekerja,” ujarnya.

Meski begitu, Askhalani tetap wanti-wanti terkait 65 perusahaan tambang yang terindikasi masih berada di hutan lindung serta empat perusahaan yang masuk kawasan konservasi di Aceh. Fakta tersebut berdasarkan Surat Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Nomor S.702/VII-PKH/2014 tertanggal 10 Juli 2014. “Hasil analisis melalui overlay data izin bidang pertambangan dengan peta kawasan hutan di Aceh didapatkan empat perusahaan yang arealnya terindikasi di hutan konservasi (31.316,12 hektar) dan 65 perusahaan yang arealnya berada kawasan hutan lindung (399.959,76 hektar).”

Menurut Askhalani, dengan adanya 69 perusahaan tambang yang arealnya masuk dalam kawasan hutan lindung dan konservasi di Aceh, ini membuktikan, pemberian izin untuk pertambangan banyak masalah. “Kami menduga, banyak izin pertambangan di Aceh yang diberikan karena unsur politis atau karena terjadi suap,” ujarnya.

Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, juga mendesak Gubernur Aceh segera mencabut izin perusahaan tambang yang masuk dalam kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi tersebut. Berdasarkan data yang dikumpulkan Walhi Aceh, banyak perusahaan tambang yang tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan dari Kementerian Kehutanan yang kini menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“IUP perusahaan tambang itu harus segera dicabut, karena mereka melanggar aturan. Jika tidak dicabut, perusahaan tersebut tidak hanya merusak hutan Aceh, tapi juga melakukan kejahatan lingkungan,” ungkapnya.

Daftar 22 perusahaan tambang di Aceh yang IUP nya dicabut. Sumber: GeRAK Aceh

Daftar 22 perusahaan tambang di Aceh yang IUP nya dicabut. Sumber: GeRAK Aceh

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


22 Izin Usaha Pertambangan Bermasalah di Aceh Dicabut, Bagaimana Lainnya? was first posted on March 13, 2015 at 3:04 am.

Tidak Hanya Menyuarakan Lingkungan, Hutan Tropis Band juga Upayakan Penghijauan Berbasis Ekonomi dan Pendidikan

$
0
0

Menjaga kelestarian alam merupakan wujud tanggung jawab dan kepedulian kita bersama. Foto: Rhett Butler

Meski usianya relatif muda, Hutan Tropis Band, kelompok musik asal Palembang, tidak hanya berkampanye lingkungan hidup melalui musik, yang telah mendapatkan apresiasi dari pemerintah Sumatera Selatan. Hutan Tropis juga melakukan upaya penghijauan berbasis ekonomi masyarakat dan pendidikan. Langkah ini diwujudkan melalui penanaman pohon gaharu di Desa Bintuhan, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.

“Langkah awal, kita melakukan penanaman seribu pohon gaharu. Jika tumbuh subur, penanaman berikutnya akan dilakukan di sejumlah lahan milik masyarakat yang belum tergarap,” kata Jemi Delvian, Vokalis Hutan Tropis, Minggu (08/03/2015).

Pohon gaharu ini, kata Jemi, selain menjadi penghijuan, juga ke depannya menjadi sumber ekonomi masyarakat dan sebuah pondok pesantren yang tengah dibangun di Desa Bintuhan. Pondok Pesantren (ponpes) Hidayatullah.

Pohon gaharu yang ditanam ini merupakan sumbangan dari pegiat pemberdayaan ekonomi masyarakat Armaizal dan Bastoni dari Balai Penelitian Kehutanan Palembang. “Selain penanaman pohon gaharu akan dilakukan juga pengembangan pertanian berbasis pangan dan sayuran, terutama di pondok pesantren,” ujar alumni Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta ini.

 

Penanaman pohon garahu dilakukan tidak hanya sebagai penghijauan tetapi juga sebagai sumber ekonomi masyarakat Bintuhan, Kota Agung Lahat, Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya

Penanaman pohon garahu dilakukan tidak hanya sebagai penghijauan tetapi juga sebagai sumber ekonomi masyarakat Bintuhan, Kota Agung Lahat, Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya

Konser amal

Pondok Pesantren Hidayatullah akan dibangun di atas lahan seluas dua hektar, wakaf dari warga Bintuhan. Rencananya, selain dibangun ruang belajar, asrama santri, masjid, perpustakaan, juga dijadikan perkebunan, perikanan, dan peternakan.

Pondok pesantren ini akan tumbuh menjadi pondok pesantren yang mandiri, yang dihidupi dari hasil pertanian, perikanan, dan peternakan. “Para santrinya tidak akan dipungut biaya. Justru, mereka selain mendapatkan ilmu, juga akan menghasilkan uang, sebagai persiapan hidup setelah lulus,” ujar Jemi.

“Gotong-royong masyarakat Desa Bintuhan telah menghasilkan masjid, perkebunan cabai dan kedelai. Ini upaya luar biasa. Kita pantas mendukungnya,” kata Jemi.

“Untuk itu, Hutan Tropis akan melalukan konser amal, yang tujuannya berupa penggalangan dana atau bentuk dukungan lainnya. Kami percaya, banyak pihak yang akan peduli,” kata Jemi.

Kapan konser amal tersebut dilakukan? “Ya, secepatnya, mungkin April atau Mei 2015 ini. Dalam melaksanakan program ini kita juga akan merangkul berbagai pihak, sehingga mampu membangun kesadaran lingkungan bersama,” ujarnya.

 

Kebun cabai sebagai penyokong kemandirian ekonomi. Foto: Taufik Wijaya

Kebun cabai sebagai penyokong kemandirian ekonomi. Foto: Taufik Wijaya

Harus bangga

Rencana Hutan Tropis ini didukung Syamy Syamsul Huda, pegiat lingkungan hidup dari PINUS Sumatera Selatan.

“Saya yakin, upaya Hutan Tropis akan mendapat dukungan. Baik dari kalangan pegiat lingkungan hidup, masyarakat, pemerintah, maupun pelaku usaha. Ini upaya positif,” katanya.

Sementara pegiat pemberdayaan ekonomi masyarakat Armaizal menilai Hutan Tropis merupakan wujud baru dari gerakan lingkungan hidup di Indonesia. “Mereka tidak hanya punya karya musik yang bagus, tetapi juga memiliki visi dan agenda kerja yang sangat baik dalam membangun dan memberdayakan masyarakat. Hutan Tropis melihat persoalan lingkungan hidup bukan hanya dari kacamata konservasi, namun melalui pendidikan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat,” ujarnya.

“Saya pikir, Pemerintah Sumatera Selatan (Sumsel) harus mendukung langkah ini. Sehingga, ke depan Sumsel bukan hanya bebas dari kebakaran, tapi juga masyarakat desanya berpendidikan dan sejahtera,” ujarnya.

 

Tanaman kedelai yang juga dipersiapkan sebagai penyokong kemandirian ekonomi. Foto: Taufik Wijaya

Tanaman kedelai yang juga dipersiapkan sebagai penyokong kemandirian ekonomi. Foto: Taufik Wijaya

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Tidak Hanya Menyuarakan Lingkungan, Hutan Tropis Band juga Upayakan Penghijauan Berbasis Ekonomi dan Pendidikan was first posted on March 14, 2015 at 1:06 am.

Kemarau Datang, Petani Aceh Besar Potong Padi untuk Pakan Ternak

$
0
0

Akibat kemarau dan banjir, petani di Aceh harus gigit jari karena gagal panen. Foto: Rhett Butler

Akibat kemarau, petani di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, terpaksa memotong padinya untuk pakan ternak. Hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko kerugian gagal panen.

Rasyid, Petani Peukan Bada, Aceh Besar menuturkan, ia terpaksa menjual padinya yang mulai layu untuk pakan ternak lantaran tidak ada cara lain. “Untuk setiap sawah seluas 2.500 meter persegi, kami menjualnya seharga 200 – 300 ribu rupiah,” tuturnya belum lama ini.

Begitu juga dengan Muliadi, Petani Peukan Bada, yang mengaku sudah tidak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan padinya yang mengering. “Selain sawah, irigasi yang biasanya menjadi andalan petani untuk pengairan juga kering. Satu-satunya cara adalah padi dipotong dan dijual sebagai pakan ternak, meski per karungnya dihargai 20 ribu rupiah” ujarnya.

Sementara Munadi, Petani Lampisang, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, hanya pasrah menerima kejadian ini. Menurutnya, tahun 2014 lalu, dia sudah menanam padi dua kali dalam setahun yang berujung kegagalan akibat kemarau dan banjir. “Kini, padi juga tidak bisa dipanen akibat kemarau, padahal sudah berbuah. Terpaksa dipotong untuk pakan ternak,” jelasnya.

 

Petani di Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, terpaksa memotong padinya dan dijual untuk pakan ternak akibat kemarau. Foto: Junaidi Hanafiah

Petani di Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, terpaksa memotong padinya dan dijual untuk pakan ternak akibat kemarau. Foto: Junaidi Hanafiah

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Hermanto, awal Maret lalu mengatakan jumlah produksi padi di Aceh 2014 hanya 1,8 juta ton dari target awal 2,2 juta ton. Menurutnya, penyebab tidak tercapainya target tersebut adalah bencana banjir dan kemarau yang terjadi. “Akan sulit mencapai swasembada beras di 2015 jika kondisinya seperti ini.”

Kendala lain yang dihadapi petani, menurutnya, adalah mereka belum bisa menanam padi dua kali dalam setahun karena masalah air. Ini dikarenakan banyak persawahan yang belum terhubung dengan irigasi. “Karena itu, kami setuju dengan Pemerintah Aceh untuk fokus membangun irigasi tahun ini,” jelasnya.

M. Nur, Direktur Walhi Aceh, menyebutkan kekeringan dan banjir yang menyambangi Aceh sepanjang 2014 dan kemarau di awal 2015 ini akibat maraknya pembukaan hutan untuk perkebunan dan areal pertambangan. “Akibat hutan dibuka tanpa kendali maka kala kemarau terjadi kekeringan dan saat penghujan banjir tidak dapat dielakkan. Kejadian ini membuat masyarakat khususnya petani menderita. Padahal yang melakukan perusakan hutan adalah pemilik lahan perkebunan dan pertambangan.”

M. Nur menambahkan, parahnya, saat ini jika terjadi hujan maka sejumlah daerah di Aceh akan banjir karena hutan sudah tidak mampu menahan dan menyimpan debit air. “Ini karena hutan telah dirusak. Segelintir orang yang berbuat kerusakan maka semua masyarakat yang menjadi korban. Kalau sudah begini, kepada siap petani mengadu? Siapa yang harus bertanggung jawab?” tanyanya.

 

Harga padi gagal panen yang dijual untuk pakan ternak ini per karungnya dihargai 20 ribu rupiah. Foto: Junaidi Hanafiah

Harga padi gagal panen yang dijual untuk pakan ternak ini per karungnya senilai 20 ribu rupiah. Foto: Junaidi Hanafiah

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Kemarau Datang, Petani Aceh Besar Potong Padi untuk Pakan Ternak was first posted on March 14, 2015 at 1:40 am.

Foto: Pesona Alam Aceh dari Berbagai Sisi

$
0
0
Pacuan kuda tradisional di Danau Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Pacuan kuda tradisional di Danau Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Aceh merupakan provinsi paling barat Indonesia yang tidak hanya memiliki pesona alam yang mengagumkan, tetapi juga sarat akan sejarah.

Di Aceh, terdapat jejak bencana mahadahsyat tsunami 26 Desember 2004 yang tergambar dalam Museum Tsunami dan  terdamparnya Kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung berbobot 2.600 ton di permukiman penduduk Kota Banda Aceh.

 

Museum Tsunami Aceh, bukti sejarah dahsyatnya bencana yang terjadi pada Desember 2004 lalu. Foto: Rahmadi Rahmad

Museum Tsunami Aceh, bukti sejarah dahsyatnya bencana yang terjadi pada Desember 2004 lalu. Foto: Rahmadi Rahmad

Museum Tsunami Aceh yang padat dikunjungi setiap akhir pekan. Foto: Junaidi Hanafiah

Museum Tsunami Aceh yang padat dikunjungi setiap akhir pekan. Foto: Junaidi Hanafiah

PLTD Apung, yang berada di tengah permukiman Desa Punge Blang Cut, Kecamatan Meuraksa, Kota Banda Aceh, menunjukkan betapa dahsyatnya kejadian tsunami sepuluh tahun lalu. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Di Aceh juga, kita dapat menemukan wisata religi yang terlihat dari keindahan Mesjid Raya Baiturrahman hingga jejak sejarah perjuangan masyarakat Aceh melawan penjajahan Belanda sejak tahun 1873.

Aceh juga memiliki panorama wisata pantai indah yang terbentang mulai Aceh Timur, Aceh Utara, Sabang, Singkil, hingga Simeulu. Semua wisata ini, tidak akan habis dijelajahi dalam waktu sepekan.

 

Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Kuburan Jenderal Kohler dan sejumlah prajurit Belanda lainnya yang tewas ditangan masyarakat Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Kuburan Jenderal Kohler dan sejumlah prajurit Belanda lainnya yang tewas ditangan masyarakat Aceh pada masa penjajahan Belanda. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Bagi yang tidak menyukai pantai, Aceh juga memiliki pesona alam pada sungai hingga hutan seperti Ulu Masen dan Leuser yang cukup luas untuk ditaklukkan. Begitu juga dengan gunung yang menggoda untuk didaki mulai dari Gunung Seulawah, Peut Sagoe, Burni Telong hingga Leuser dengan karakteristiknya yang berbeda.

Di wilayah tengah Aceh, ada juga danau Lut Tawar yang tidak kalah cantiknya dengan danau-danau lain di Indonesia. Dipadu dengan kehidupan masyarakat di sekitar danau yang sangat menjaga budaya mereka, makin lengkaplah keindahan danau yang secara Administratif berada di Takengon, Aceh Tengah itu.

 

Gunung berapi Peut Sagoe di Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Gunung berapi Peut Sagoe di Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Konservasi gajah di Manee, Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Konservasi gajah di Manee, Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Danau Lut Tawar di Takengon, Aceh Tengah. Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Danau Lut Tawar di Takengon, Aceh Tengah. Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Foto: Pesona Alam Aceh dari Berbagai Sisi was first posted on March 15, 2015 at 1:49 am.

Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah Kalimantan Timur Tak Kunjung Terbentuk, Apa Masalahnya?

$
0
0

Batubara, emas hitam yang sarat permasalahan di Kalimantan Timur. Banyak lubang pasca-tambang menganga yang hingga kini bertebaran tanpa adanya reklamasi. Foto: Hendar

Dua tahun sudah Pemerintah Kalimantan Timur mengeluarkan Peraturan Daerah (perda) Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah yang mengamanatkan dibentuknya Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah (KPRPD). Dua kali sudah pergantian kalender masehi, namun komisi yang ditunggu itu belum muncul juga penampakannya. Padahal, bila mengacu perda tersebut, enam bulan setelah peraturan diterbitkan, harusnya KPRPD telah bertugas. Nyatanya?

Berdasarkan penuturan Muhammad Natsir, salah seorang anggota tim penyusun rancangan peraturan gubernur yang merupakan pegiat lingkungan dari LSM Prakarsa Borneo, medio November 2014 lalu, peraturan gubernur paling lambat akan terbit awal 2015.

Menurut penjelasan Nasir, bila Komisi Pengawas Reklamasi dan pasca-tambang Daerah di Kalimantan Timur ini terbentuk maka komisi ini merupakan yang pertama di Indonesia. Pasalnya, di wilayah lain belum ada pembentukannya. Nasir pun yakin, bila tim yang berada di komisi ini merupakan orang-orang pilihan yang memang independen sehingga tidak akan mudah diintervensi pihak lain dan tergoda gemerlap tambang.

Namun, harapan yang disampaikan Natsir tersebut jauh dari kenyataan. Kabar terbaru yang disampaikan Najidah, anggota penyusun rancangan peraturan gubernur sekaligus akademisi Universitas Mulawarman, justru rancangan peraturan gubernur (ranpergub) mengenai pembentukan KPRPD, saat ini masih berada di Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalimantan Timur.

Menurut Najidah, meski ranpergub tersebut sudah melalui kajian dan telah mengakomodir berbagai masukan dari pemerintah, pengusaha, NGO, pemerhati lingkungan, hingga masyarakat, namun, hingga kini belum terlihat “geliat” yang bagus menuju terbentuknya KPRPD. “Jangankan masyarakat, kami juga mempertanyakan lambannya masalah ini,” tuturnya di Samarinda, Kamis (26/2/2015).

Menurut Najidah, tidak adanya “geliat” ini, dikarenakan banyaknya kepentingan yang merecoki pembentukan komisi tersebut. Meski begitu, menurutnya, pengawasan reklamasi tambang harusnya memang terus dilakukan, terlebih di Kalimantan Timur yang banyak mengalami kegagalan.

Meski Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca-tambang telah menyebutkan aturan teknis terkait reklamasi tambang, namun dalam aturan tersebut belum sepenuhnya bisa diterapkan di daerah. “Kalimantan Timur kan banyak lubang menganga pasca-tambang yang ditinggalkan begitu saja. Nah, ketika lubang tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah daerah maka aturan teknis tersebut dibuata melalui peraturan gubernur sebagai legitimasinya,” jelas Najidah.

Terkait tambang di Kalimantan Timur, lanjut Najidah, pengawasannya tidak cukup dilakukan melalui supervisi instansi sektoral saja, tapi juga harus melibatkan para ahli lingkungan dan masyarakat. Bila KPRPD hanya dihuni oleh dinas terkait saja misal, Dinas Pertambangan dan Energi saja, maka akan tidak maksimal hasilnya. “Nah, inilah pentingnya pembentukan KPRPD yang diharapkan dapat melakukan pengawasan dan perbaikan lingkungan, serta dapat memberikan pelayanan pada masyarakat/korban tambang atau yang terkena dampaknya.”

Najidah juga tidak menampik bila talik-ulur komposisi komisioner merupakan salah satu penyebabnya, selain dari isi ranpergub itu sendiri. Menurutnya, berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2013, keanggotaan KPRPD dibentuk melalui seleksi yang nantinya beranggotakan tujuh orang berasal dari kalangan profesional, ahli hukum, serta penugasan dari instansi pemerintah seperti Dinas Pertambangan dan Energi, Badan Lingkungan Hidup, dan Dinas Kehutanan. “Harusnya komisi ini bebas intervensi, namun pemerintah provinsi menginginkan sebagian besar anggotanya dari instansi pemerintah,” jelasnya.

Padahal, dengan terbentuknya KPRPD akan membawa angin segar terhadap permasalahan pertambangan di Kalimantan Timur yang hingga kini masih menimbun beragam persoalan. “KPRPD akan memiliki kewenangan menerima laporan warga jika ada indikasi pidana dan dapat mengkoordinasikan langsung kepada instansi terkait. Misal, bila pengawasan reklamasi pertambangan yang dilakukan dinas tertentu tidak ada kemajuannya maka pengawasan selanjutnya dapat diambil alih oleh KPRPD,” ujar Najidah.

Fatur Iqin, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur (Kaltim), menganggap bahwa tak kunjung terbentuknya komisi ini dikarenakan hanya sekadar dibuat saja. Menurut Fatur, ia memang pernah mengikuti beberapa kali pembahasan Perda Nomor 8 Tahun 2013. Namun, hingga terakhir bagaimana kelanjutannya, tidak ada kabar sama sekali. “Pemerintah Kalimantan Timur seakan merespon desakan masyarakat terkait reklamasi dan pasca-tambang. Setelah itu, tidak ada realisasinya lagi,” jelasnya.

 

Batubara diangkut melalui jalur Sungai Mahakam yang merupakan urat nadi perekonomian masyarakat Samarinda. Foto: Yutinus S. Hardjanto

 

Tidak ada kesungguhan

Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim, menganggap lambannya pembentukan komisi pengawas ini karena tidak ada kesungguhan dari Pemerintah Kalimantan Timur. Tanpa melalui perda, harusnya kegiatan reklamasi tetap dijalankan sebagaimana yang tertuang dalam PP No 78 Tahun 2010. Sanksi juga jelas, hanya penegakan hukum yang belum dilakukan.

Menurut Merah, proses yang dilakukan menerjemahkan peraturan pemerintah menjadi peraturan daerah yang diwujudkan melalui komisi pengawas melalui peraturan gubernur sangat melelahkan. “Akibatnya, kini semua terjebak pada birokrasi. Padahal, tanpa adanya pergub kewajiban reklamasi telah diatur melalui peraturan pemerintah tadi,” tuturnya.

Merah mengingatkan bahwa begitu banyak dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan batubara di Kalimantan Timur ini. Di antaranya, selain menyebabkan kerusakan hutan dan aneka hayatinya, juga memberikan dampak buruk bagi lingkungan masyarakat.

Sejak 2008, banjir melanda Kalimantan Timur, khususnya Kota Samarinda. Satu-satunya kota di Indonesia yang ada aktivitas batubara tersebut, mengeluarkan banyak dana untuk mengatasi dampak banjir. Periode 2008-2010, biaya penanggulangan dampak banjir mencapai  Rp 107,9 miliar, kemudian meningkat menjadi Rp 602 miliar pada 2011-2013. Angka ini diluar dari biaya rehabilitasi kerusakan jalan umum akibat pengangkutan batubara yang mencapai Rp 37,6 miliar.

Hasil monitoring dan investigasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga menunjukkan, total penguasaan lahan tambang di Kalimantan Timur (Kaltim), sekitar 7 juta hektar. Terdiri dari 1.451 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas 5.314.294,69 hektar, 67 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang menguasai lahan sekitar 1.624316,49 hektar, serta 5 kontrak karya dengan luas konsesi 29.201.34 hektar.

Hingga saat ini, sekitar 150 lubang bekas tambang batubara tidak direklamasi. Lubang tersebut, luasnya rata-rata mencapai satu hektar dengan kedalaman lebih dari 50 meter.

Bahkan, sejak tahun 2011-2014, tercatat sembilan anak tewas tenggelam di lubang tambang batubara yang tidak ditutup. Parahnya, kasus meninggalnya bocah tersebut tidak pernah sampai ke ranah hukum yang berujung pengadilan. Semua kasus hanya diselesaikan dengan pemberian santunan oleh perusahaan kepada keluarga korban yang besarnya bervariasi antara Rp100-120 juta. Setelah itu, kasus ditutup. “Kurang bukti apalagi dampak kerusakan yang diakibatkan tambang?” tegas Merah.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Dyah Paramita, peneliti dari  Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) 2013, berjudul “Potret Reklamasi dan Pasca Tambang Indonesia” menunjukkan hal tidak jauh berbeda. Menurutnya, aktivitas pertambangan batubara di Kalimantan Timur telah menyebabkan sekitar 1,4 juta hektar lahan menjadi terbuka. Dari luasan tersebut, sekitar 839 ribu hektar belum direklamasi yang artinya proses reklamasi belum dilakukan dengan baik.

Dyah menjelaskan, kegagalan menjalankan reklamasi ini akan berdampak buruk yang tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga pada kesehatan masyarakat sekitar dan juga pemborosan uang negara yang digunakan untuk mengatasi dampak kerusakan lingkungan. “Bila terus terjadi, dalam 5-10 tahun ke depan, justru dana reklamasi dan pasca-tambang akan diambil dari dana anggaran pendapatan belanja daerah atau negara, yang seharusnya dilakukan oleh para pengusaha tambang tersebut,” jelasnya.

Hal yang diamini Chandra Dewana Boer, Wildlife Ecologist dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Mulawarman, yang meninjau permasalahan tambang dari sudut akademisi. Chandra menggambarkan bagaimana luasan Samarinda yang saat ini 71 persennya sudah dikepung tambang sangatlah mengkhawatirkan. Menurutnya, bila dilihat dari segi konservasi maka tambang di Samarinda merupakan kesalahan fatal karena tidak ada luasan 30 persen yang diperuntukkan sebagai hutan. “Harusnya, pemerintah segera bertindak menyelesaikan tambang, meski tanpa adanya komisi pengawas reklamasi dan pasca-tambang,” tuturnya.

 

Gerakan Kukar Menggugar sebagai bentuk protes terhadap lahan batubara yang mencaplok wilayah pertanian. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Tidak percaya diri

Hingga kini, kemajuan ataupun perkembangan ranpergub yang masih mengendap di Distamben Kalimantan Timur, tidak ada yang tahu. Menurut keterangan Najidah, untuk mendorong penandatanganan ranpergub oleh Gubernur Awang Faroek Ishak tersebut harus dilakukan bersama. Tidak bisa hanya mengandalkan satu organisasi saja. “DPRD Kalimantan Timur yang mengesahkan Perda Nomor 8 Tahun 2013 justru harus dilibatkan kembali dengan menanyakan kepada pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mengenai tindak lanjutnya yang tertuang dalam aturan teknis,” jelasnya.

Sementara Carollus Tuah, dari Pokja 30 Samarinda, menilai lambannya pembentukan komisi tambang ini dikarenakan tidak ada kepercayaan diri dari Pemerintah Kalimantan Timur, terkait akan tumpang tindihnya kewenangan. Yaitu, antara inspektur tambang yang jumlahnya 18 orang dan mengawasi 1.223 perusahaan, dengan komisi pengawas yang bertugas selama dua tahun dan hanya boleh menjabat selama dua periode itu.  “Padahal, komisi yang akan dibentuk nanti sebagai lembaga pengawas, bukan lembaga yang berfungsi untuk mengeksekusi,” jelasnya, Senin (16/3/2015).

Menurut Tuah, agar permasalahan ini tidak berlarut, pemerintah provinsi dengan kabupaten atau kota harus membuat kesepakatan serah terima kewenangan. “Bila tidak berjalan, ada baiknya Kementerian ESDM menerbitkan peraturan tentang kewenangan perizinan pertambangan mineral dan batubara. Sehingga, sengkarut perizinan usai, dan komisi tambang punya pijakan yang jelas. Bila tidak, ya akan begini terus. Tiada kemajuan, sedangkan lingkungan bertambah rusak, ” paparnya.

Sampai kapan harus menunggu?

 

 

* Informasi di tulisan ini telah dilengkapi tanpa mengurangi esensi

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 

 


Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah Kalimantan Timur Tak Kunjung Terbentuk, Apa Masalahnya? was first posted on March 16, 2015 at 5:37 am.

Jatam Sulteng Laporkan Pemda Donggala ke Ombudsman, Kenapa?

$
0
0

Aliansi Masyarakat Sulawesi Tengah Bersatu (AMSB) berunjuk rasa di kantor Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu. Tuntutan mereka adalah agar Bupati Donggala segera diperiksa terkait illegal mining. Foto: Syarifah Latowa

Jatam Sulawesi Tengah resmi melaporkan Pemerintah Daerah Donggala kepada Ombudsman, terkait pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada perusahaan PT. Mulia Alam Perkasa (MAP), Senin (16/03/2015).

Jatam menilai telah terjadi kesalahan, kekeliruan yang bersifat administrasi, serta melawan hukum yang dilakukan pemerintah setempat.

“Kami melaporkan dugaan mal-administrasi yang dilakukan oleh Bupati Donggala, Kasman Lassa, karena menerbitkan IUP PT. MAP, tertanggal 21 Oktober 2014 Nomor 188.45/0665/DESDM/2014 tentang Perubahan atas Keputusan Bupati Donggala Nomor 188.45/0243/DESDM/2010 tentang IUP Operasi Produksi Pertambangan Batuan kepada PT. MAP. Intinya, tentang perubahan waktu izin operasi produksi perusahaan tersebut sampai tanggal 22 April 2015,” kata Muhammad Rifai Hadi, Manager Advokasi dan Penggalangan Jaringan Jatam Sulawesi Tengah (Sulteng) kepada Mongabay.

Rifai mengatakan, jika memperhatikan dengan jelas dasar perubahan SK Bupati Donggala Nomor 188.45/0243/DESDM/2010 adalah Surat Direktur PT. MAP Nomor 43/PH/10/MAP/2014 tertanggal 6 Oktober 2014, perihal permintaan penegasan atau penjelasan masa berlaku IUP.

Pihaknya menilai, SK Bupati Donggala tersebut menyalahi ketentuan perundang-undangan dengan alasan, IUP Eksploitasi yang di keluarkan oleh bupati lama H.N Bidja Nomor: 188.45/0111/DPE/04 adalah dasar pelaksanaan eksploitasi PT. MAP di Desa Batusuya, Kecamatan Sindue, seluas 15 hektar yang dikeluarkan dengan jangka waktu operasi penambangan 10 tahun. Dimulai 15 Januari 2004 sampai 15 Januari 2014. “Sudah jelas batas berakhirnya IUP PT. MAP yaitu 15 Januari 2014.”

Menurut Rifai lagi, keluarnya SK Bupati Donggala Nomor: 188.45/0665/DESDM/2014 tentang Perubahan Keputusan Bupati Donggala Nomor 188.45/0243/DESDM/2010, patut diduga sebagai upaya penghentian proses penyidikan Polda Sulteng atas dugaan tindak pidana illegal mining. Pada proses penyidikan tersebut telah ditetapkan tersangkanya yaitu Direktur PT. MAP dan Kepala Dinas ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Kabupaten Donggala.

Nasrun, Perwakilan Ombudsman Sulteng yang menerima laporan Jatam, menyatakan segera menindaklanjuti laporan tersebut. Akan tetapi, laporan Jatam tidak akan diproses dalam waktu cepat, karena terlapor yang sama juga sedang diperkarakan di Polda Sulteng.

“Kami terus meminta perkembangannya di Polda. Yang jelas, laporan ini tetap akan kami tindaklanjuti,” ujar Nasrun.

Seperti diberitakan sebelumnya, pada November 2014, Bupati Kabupaten Donggala, Kasman Lassa, diperiksa penyidik Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) di Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) kurang lebih tiga jam.

Kasman Lassa dimintai keterangan terkait IUP PT. MAP yang dianggap bermasalah. Menurutnya IUP PT MAP yang ia tandatangani bukanlah IUP perpanjangan, namun IUP perubahan dari IUP yang ditandatangani oleh bupati sebelumnya.

“Ada dua diktum yang berbeda. Diktum pertama dinyatakan berlakunya IUP selama lima tahun dan diktum kedua berlaku sampai dengan tanggal 15 Januari 2014. Tanggal penetapan 22 April 2010. IUP yang ditandatangani bupati lama izinnya hanya 3 tahun 9 bulan, berarti tidak sama dengan yang tertera di diktum satu. Nah, diktum kedua inilah yang diperbaiki bukan diperpanjang,” jelas Kasman Lassa.

Ia mengatakan bahwa untuk memperbaiki diktum kedua itu harus melalui proses yang panjang; ada kajian dan permohonan perusahaan kepada bupati. Atas dasar permohonan itu, kemudian didisposisikan kepada Kepala Dinas Pertambangan ESDM. “Dalam disposisi, saya menyebutkan pelajari maksud isi surat sesuai perundang-undangan.”

Jadi, kata Kasman, berdasarkan surat Direksi PT. MAP tertanggal 6 Oktober 2014 yang ditujukan kepada Pemda Donggala, perusahaan itu memohon kepada bupati sebagai pemegang wewenang dapat memberikan jalan keluar dari persoalan adanya pertentangan norma yang terdapat dalam diktum satu, diktum kedua, dan diktum kesepuluh. Berdasarkan permohonan tersebut, maka lahirlah SK Nomor 88.45/0665/DESDM/2014 tertanggal 21 Oktober 2014 tentang perubahan diktum kedua SK Bupati Nomor 188.45/0243/DESDM/2010 tertanggal 22 April 2010.

“Alasan inilah yang menjadi dasar saya sebagai bupati mengambil tindakan hukum dalam upaya menyelesaikan ketidakpastian masa berlakunya IUP yang dimiliki PT. MAP. Jadi, sekali lagi saya tegaskan, saya tidak memperpanjang IUP PT. MAP, melainkan melakukan perbaikan sekaligus perubahan, dan SK yang baru itu masih satu kesatuan dengan SK lama,” terangnya.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Jatam Sulteng Laporkan Pemda Donggala ke Ombudsman, Kenapa? was first posted on March 17, 2015 at 12:51 am.

Hutan Rimbun, Emisi Turun, Ekonomi Tambun, Rakyat Santun: Mampukah Diwujudkan di Sumsel?

$
0
0

Program pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan terus dijalankan meski BP REDD+ telah bubar. Foto: Rhett Butler

Najib Asmani, Staf Khusus Gubernur Sumatera Selatan Bidang Perubahan Iklim, menyatakan meskipun BP REDD+ sudah dibubarkan, namun model yang telah disusun yakni kemitraan pengelolaan landsekap ekoregion REDD+ di Sumsel tetap dijalankan.

Pengelolaan tersebut bertujuan untuk mewujudkan zero deforestation, zero burning, melestarikan kawasan hutan rawa gambut dan kawasan tanggapan air, serta perlindungan satwa langka melalui kegiatan ‘beyond carbon’ dengan pemberdayaaan masyarakat untuk perintisan pertanian moderen terpadu dan berkelanjutan.

Menurut Najib, visi utama model ekoregion yang dikembangkan ini adalah “Hutan Rimbun, Emisi Turun, Ekonomi Tambun, Rakyat Santun.” Model ini melibatkan Pemerintah Sumatera Selatan (Sumsel), perusahaan di sekitar kawasan hutan, dan masyarakat.

Strateginya, menciptakan sumber penghasilan yang layak bagi masyarakat sekitar kawasan dengan menanamkan kesadaran pentingnya manfaat hutan, air, dan sumber daya alam. Juga, mengajak masyarakat terlibat dalam gerakan pelestarian hutan dan sumber daya alam, serta menciptakan lingkungan usaha yang nyaman dan aman.

“Jangan hanya ingin hutan yang hijau lestari, tetapi rakyat di sekitar kawasan tidak dipedulikan, tak diperhatikan. Kalau masyarakat kelaparan, akhirnya hutan juga terpaksa di rambah. Apa gunanya ekologi yang baik jika perut rakyat kosong. Makan itu ekologi,” ujar Najib kepada Mongabay Indonesia, seusai workshop “Implementasi Kemitraan Pengelolaan Lanskap Ekoregion REDD+ dan Gerakan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan (Gahkarhutlah)” di Palembang, Kamis (12/03/2015).

Kemitraan pengelolaan landskap ekoregion REDD+ yang telah disusun di Sumsel diharapkan dapat mewujudkan visinya menjadikan hutan rimbun, emisi turun, ekonomi tambun, dan rakyat santun. Foto: Rhett Butler

Lebih jauh, Najib menerangkan model ekoregion REDD+ Sumsel terbagi tiga zona. Pertama, zona hutan rawa gambut atau lahan basah yang banyak terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Ilir (OI), Musi Banyuasin (Muba), dan Kabupaten Banyuasin.

Misalnya, kegiatan mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut di OKI yang terus berjalan. Kegiatan tersebut berupa penguatan ekonomi masyarakat seperti pertanian dan perikanan, penanaman pohon nyamplung sebagai sumber energi alternatif, pendidikan kesadaran akan lingkungan melalui seni dan budaya, hingga penguatan masyarakat peduli api. Termasuk pula penguatan infrastruktur dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan pada perusahaan yang beraktivitas di lahan gambut. “Program ini berdasarkan usulan masyarakat, hasil kajian, serta hasil studi banding ke wilayah lainnya di luar Sumatera Selatan,” jelasnya.

Kedua, zona hutan dataran tinggi atau daerah tangkapan air yang banyak terdapat di Kabupaten Empat Lawang, Muara Enim, Lahat, dan Kota Pagaralam. Ketiga, zona hutan dataran rendah, yang terdapat di Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Musi Rawas, serta daerah kabupaten baru hasil pemekaran yakni Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara). “Semua program ini terus dilakukan.”

Terhadap gagasan yang disampaikan Najib Asmani, perwakilan Asia Pulp and Paper (APP) Dolly Priatna, mengatakan pihaknya belum yakin dengan situasi saat ini apakah program tersebut bisa diimplementasikan. Karena, pihaknya masih menunggu arahan dari pemerintah.

“Sesuai komitmen yang diluncurkan, kami akan melakukan restorasi yang melibatkan masyarakat agar ada rasa memiliki terhadap program tersebut. Di samping itu, kami akan mencari alternatif lain untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Itu yang akan dikedepankan,” papar Dolly.

Acara yang cukup menarik ini, tidak banyak dihadiri sejumlah pegiat lingkungan hidup di Palembang. Sebagian beralasan karena memiliki agenda lain. Gubernur Alex Noerdin pun berhalangan hadir karena ada kegiatan mendadak di Jakarta. Termasuk Wakil Gubernur Sumsel Ishak Mekki yang absen karena ada urusan berbeda.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Hutan Rimbun, Emisi Turun, Ekonomi Tambun, Rakyat Santun: Mampukah Diwujudkan di Sumsel? was first posted on March 17, 2015 at 3:57 am.

Ingin Penelitian Rawa? Datang saja ke Museum Rawa Indonesia

$
0
0
Museum Rawa Indonesia didirikan untuk menjawab minimnya pengetahuan soal rawa di Sumatera Selatan dan Indonesia. Foto: Muhammad Ikhsan

Museum Rawa Indonesia didirikan untuk menjawab minimnya pengetahuan soal rawa di Sumatera Selatan dan Indonesia. Foto: Muhammad Ikhsan

Tahun 1993, Rubiyanto H Susanto, saat kali pertama melakukan penelitian mengenai rawa di Sumatera Selatan, mengalami kesulitan mendapatkan data. Pengalaman tersebut lantas mendorong guru besar dari Universitas Sriwijaya ini mendirikan museum mengenai rawa. Dia berharap masyarakat yang tertarik mengenal dan mempelajari rawa tidak lagi kesulitan mendapatkan data, seperti yang pernah dialaminya.

“Waktu itu saya kesulitan, sama sekali tak ada data yang bisa digunakan. Kemudian pada perkembangannya, penelitian-penelitian yang telah dilakukan didokumentasikan hingga berdiri Pusat Data-Informasi Rawa dan Pesisir atau Pusdatarawa. Alhamdulillah, hari ini dengan dukungan berbagai pihak, Museum Rawa Indonesia (MRI) bisa soft launching,” ujar Rubiyanto kepada Mongabay Indonesia, usai peresmian MRI dan Taman Baca MRI di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Sabtu (14/03/2015).

Di MRI, kata Rubiyanto, siapa pun dapat mempelajari rawa. Baik karakternya, kondisi masa lalu, saat ini, masa mendatang, hingga pemanfaatannya.

Bentuk MRI lebih menyerupai museum terbuka yang menyajikan flora dan fauna apa saja yang ada di lahan rawa, teknologi pertanian, hingga budaya masyarakat lokal yang membuka lahan pertanian di rawa. Selain itu, di kawasan museum juga terdapat berbagai fasilitas pendukung, antara lain aula serba guna, taman baca, serta kebun koleksi.

Amiruddin Inoed, mantan Bupati Banyuasin, yang hadir di acara tersebut, mengatakan senang dengan berdirinya MRI dan Taman Baca MRI. Menurutnya, tempat ini wajib dikunjungi mahasiswa atau peneliti yang membutuhkan referensi mengenai keadaan rawa di Sumsel.

“Di sini sangat menarik, siapa pun yang ingin tahu mengenai rawa atau ingin melakukan penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut perlu datang ke MRI.”

Inoed juga berpendapat MRI menjadi salah satu destinasi agrowisata yang menarik bagi masyarakat yang ingin berwisata menikmati suasana pedesaan dan serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai alam.

“Ada museum, taman baca, sawah, kolam, buah-buahan lokal, macam-macam. Saya pikir, bagus juga kalau ada homestay untuk tamu yang ingin menginap. Pelibatan masyarakat perlu juga dilakukan untuk meningkatkan wawasan dan perekonomian mereka,” ujar Inoed.

Museum Rawa Indonesia yang berada di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, terbuka bagi semua kalangan yang ingin mempelajari seluk-beluk rawa. Foto: Muhammad Ikhsan

Museum Rawa Indonesia yang berada di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, terbuka bagi semua kalangan yang ingin mempelajari seluk-beluk rawa. Foto: Muhammad Ikhsan

Sementara, Erlita, perwakilan manajemen sebuah perusahan hutan tanaman industri (HTI), menyatakan pengelolaan rawa sebagai areal pertanian seperti yang ada di Desa Banyu Urip memerlukan penanganan khusus. “Jika tak disikapi dengan bijak, rawa apalagi gambut dapat menjadi bencana. Kita semua tahu bagaimana dampak bencana asap akibat kebakaran di lahan gambut.”

Erlita mengatakan perusahaannya berkomitmen untuk mendukung pengembangan MRI dan Taman Baca MRI. Bahkan, Erlita menjanjikan program pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat sekitar yang mengantungkan hidupnya dari lahan rawa. “Kita siap bekerja sama dengan MRI untuk membantu peningkatan perekonomian masyarakat Desa Banyu Urip.”

Miskat, salah satu petani asal Desa Banyu Urip menceritakan dulunya areal persawahan di daerah ini merupakan rawa gambut dan kawasan hutan. Miskat yang datang ke Sumsel tahun 1980 merupakan transmigran dari Jawa Timur.

“Sebetulnya kami ditipu perusahaan yang menangangi masyarakat transmigrasi. Waktu di Jawa katanya, di Sumatera semuanya sudah siap, kami tinggal menanam saja. Nyatanya, masih rawa dan hutan belantara. Kami baru bisa bertanam tahun 1983. Sekarang tak terbayang lahan pertanian di Banyu Urip seperti sekarang ini.”

Menurut Miskat, masing-masing kepala keluarga mendapat lahan seluas dua hektar. Mereka bercocok tanam di rawa pasang surut dengan pola tanam dalam satu tahunnya, padi-jagung-jagung. Dari hasil produksi pertanian ini, masyarakat Banyu Urip dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.

“Ini juga berkat bimbingan dari penyuluh dan peneliti pertanian yang sering membantu petani di Banyu Urip. Kami senang kalau ada yang berkunjung ke desa kami. Semoga keberadaan MRI dan Taman Baca MRI ini menimbulkan dampak positif bagi Banyu Urip,” jelasnya.

Petani padi di Desa Banyu Urip berharap, hadirnya Museum Rawa Indonesia dapat meningkatkan pengetahuan mereka untuk meningkatkan kualitas pertanian. Foto: Rhett Butler

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

 


Ingin Penelitian Rawa? Datang saja ke Museum Rawa Indonesia was first posted on March 18, 2015 at 12:50 am.

Lagi, 52 IUP Bermasalah di Aceh akan Dicabut

$
0
0

Setelah mencabut 22 IUP bermasalah, Pemerintah Aceh kembali akan mencabut 52 IUP bermasalah lainnya yang telah kadaluarsa dan tidak memberikan kontribusi pada daerah. Foto: Rhett Butler

Instruksi Gubernur Aceh Nomor 11/INSTR/2014 mengenai Moratorium Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral Logam dan Batubara yang dikeluarkan Oktober 2014, mulai menampakkan geliatnya. Sejumlah IUP tidak aktif dan tidak memberikan kontribusi kepada daerah mulai dicabut izinnya.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh Said Ikhsan menyatakan, saat ini ada 52 IUP bermasalah di Aceh yang kembali akan dicabut izinnya. ”Pencabutan ini merupakan bentuk keseriusan Pemerintah Aceh dalam menjalankan moratorium yang berlangsung hingga Oktober 2016,” jelasnya dalam perbincangan sore Jalan Setapak, program radio hasil kerja sama Green Radio, KBR, dan Mongabay, Selasa (17/3/2015).

Menurut Ikhsan, 52 IUP yang akan dicabut itu merupakan IUP yang berdasarkan evaluasi tidak memberikan kontribusi. “Sesuai instruksi gubernur, seluruh perizinan tambang harus dievaluasi dan tidak ada izin baru selama moratorium. Tentu saja, upaya ini kelanjutan dari pencabutan 22 IUP bermasalah sebelumnya yang telah dilakukan melalui koordinasi dengan bupati atau walikota tempat izin itu berada,” jelasnya.

Komitmen ini dilakukan karena Pemerintah Aceh melihat pentingnya perlindungan kawasan hutan yang merupakan aset penting yang harus dijaga kelestariannya. “Aceh juga daerah yang berada dibawah pengawasan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Bidang Mineral dan Batubara Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, penataan tambang harus dilakukan kembali agar tidak merusak lingkungan Aceh,” ujarnya.

Ikhsan juga tidak menampik adanya 77 perusahaan yang berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Aceh berada di kawasan konservasi dan hutan lindung. Menurutnya, secara bertahap akan dilakukan evaluasi. “Ini memang tidak mudah, karena perusahaan tersebut merupakan perusahaan besar dan kuat secara finansial. Harus ada upaya maksimal dan koordinasi semua pihak. Yang pasti, keseriusan pemerintah Aceh terhadap lingkungan dan menjaga hutan tidak perlu diragukan.”

Askhalani, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, menganggap bahwa upaya pencabutan IUP tersebut merupakan langkah awal. Karena, bila dilihat dari 22 IUP yang dicabut itu, merupakan IUP yang memang kadaluarsa dan ditengarai tidak memiliki wilayah izin usaha pertambangan. “Jadi, memang izinnya yang tidak diperpanjang.”

Terkait akan ada pencabutan 52 IUP lagi, Ashkhalani menilai, jika yang dicabut itu masih perusahaan yang memang izinnya habis, tentunya belum menyentuh permasalahan. “Karena, seharusnya, 77 perusahaan yang berada di kawasan konservasi itulah yang harus dievaluasi. Meski begitu, kita harus memberikan apresiasi terhadap keseriusan Pemerintah Aceh guna memperbaiki kebijakan pertambangan yang keliru,” ujarnya.

Kedepan, Pemerintah Aceh harus lebih selektif dalam pemberian izin. Hasil investigasi GeRAK di Aceh Selatan terkait perizinan tahun 2007, dalam satu harinya ada tiga izin yang dikeluarkan. Bisa jadi, ini sarat akan kepentingan. “Untuk itu, Pemerintah Aceh harus mengoreksi ulang seluruh IUP, yang saat ini masih menyisakan 116 perizinan.”

Direktur Walhi Aceh, M. Nur, menjelaskan bahwa penataan IUP memang sepatutnya dilakukan. Berdasarkan data yang dimiliki Walhi, perusahaan tambang yang masuk kawasan lindung dan konservasi di Aceh sebagian besar tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan dari Kementerian Kehutanan saat itu.

Menurut M. Nur, hal yang harus diperhatikan di masa moratorium ini adalah tinjau kembali seluruh dokumen analisisi mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan, apakah sudah benar atau belum. Berikutnya, cabut IUP bermasalah, yang bukan hanya karena izinnya tidak diperpanjang, tetapi juga yang berada di kawasan konservasi dan hutan lindung sebagaimana Surat Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Nomor S.702/VII-PKH/2014 tertanggal 10 Juli 2014 yang jumlahnya mencapai 69 perusahaan.

Sebagaimana yang diberitakan Mongabay sebelumnya, Pemerintah Aceh telah mencabut 22 IUP bermasalah. Perusahaan tersebut berada di Kabupaten Nagan Raya (9), Aceh Jaya (7), Aceh Barat (4), Pidie (1), dan Kota Subussalam (1). Pemerintah Aceh juga membentuk tim khusus dalam memantau pertambangan yang terdiri dari unsur pemerintah, pemerhati lingkungan, dan lembaga swadaya masyarakat.

 

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


Lagi, 52 IUP Bermasalah di Aceh akan Dicabut was first posted on March 19, 2015 at 3:41 am.
Viewing all 2467 articles
Browse latest View live